Langkah Santri, Napas Negeri: Jalan Santai Hari Santri Nasional di Muara Enim

Hari Santri bukanlah pesta tahunan. Ia adalah reminder (pengingat) bagi setiap Muslim Indonesia

MUARAENIM | KabarSriwijaya.NET — Pagi itu, Minggu, 19 Oktober 2025, Muara Enim belum sepenuhnya terbangun. Udara masih lembab, embun masih menggantung di ujung daun, tapi di sepanjang jalan utama Muaraenim, sudah tampak lautan manusia dengan kostumnya masing-masing. Diantara mengenakan baju bertulis Hari Santri Nasional.

Ribuan peserta dari berbagai penjuru datang: para santri, guru madrasah, ibu-ibu majelis taklim, hingga pejabat Kementerian Agama yang pagi itu tak mengenakan jas, melainkan senyum dan langkah ringan.

Di barisan depan, H. Abdul Harris Putra, S.Ag., M.Pd.I, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Muara Enim, berjalan bersahaja di antara santri-santrinya sendiri. Tak ada jarak antara pemimpin dan jamaah.

Di kanan-kiri, terdengar obrolan yang bersahut dengan tawa anak-anak. Sementara dari pengeras suara, panitia memanggil peserta untuk bersiap — menandai dimulainya Jalan Santai Hari Santri Nasional ke-11 di Muaraenim.

Bersama Staf Ahli Bupati Muara Enim, Juli Jumantun Nuri, serta Ketua PCNU Kabupaten Muara Enim, H. Ahmad Mujtaba, S.E., S.Th.I, pagi itu mereka melepas peserta dengan doa dan kibasan bendera.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Langkah-langkah pun dimulai — bukan sekadar langkah menuju garis akhir, tapi langkah menapak jejak para ulama yang dulu menempuh jalan jauh lebih terjal demi menyalakan cahaya Islam di tanah air.

Antara Langkah, Doa, dan Sejarah

Dari kejauhan, barisan santri yang beraneka warna seragam itu tampak seperti sungai yang mengalir di bawah langit biru Muara Enim. Di antara mereka, ada anak kecil yang sesekali berlari mendahului, ada pula kiai tua yang melangkah pelan tapi pasti. Semuanya membawa semangat yang sama: merayakan identitas santri bukan sebagai masa lalu, tetapi sebagai napas bangsa.

Cerpenis dan Jurnalis Majalah Amanah, Ahmad Tohari, dalam salah satu esainya, pernah menulis bahwa agama tanpa rasa kemanusiaan akan menjadi kering seperti tanah tandus, sementara kemanusiaan tanpa agama akan hanyut seperti lumpur tanpa dasar.

Barangkali itulah yang tampak di jalanan Muara Enim pagi itu: perpaduan iman dan kemanusiaan dalam wujud langkah bersama.

Santri itu bukan hanya mereka yang pandai mengaji, tapi mereka yang menjaga langkahnya agar tidak melukai siapa pun. “Jalan santai ini sederhana, tapi maknanya dalam: kita melangkah bersama, bukan saling mendahului.

Cahaya yang Menyala dari Wajah Santri

Di sepanjang rute, warga menyambut hangat. Ada yang melambaikan tangan, ada yang membagikan air minum. Di sudut lain, grup rebana dari madrasah swasta menabuh irama shalawat berlatih menyiapkan diri lomba Syarofal Anam dan Hadroh. Suasana yang membuat langkah terasa lebih ringan.

Seseorang dari rombongan PCNU berbisik lirih, “Inilah wajah Islam yang ramah, bukan yang marah.” Sementara di beerapa tempat tertempal Tema nasional tahun ini “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”. 

Ketika Langkah Jadi Doa

Di garis finis, terik matahari mulai menyapa. Tapi tak ada wajah lelah. Para peserta berkumpul di lapangan, menyeruput air mineral, berswafoto, lalu menundukkan kepala ketika doa penutup dibacakan.

Saat itu, seolah waktu berhenti sejenak — di antara riuh tawa, ada bisikan doa dari hati para santri: agar negeri ini tetap damai, dan pesantren terus menjadi sumber mata air kebaikan.  Dan lainnya berdoa, agar hari itu no kuponnya dipanggil mendapat door prize.

“Setiap langkah yang kita ayunkan hari ini,” ujar seorang guru dari Pondok Pesantren Laa Roiba dengan senyum lembut, “adalah simbol perjalanan ilmu. Dari gelap menuju terang, dari ego menuju kebersamaan.”

Sebuah kata bijak tertulis, “Santri berjalan bukan untuk menaklukkan dunia, tetapi untuk menemukan dirinya di tengah dunia yang terus berlari.”

Dari Jalan Menuju Jalan

Ketika kegiatan usai, peserta mulai bubar perlahan. Tapi semangat itu tidak berhenti di lapangan. Ia akan terus hidup di madrasah, di pesantren, di ruang-ruang kecil tempat santri membaca kitab dan menghafal doa. Jalan santai itu hanyalah satu bentuk dari perjalanan panjang bernama pengabdian.

Karena sejatinya, Hari Santri bukanlah pesta tahunan. Ia adalah reminder (pengingat) bagi setiap Muslim Indonesia, bahwa menjadi santri berarti terus belajar, terus melangkah, dan terus bersyukur. Langkah demi langkah — di bumi, menuju langit.

TEKS : IMRON SUPRIYADI  | FOTO : REPRO KEMENAG MUARAENIM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *