Oleh Imron Supriyadi

Sekarang semua berlomba-lomba dapat sertifikat halal. Ada yang karena takut disanksi, ada juga yang karena ingin produknya laku di pasar Timur Tengah. Padahal, kalau mau jujur, halal itu bukan urusan kertas atau stempel. Halal itu urusan nurani.
Kalau niat kita jualan cuma mau kaya, halal jadi pajangan. Tapi kalau niat kita jualan supaya rezeki kita barokah, halal jadi jalan. Dan bedanya antara pajangan dan jalan itu sederhana: satu hanya untuk dipamerkan, yang satu untuk ditempuh.
Saya sering lihat pedagang di pasar, yang jujur timbangannya, yang bersih dagangannya, yang kalau dagangan jatuh nggak langsung dijual lagi.
Orang-orang kayak gitu kadang nggak punya sertifikat halal. Tapi mereka lebih halal daripada pejabat yang tanda tangannya menghasilkan izin industri besar tapi bahan bakunya entah dari mana.
Nah, di sinilah letak lucunya kita. Kita sibuk mencari label halal di produk, tapi lupa mencari kehalalan di hati. Kalau di label tertulis “Halal MUI”, tapi di hati masih ada “haram iri dan dengki”, ya sama aja bohong.
Negara, Umat, dan Stempel Surga
Kata Bapak Zainudin dari BPJPH, tahun 2026 nanti semua pelaku usaha wajib punya sertifikat halal. Nah, ini saya senyum-senyum kecil.
Negara akhirnya benar-benar serius mengurusi halal. Tapi saya jadi kepikiran: “Apakah nanti semua yang punya sertifikat halal pasti masuk surga?”
Tentu tidak, ya. Tapi setidaknya, negara sudah berusaha memfasilitasi umat agar langkah ekonominya mendekat ke nilai-nilai ilahi. Itu bagus. Cuma, kalau boleh saya kasih saran, jangan cuma sertifikat usahanya yang halal. Anggaran rapatnya, pengadaan makan siangnya, dan laporan SPJ-nya juga halal dong.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
- Sertifikat Halal, Jalan Panjang Menuju Kepercayaan Pasar
- Literasi Sadar Halal: Jalan Cinta antara Iman, Ekonomi, dan Martabat Bangsa
Karena kalau sertifikat halal cuma berhenti di usaha kecil, tapi yang besar-besar tetap “setengah halal” karena ada fee sana-sini, itu namanya kita sedang berwudhu sambil bawa ember lumpur. Bersih tapi nggak suci.
Saya tidak sedang sinis, hanya mencoba jujur.
Kadang bangsa ini memang pandai menciptakan peraturan, tapi kurang piawai menumbuhkan kesadaran. Padahal, halal itu bukan proyek, tapi proses kesadaran.
UMKM dan Kelas Sabar Nasional
Di acara itu, hadir juga anggota DPR RI, KH Iqbal Romzi. Beliau bilang program halal gratis ini untuk membantu UMKM.
Wah, saya langsung terharu. UMKM itu kan singkatan dari “Usaha Mikro yang Menunggu Keajaiban”.
Karena kadang mereka sudah kerja keras, tapi tetap belum sejahtera. Mungkin karena selama ini kita baru pandai menyuruh mereka bersabar, tapi lupa menyiapkan sistem yang membuat sabar mereka berbuah manis.
Nah, sekarang ada sertifikasi halal gratis. Ini keren. Tapi jangan berhenti di situ. Karena yang dibutuhkan UMKM itu bukan cuma gratis, tapi juga gampang.
Buatlah prosesnya seperti bikin teh: cepat, hangat, dan bikin tenang. Jangan seperti bikin laporan proyek: ribet, berjenjang, dan penuh tanda tangan tak berujung.
Saya tahu semangatnya bagus: satu juta sertifikat halal nasional, 19 ribu untuk Sumsel. Tapi angka itu cuma statistik, kalau di lapangan masih banyak pelaku usaha kecil yang bingung harus ke mana, mengisi apa, dan menyerahkan dokumen ke siapa.
Yang kita butuh bukan hanya regulasi halal, tapi ekosistem cinta halal — di mana pelaku usaha didampingi dengan kasih, bukan diperiksa dengan curiga.
Halal Itu Bahasa Cinta, Bukan Bahasa Takut
Sertifikat halal itu penting, tapi jangan sampai jadi momok. Kadang kita ini suka salah kaprah: mengajak orang taat dengan menakut-nakuti, bukan mencintakan. Padahal, halal itu bahasa cinta. Cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, cinta kepada alam.
Kalau kita makan makanan halal, sejatinya kita sedang menjaga diri kita dari kerusakan.
Kalau kita menjual produk halal, sejatinya kita sedang mencintai pelanggan agar mereka sehat dan tenang.
Kalau kita menanam bahan baku halal tanpa merusak tanah, kita sejatinya sedang mencintai bumi yang jadi amanah.
Jadi, halal itu bukan sekadar “boleh dimakan”, tapi “layak dicintai”. Dan cinta itu tidak butuh sertifikat, tapi butuh niat yang tulus.
Tapi ya, kalau sudah bicara ekonomi modern, cinta saja tidak cukup. Maka sertifikat halal hadir sebagai jembatan antara cinta dan sistem. Ia bukan pengganti iman, tapi pengingat. Karena dalam dunia modern, cinta pun perlu manajemen.
Ketika Literasi Menjadi Iman
Saya sering ditanya: “Pak, kenapa orang kita masih banyak yang belum peduli halal?” Saya jawab sederhana: karena banyak yang masih baca tanpa memahami. Literasi halal itu bukan cuma tentang membaca aturan, tapi membaca hati.
Orang yang membaca label halal tapi tidak paham maknanya, seperti orang baca doa makan tapi sambil buka notifikasi Shopee.
Yang penting formalitas, bukan kesadaran.
Padahal, literasi sejati adalah ketika hati ikut berpikir, bukan sekadar otak. Kalau kita bisa menyatukan ilmu dan iman, maka halal akan tumbuh jadi budaya, bukan kewajiban administratif.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.”
Bayangkan, betapa indahnya kalau seluruh pelaku usaha di negeri ini menjadikan hadis itu sebagai prinsip bisnis.
Mungkin negeri ini akan penuh berkah, bukan penuh markup.
Ekonomi Halal dan Politik Keberkahan
Kita sering bicara soal ekonomi halal, tapi lupa bahwa ekonomi halal tidak bisa tumbuh di tanah politik yang haram. Kalau kebijakan dibuat karena kepentingan, bukan kebenaran, maka yang halal pun bisa kehilangan rasa. Ekosistem halal sejati hanya bisa tumbuh kalau kejujuran jadi fondasi.
Jadi, kalau kita ingin UMKM naik kelas, ya bukan hanya pelatihan dan modal yang ditambah. Tambahkan juga rasa malu dan tanggung jawab moral di setiap keputusan publik. Sebab, halal sejati tidak butuh promosi besar-besaran, ia akan bersinar sendiri lewat kejujuran dan keberkahan.
Akhirnya…
Gerakan Literasi Sadar Halal ini harus jadi gerakan kesadaran, bukan sekadar program kerja. Kalau hanya berhenti di spanduk dan foto bersama, ya itu bukan literasi — itu ritual administrasi.
Halal itu jalan panjang menuju Tuhan. Ia bukan sekadar label di botol sambal, tapi peradaban yang berakar pada kasih, kejujuran, dan amanah.
Dan kalau semua pelaku usaha di Sumsel, dari pedagang kemplang sampai produsen kopi, mulai menjalani hidup dengan semangat “halal karena cinta”, maka mungkin, insyaAllah, rezeki negeri ini akan kembali berkah. Dan siapa tahu — kita bisa makan dengan tenang, bukan cuma kenyang.**
Palembang-Muaraenim, 15 Oktober 2025