Dul Muluk: Ruh Islam dalam Teater Melayu

Lihat bagaimana manusia di atas panggung sedang berzikir

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis, Praktisi Teater dan Satra di Sumsel & Pengasuh Santri Ponpes Laa Roiba Muaraenim

Ada yang bilang seni itu hiburan. Tapi bagi orang yang pernah mengaji di langgar tua Palembang, yang lampunya tinggal satu-satunya di antara kabut Subuh, seni itu bukan sekadar hiburan. Ia adalah tanda kehidupan, nafkah rohani, dan cermin zikir yang bergerak dalam wujud estetika.

Begitulah dulu masyarakat Melayu Palembang mengenal Dul Muluk. Bukan sekadar teater rakyat yang dipentaskan di tengah kampung dengan gamelan dan dendang pantun, tapi sebuah “pentas zikir” dalam bahasa kesenian rakyat. Di sana, manusia belajar tentang takdir, kesetiaan, cinta, dan pengabdian kepada Allah.

Namun di zaman kini, ketika lampu-lampu kota lebih terang dari hati manusia, pertanyaannya kembali menggema:

“Masihkah Dul Muluk menjadi jalan dzikir, atau hanya tinggal panggung nostalgia budaya?”

Jejak Sejarah: Dari Syair ke Panggung

Sejarahnya bermula dari dunia yang masih bernafas Islam Melayu. Di abad ke-19, seorang ulama dan sastrawan besar bernama Raja Ali Haji bersama adiknya, Saleha, menulis karya monumental berjudul Syair Abdul Muluk.

Syair ini bukan sekadar kisah raja dan putri, bukan pula kisah cinta istana. Ia adalah tafsir sastra atas nilai-nilai Islam—tentang seorang pemimpin yang diuji, seorang istri yang setia, dan perjuangan manusia untuk tetap berpegang kepada kebenaran di tengah godaan dunia.

Beberapa dekade kemudian, kisah ini dibawa oleh para ulama dan pelaku seni ke Palembang, lalu diadaptasi dalam bentuk teater rakyat. Dari sinilah muncul nama “Dul Muluk”, berasal dari nama tokoh utamanya, Abdul Muluk.

Dul Muluk bukan teater istana, melainkan teater langgar dan surau. Ia dimainkan di halaman rumah, di balai desa, atau di pelataran masjid saat maulid dan pesta rakyat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Palembang, dengan musik rebana, pantun, dan syair yang selalu mengandung pesan dakwah.

Islam dan Teater: Harmoni yang Lahir dari Zikir

Dalam pandangan para ulama Palembang, seni bukanlah lawan dari agama. Justru ia wadah untuk menyalurkan rasa syukur dan dzikir dalam bentuk yang indah.
Teater menjadi ruang untuk tafakkur—merenungi ayat-ayat Allah dalam peristiwa manusia.

Seperti halnya para sufi yang melihat Allah dalam keindahan bunga, air, dan gerak alam, maka orang Melayu melihat Allah dalam lakon Dul Muluk.

Ketika Abdul Muluk diuji dengan kehilangan, penonton diajak mengingat sabda Allah:

“Wa la nabluwannakum bisyay’in minal khaufi wal ju‘i wa naqshin minal amwali wal anfusi wats-tsamarat, wa basysyiris shabirin.” — (QS. Al-Baqarah: 155)

“Sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan; dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Dalam lakon itu, setiap ujian hidup adalah madrasah, setiap penderitaan adalah cara Allah menyapa hamba-Nya.
Penonton tidak sedang menyaksikan drama, tapi menghadiri majelis tafakkur, hanya saja dalam bentuk sandiwara rakyat.

Dimensi Tasawuf: Manusia Sebagai Lakon Ilahi

Dalam pendekatan tarekat dan tasawuf, seni seperti Dul Muluk bukanlah tontonan, tapi perjalanan ruhani.
Tokoh Abdul Muluk adalah simbol insan salik, sang pejalan spiritual. Ia diuji, dipisahkan, dikhianati, lalu diangkat derajatnya setelah ia sabar dan ikhlas.

Bukankah demikian jalan orang-orang yang mendekati Allah?

“Inna Allaha ma‘ash shabirin.”
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”

Maka, ketika Dul Muluk kehilangan tahtanya, itu seperti seorang sufi yang “kehilangan dunia” untuk menemukan hakikat dirinya.
Ketika ia tetap sabar dan tidak membalas kezaliman, itu seperti zikir panjang seorang murid yang sedang ditarbiyah oleh Tuhannya.

Setiap bait syair Dul Muluk menyimpan zikir terselubung.
Bahasa Melayu yang lembut itu membawa makna spiritual:

  • Tentang cinta yang suci kepada Allah,
  • Tentang takdir yang harus diterima,
  • Tentang amanah kepemimpinan yang harus dijaga.

Teater ini, dalam makna terdalamnya, bukan pertunjukan tentang manusia yang berakting, melainkan Allah yang sedang memperlihatkan ayat-ayat-Nya melalui gerak manusia.

Islamisasi Estetika: Ketika Panggung Menjadi Mimbar

Banyak peneliti menilai Dul Muluk sebagai bentuk Islamisasi kebudayaan Melayu.
Prof. Taufik Abdullah (LIPI, 1988) menyebut bahwa “Dul Muluk adalah bentuk teater rakyat Melayu yang meneguhkan identitas Islam di Palembang.”
Sedangkan Radhar Panca Dahana (2005) menyebutnya “teater spiritual yang merekatkan Islam dan kesenian lokal dalam satu tubuh estetika yang hidup.”

Artinya, Dul Muluk adalah contoh sempurna inkulturasi Islam:
Islam datang bukan untuk menghapus budaya, melainkan menyucikan dan mengarahkan budaya agar menjadi kendaraan menuju Tuhan.

Dalam setiap pembukaan pementasan Dul Muluk, selalu ada basmalah, puji syukur, dan salam kepada Nabi.
Sebelum para pemain naik ke panggung, mereka biasanya membaca shalawat atau doa bersama.
Dan sepanjang lakon, terselip pantun-pantun nasihat seperti:

“Hidup di dunia janganlah lalai,
ingat akhirat tempat kembali,
jangan lupa sembahyang tiap kali,
supaya selamat dunia akhirat nanti.”

Itulah dakwah dalam bahasa rakyat. Dakwah yang tidak dengan mimbar, tetapi dengan teater dan tawa, nyanyian dan syair.

Dul Muluk dalam Konteks Modern: Antara Ruh dan Rutinitas

Sayangnya, di banyak tempat hari ini, Dul Muluk kehilangan ruhnya. Ia tampil sekadar acara budaya tahunan, proyek pariwisata, atau kontes hiburan daerah. Panggungnya masih berdiri, tapi dzikirnya hilang.

Banyak pelakon muda tak lagi tahu makna spiritual di balik lakon.
Mereka hafal dialog, tapi tak memahami makna syukur, sabar, dan ridha yang menjadi napas utama cerita.

Padahal, jika ruh Islam itu hidup kembali dalam Dul Muluk, ia bisa menjadi jembatan kebudayaan yang menyembuhkan luka spiritual bangsa.

Di tengah masyarakat yang terbelah oleh politik, ekonomi, dan kepentingan, Dul Muluk bisa menjadi ruang kembali mengenali kemanusiaan yang dirahmati.

Perspektif Syukur dan Kesadaran Ruhani

Bagi para sufi, seni yang sejati selalu lahir dari rasa syukur. Orang yang bersyukur akan mengolah hidupnya menjadi karya, bukan sekadar keluhan.

Dul Muluk mengajarkan kita untuk bersyukur bukan hanya karena kita hidup, tapi karena kita diberi kesempatan oleh Allah untuk memainkan peran dalam skenario Ilahi.

Seperti tubuh yang bernapas karena izin-Nya, hati yang berdetak karena kasih-Nya, begitu pula teater ini bernapas karena ruh Islam yang menghidupkannya.

Dalam setiap adegan Dul Muluk, kita belajar bahwa tubuh ini bukan milik kita. Suara, gerak, bahkan napas adalah milik Allah.
Dan di panggung kehidupan, kita semua adalah aktor yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Sutradara Agung.

Ruh Islam dalam Teater Melayu

Bila kita telusuri lebih dalam, Dul Muluk sebenarnya bukan sekadar warisan seni. Ia adalah warisan tauhid.
Warisan bahwa hidup adalah pentas ujian, dan Allah-lah penulis naskahnya.

Sebagaimana diajarkan oleh para mursyid tarekat: “Jangan menonton dunia sebagai tontonan kosong. Jadilah penonton yang mengenali Allah di balik setiap peran.”

Itulah sebabnya teater seperti Dul Muluk seharusnya tidak mati. Ia adalah bentuk zikir kolektif bangsa Melayu. Zikir yang berpakaian pantun, bergerak dalam syair, dan bersuara dalam tawa rakyat.

Panggung sebagai Tempat Bersujud

Maka, jika suatu hari Anda menonton Dul Muluk, jangan hanya menonton cerita tentang raja dan permaisuri.
Lihatlah lebih dalam. Lihat bagaimana manusia di atas panggung sedang berzikir, sedang menelusuri makna sabar, syukur, dan ridha.

Panggung itu, sesungguhnya, adalah tempat bersujud yang lain. Tempat manusia memerankan dirinya dengan penuh kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un.”
Segala lakon bermula dari Allah, dan berakhir kepada-Nya.

Selama zikir masih berdetak di dada, selama panggung masih menyimpan doa,
Dul Muluk tidak akan mati.
Ia akan terus hidup—di hati orang-orang yang masih mau melihat Allah dalam seni, dan seni dalam jalan menuju Allah.**

Muaraenim, Oktober 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *