Menanam Nada, Mengalahkan Kolonial Lagu Hadroh

Refleksi atas Lomba Syarofal dan Hadroh HSN ke-11 tahun 2025 di Muaraenim

O

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis

Ketika kita merayakan Hari Santri Nasional (HSN) di Kabupaten Muaraenim pada tahun 2025 — diprakarsai oleh Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Kementerian Agama, dan tentu-tentu saja pemerintah kabupaten — maka salah satu panggungnya adalah lomba besar: grup-grup hadrah dan syarofal Anam bersaing.

Ada kurang lebih 21 grup dari berbagai lembaga, dari Madrasah Aliyah hingga masjid setempat. Meriah memang. Tapi di balik seremoninya, saya melihat sayup tanya: apakah kita sedang melestarikan budaya santri atau melaksanakan kolonial nada Arab secara pasif?

Saya khusus memilih “seni hadrah” — atau dalam lidah lokal kadang ditulis “hadrih” — sebagai titik kritis.

Dalam buku ”Seni Musik Islam” karya A. Syakur (2015), asal-usul hadrah memang berakar dari Timur Tengah, tepatnya tradisi tasawuf dan tarekat seperti Qadiriyyah dan Syadziliyyah.

Tapi di Nusantara, hadrah telah melakukan akulturasi luar biasa — jadi bukan sekadar “nada Arab” yang dipaksakan lalu menggerus nada lokal.

Bahkan riset menunjukkan bahwa hadrah di berbagai daerah Indonesia adalah fenomena “Al-Qur’an yang hidup”, karena dasar vernacularnya adalah pembacaan shalawat dan dzikir, lalu diserap dalam budaya lokal. (researchgate.net)

BACA ARTIKEL TERKAIT :

 

Jadi, ketika di Muaraenim kita menonton hadrah dan syarofal lalu hampir seratus persen lagu yang dinyanyikan adalah “lagu Arab”, saya merasakan lonceng peringatan: kita mungkin sedang mengekspos budaya santri kita kepada bentuk-kolonisasi kultur yang halus.

Kalau nada Arab itu dipakai sebagai standar mutlak, maka elemen lokal — bahasa, irama, musik tradisi — akan terpinggirkan.

Padahal budaya santri lokal punya potensi besar untuk mengakar lebih dalam di masyarakat, bukan hanya sebagai “kolonial ringan” dari Arab.

Asal-Usul & Jurang Lokal-Global

Mari kita kulik sedikit asal budaya ini secara singkat.  Hadrah di Nusantara muncul sebagai bagian dari proses Islamisasi yang kreatif. Dalam penelitian disebut bahwa hadrah bukan sekadar hiburan, melainkan medium dakwah dan komunikasi budaya. (diksima.pubmedia.id)

Alat musik rebana, marawis, menjadi ciri khas; syair shalawat atau syarofal (bacaan pujian Nabi) menjadi teks utama.  Juga disebut bahwa munculnya syarofal Anam sebagai teks dalam kelompok-hadrah — misalnya dalam catatan penelitian hadrah di Yogyakarta/daerah lainnya, bahwa syarofal Anam adalah di antara teks yang dibawakan.

Riset lain menegaskan, bahwa seni hadrah di daerah seperti Lampung menunjukkan, performanya adalah hasil akulturasi antara ajaran Al-Qur’an dan budaya lokal.

Dengan kata lain: hadrah atau sejenisnya bukan sekadar “temu jamaah bernada Arab” — tetapi sebuah sistem produksi budaya lokal yang menafsir ulang islamitas (kualitas atau esensi keislaman) melalui nada, syair, dan ritual.

Maka wajar jika kita sebagai pekerja kebudayaan (termasuk santri, ulama, musisi lokal) merasa pemilik sah dari ekspresi itu. Bukan sekadar menjadi konsumen pasif dari “album Arab”.

Kenapa Harus Lokal?

Karena kalau kita membiarkan “standar nada Arab” menguasai hadrah di Muaraenim, maka beberapa hal besar akan terjadi:

Pertama; Hilangnya identitas lokal. Irama, bahasa, alat musik khas Sumatera Selatan (atau Muaraenim khususnya) akan dikesampingkan. Padahal keberagaman lokal adalah kekayaan Islam di Nusantara.

Kedua; Pemerintahan budaya yang timpang. Jika yang tampil di lomba adalah versi “Arab minded”, maka grup yang kuat secara lokal tapi tak mampu “Arab¬-kan” nadanya akan kalah. Lomba jadi medan kolonial budaya terselubung.

Ketiga; Miskomunikasi dakwah. Umat lokal mungkin kurang tersentuh jika nada, bahasa, syair terasa asing. Dakwah seni menjadi tidak berakar di masyarakat.

Keempat; Rentan komersialisasi. Ketergantungan pada “lagu Arab populer” bisa menjadikan hadrah hanya produksi massal untuk konsumsi, sementara makna spirituilnya terbebas dari akar lokal.

Kalau saya meminjam ayat: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya…” (QS Al-A’raf 56) — muncul sebagai doa wartawan muda di Muaraenim saat melihat anak-anak desa, lumpur, sawah.

Kenapa tidak doa itu kita nyanyikan lewat hadrah kita? Kenapa tidak kita jadikan nada lokal kita jadi medium doa, bukan sekadar reproduksi nada dari jauh (arab)?

Me-Nusantara-kan Hadrah dan Syarofal

Ada beberapa alternatif sebagai kontribusi pemikiran kepada para musisi dan pekerja kebudayaan di Sumatera Selatan, atau khususnya di Muaraenim.

Berikut saya ajukan beberapa ide praktis — agar di Muaraenim (dan di mana saja) hadrah atau syarofal Anam (“Syarofal” sering dipakai sebagai teks pujian) menjadi benar-benar ekspresi lokal yang Islami, tidak hanya “Arab-kan”.

Pertama; Alih syair ke bahasa lokal: Bisa mengambil teks shalawat atau pujian Nabi yang sudah ada; lalu alih-bahasakan sebagian ke Bahasa Muaarenim, Palembang, Musi, Melayu Sumatera Selatan.

Kedua; Irama lokal sebagai basis: Jika ada irama “Ribu La Ribu”, “Ribang Kemambang”, “Cuk Mak Ilang”, ”Kebile-Bile” maksimalkan sebagai basis musik. Syair shalawat dan syarofal diwarnai oleh nada-nada lokal itu. Para musisi tidak mengubah makna, hanya mengubah bungkusnya agar meresap di telinga lokal.

Ketiga; Instrumen lokal: Selain rebana, marawis, bisa menambahkan alat musik lokal khas Sumsel atau kolaborasi dengan gamelan tradisi Muarenim, atau Melayu-Sumsel.

Keempat Aura ritual lokal: Hadrah di masjid atau madrasah selanjutnya jangan hanya jadi “jumlah nada Arab + kamera juri”. Hadrah seharusnya bukan sekadar pertunjukan formal yang meniru irama Arab dan menunggu penilaian juri, tapi ritual ruhani yang memancarkan getar dzikir dan cinta kepada Nabi dalam bahasa hati umatnya sendiri.

Jika hanya mengejar “jumlah nada Arab + kamera juri”, maka Hadrah kehilangan aura sakralnya, menjadi tontonan bukan tuntunan. Sebaliknya, bila Hadrah disiram nilai lokal dan keikhlasan, ia akan menjelma ibadah estetis — seni yang hidup dan menghidupkan iman.

Oleh sebab itu, menjadi penting bilka kemudian menciptakan ruang latihan terbuka di halaman pesantren, di bawah pohon, di ritus lokal — agar masyarakat juga melihat bahwa hadrah adalah bagian dari hidup mereka, bukan sekadar performa lomba.

Kelima; Penciptaan syair baru: Penting mrmbuka ruang kreatif bagi santri lokal menulis syair pujian dengan bahasa lokal mereka, namun tetap berorientasi tauhid, shalawat kepada Nabi, nilai sosial keagamaan.

 Catatan Kecil dari Lomba

Sekarang saya duduk di kursi sebagai “juri sesaat” sendiri: saya menonton grup hadrah naik ke panggung, suara megah…, tetapi kemudian suara itu identik dengan nada yang sempat saya dengar di YouTube Lagu Arab populer, kemudian juri mengacungkan poin tinggi. Lalu saya terbayang: apakah kita sedang mempertahankan tradisi atau sedang menjalankan franchise nada Arab?

Ketika itu mengingatkan saya pada sejarah: ketika Sunan Bonang membingkai syair “Lir Ilir” — didasari warisan pesan santri yang sangat lokal. Beliau tak lebih dulu mencari izin nada ke Arab ataupun ke gurunya Sunan Ampel untuk memakai paket lagu siap-pakai.

Sunan Bonang menggunakan budaya jawa dan pesan lokal sebagai medium dakwah. Maka, di sini kita belajar: kita tidak perlu “menunggu proposal, anggaran, sponsor, atau perlombaan” untuk mencipta nada kita sendiri. Lihatlah bahwa santri-lokal punya ruh kreatif yang besar.

Ketika lomba menjadi standar “lagu Arab = bagus”, maka yang tertinggal bukan santri, tetapi santri lokal yang kreatif namun tak punya dana untuk “lagu Arab”.

Maka terjadi pembelahan: “kita yang Arab-minded” dan “kita yang lokal” — dan sayangnya, yang lokal sering kalah di mata juri. Lebih parah: jika hadrah hanya jadi paket audio untuk “konten media sosial” atau “konten lomba” tanpa makna, maka kita telah menjadikan suara suci (shalawat) sebagai produk konsumsi massa. Padahal nilai simbolik dalam hadrah, sebagaimana riset menyebut, bukan hanya hiburan — melainkan representasi hidupnya nilai Islam dalam konteks budaya lokal. (diksima.pubmedia.id)

Dua Kaki yang Tidak Boleh Jadi Tiga

Agama tanpa budaya lokal bisa jadi abstrak. Budaya tanpa referensi agama bisa jadi kosong. Maka bagi santri dan pekerja kebudayaan, hadrah atau syarofal lokal bukan hanya soal penampilan, tetapi soal kehidupan bersama dengan Allah, Nabi, dan masyarakat kita.

Jika nada kita dipunyai oleh orang lalu kita hanya konsumennya — maka kita tidak menanam; kita tertanam. Maka seperti pepatah santri: “Siapa yang menanam, dialah yang menuai.”

Dalam soal hadrah: jika kita hanya meniru lagu Arab, maka kita “mena-menara” hadrah kita di atas fondasi budaya orang lain.

Dengan kata lain, kita sering membangun keindahan seni Islam tanpa pijakan pada tanah rohani dan budaya kita sendiri. Menara itu mungkin tampak tinggi, megah, dan arabik, tetapi berdiri di atas tanah yang tak kita miliki.

Akibatnya, suara rebana dan shalawat kita bergema indah tapi hampa makna, karena tak menyerap napas bumi tempat kita berpijak. Maka hadrah harus kembali ditanam di tanah lokalitas—agar menaranya menjulang dari akar budaya sendiri, bukan berdiri di atas pinjaman identitas bangsa lain.

Tapi bila kita menanam hadrah di bumi Muaraenim — maka kita menuai kebangkitan budaya santri yang merdeka, bukan terjajah. Maka rasa syukur kita harus menjadi arus bawah yang merembes hingga nada-nada kita menyatu dengan tanah, lumpur, pesantren, sungai, sawah Muaraenim.

 Tes Radikalisme Budaya

Izinkan saya sebagai santri yang agak ribut ini mengajukan pertanyaan: jika lomba hadrah di Muaraenim tahun depan kembali “lagu Arab semua”, apakah kita sudah menjadi penjajah lagu sendiri? Apakah nada lokal kita telah menyerah tanpa literasi budaya? Apakah kita lebih takut juri tidak suka daripada takut budaya kita mati?

Tugas kita bukan “menolak Arab” secara buta, tapi “menyaring” agar Arab-nya tidak menanjak jadi hegemon nada, sedangkan kita sebagai lokal menjadi subordinat. Karena makna hadrah itu jauh lebih besar: bukan sekadar groov (rasa irama, ayunan jiwa dalam musik) dalam rebana, tapi groov yang menumbuhkan rasa dalam tubuh santri, dalam kampung kita, dalam pusaran Sungai Musi, Sungai Lematang dan Sungai Enim. Seperti Cak Nun pernah melakukan kolaborasi antara syair klasik dan shalawat, antara bahasa Jawa dan rohani Islam.

Bukan Paket Arab

Hadrah dan syarofal memiliki akar religius dan lokal; bukan sekadar paket nada Arab. Jika kita menyerahkan secara otomatis “lagu Arab = bagus”, maka identitas lokal kita hilang.

Mulai hari ini, kita berhak dan wajib mewarnai hadrah lokal dengan nada dan bahasa kita — agar dakwah seni kita benar-benar santri, bukan konsumen budaya luar.

Catatan lain, menggelar lomba sebuah prestasi kerja nyata dari para kreatir. Tapi hanya akan bermakna jika kita sebagai santri lokal, praktisi budaya juga ikut membuat standar, bukan hanya meniru standar yang dibuat orang luar.

Akhirnya, hadrah lokal bukan hanya soal suara yang enak didengar — tetapi soal suara yang memanggil kembali manusia ke bumi, ke sawah, ke pesantren, ke sungai Musi, ke makna tauhid dan kebersamaan.

Semoga pada HSN ke-12 di Muaraenim mendatang (2026), misalnya Grup X membawa rebana, gendang, gambus, plus lagu “Cuk Mak Ilang” ”Ribu La Ribu” ”Kebila Bile” yang dikombinasi dengan syair pujian Nabi — dan juri angkat jempol lalu berkata : “loh ini bagus!… nada lokal santri Muaraenim”.

Itulah kemenangan besar: bukan hanya trophy, tapi kemenangan budaya. Bukan hanya audio, tapi doa. Tidak hanya penampilan, tapi kehidupan. Salam santri lokal yang tak mau jadi kolonial nada arab.**

Muaraenim, 19 Oktober 2025

Referensi :

  • Iswanto, A. Understanding Hadrah Art as the Living Al-Qur’an: The Origin, Performance and World-view. el Harakah Vol. 21 No. 2, 2019. ResearchGate
  • Adityatama, W. “Seni Hadrah Sebagai Komunikasi Budaya Islam” (Studi pada Majelis Assolihin di Talang Kedondong Palembang).” Indonesian Culture and Religion Issues Vol. 1 No. 1, 2024. diksima.pubmedia.id
  • Yaro, F. T. “Estetika dan Pemanfaatan Kesenian Hadrah di …” Skripsi UIN Sunan Kalijagas, 2024. UIN Suska Repository.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *