Sertifikat Halal, Jalan Panjang Menuju Kepercayaan Pasar

Pemerintah pusat menyiapkan program sertifikasi halal gratis bagi UMKM hingga 2026

AGAMA, Islam39 Dilihat

Palembang | KabarSriwijaya.NET – Di aula Balai Diklat Keagamaan Palembang, Sabtu pagi (11/10/2025), puluhan pelaku usaha mikro dan kecil duduk berderet, sebagian masih memegang map berisi berkas pendaftaran. Di depan mereka, seorang pejabat dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Zainudin, berbicara dengan nada tegas tapi hangat.

“Halal bukan cuma label. Ia jaminan kepercayaan dan perlindungan bagi konsumen,” ujarnya, membuka sesi Literasi Sadar Halal yang digelar bersama Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Selatan, dengan dukungan anggota Komisi VIII DPR RI, Iqbal Romzi.

Acara itu sekilas tampak seperti sosialisasi biasa. Tapi di baliknya, tersimpan misi besar: menyiapkan jutaan pelaku usaha menghadapi tenggat waktu 2026 — saat seluruh produk yang beredar di pasar Indonesia wajib bersertifikat halal, sesuai amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024.

Dari Regulasi ke Realitas

Zainudin, Kepala Subdirektorat Bina Ekosistem Halal BPJPH, memaparkan panjang lebar soal perjalanan lahirnya regulasi halal di Indonesia. Ia menyebutnya sebagai “sebuah revolusi sunyi” — proses panjang yang berawal dari tuntutan perlindungan konsumen hingga menjadi kebijakan nasional yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

“Kita tak bisa lagi memandang halal sekadar urusan keagamaan. Ini juga soal kualitas, kepercayaan, dan daya saing ekonomi,” katanya.

Menurutnya, percepatan sertifikasi halal menjadi langkah strategis agar produk dalam negeri mampu bersaing di pasar global yang kini kian sensitif terhadap isu halal.

Data State of the Global Islamic Economy Report 2024 menunjukkan, pasar halal dunia mencapai nilai lebih dari US$ 2,8 triliun. Indonesia — dengan populasi Muslim terbesar di dunia — justru masih berada di posisi konsumen, bukan produsen utama.

Sertifikasi Gratis dan Target Ambisius

Untuk mengejar ketertinggalan itu, pemerintah pusat menyiapkan program sertifikasi halal gratis bagi UMKM hingga 2026. Iqbal Romzi, anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS yang juga hadir dalam acara, menjelaskan bahwa target nasional mencapai satu juta sertifikat halal.

“Untuk Sumatera Selatan, targetnya 19.000 sertifikat, dan sampai hari ini sudah sekitar 15.000 yang terbit,” kata Iqbal kepada wartawan seusai acara.

Program ini, menurutnya, bukan hanya strategi ekonomi, tapi juga bentuk keberpihakan terhadap pelaku usaha kecil. Ia mengingatkan bahwa BPJPH kini berada langsung di bawah Presiden — bukan lagi bernaung di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) — sehingga jalur birokrasi diharapkan lebih efisien dan kepastian hukum sertifikat halal semakin kuat.

“Dengan sertifikat halal dari BPJPH, produk UMKM punya nilai tambah. Mereka bisa naik kelas, bahkan menembus pasar ekspor,” ujarnya.

Antara Kesadaran dan Kepatuhan

Namun di lapangan, semangat itu belum sepenuhnya sejalan dengan kesadaran para pelaku usaha. “Masih banyak yang menganggap sertifikat halal itu urusan nanti, bukan kebutuhan hari ini,” kata H. Yauza Effendi, Sekretaris Satgas Halal Sumsel, mewakili Kepala Kanwil Kemenag Sumsel.

Menurut Yauza, kesadaran masyarakat akan kehalalan produk memang meningkat, tapi masih belum merata. “Padahal konsumen sekarang jauh lebih kritis. Mereka melihat label halal, memeriksa izin BPOM, dan memilih produk yang jelas asal-usulnya,” ujarnya.

Bagi pelaku UMKM, lanjut Yauza, sertifikat halal bukan sekadar dokumen formal. Ia adalah tiket menuju pasar yang lebih luas. “Kepercayaan itu mahal. Kalau konsumen yakin produk Anda halal dan aman, omzet pasti naik,” katanya.

Data BPJPH menunjukkan, hingga September 2025, sekitar 3,8 juta pelaku usaha di seluruh Indonesia telah memiliki sertifikat halal. Namun jumlah itu baru sebagian kecil dari total UMKM nasional yang mencapai lebih dari 65 juta unit.

Kendala di Lapangan

Meski pemerintah menawarkan sertifikasi gratis, jalan menuju halal tak sepenuhnya mulus. Banyak pelaku usaha mengaku masih kebingungan soal persyaratan dan proses pendaftaran.

Siti Rohani, pemilik usaha kue tradisional dari Banyuasin, misalnya, mengaku baru tahu bahwa pendaftaran bisa dilakukan secara daring melalui platform SiHalal. “Dulu saya kira harus ke Jakarta. Sekarang ternyata bisa online, tapi tetap saja perlu pendampingan,” katanya.

Kendala lain adalah pemahaman soal bahan baku dan proses produksi. Banyak pelaku UMKM yang belum memiliki rantai pasok terverifikasi halal. “Misalnya, minyak goreng, margarin, atau bahan tambahan lain. Kalau tidak hati-hati, bisa jadi sumber masalah,” ujar Yauza.

Untuk itulah, kegiatan literasi seperti yang digelar di Palembang menjadi penting. Di akhir acara, panitia membuka booth pendaftaran on the spot, membantu peserta melakukan registrasi langsung. Beberapa di antaranya bahkan berhasil mengunggah dokumen dan mendapatkan nomor sertifikat dalam hitungan jam.

Halal Sebagai Etos Baru

Di luar aspek regulasi dan ekonomi, gerakan sadar halal juga menyentuh sisi kultural umat Islam. Iqbal Romzi menilai, halal seharusnya menjadi gaya hidup dan etika bisnis, bukan hanya kewajiban hukum.

“Kalau kita hidup dari yang halal, maka keberkahan akan turun. Tapi kalau dari yang syubhat, jangan harap tenang,” ujarnya, mengutip pesan klasik dari ulama terdahulu.

Pernyataan itu menggarisbawahi semangat baru yang mulai tumbuh: menjadikan halal sebagai etos moral dan sosial. Di tengah derasnya arus globalisasi dan industrialisasi pangan, nilai-nilai itu menjadi benteng sekaligus daya jual.

“Dunia sekarang bicara sustainability, transparency, dan traceability. Konsep halal sebenarnya sudah lebih dulu mengajarkan itu semua,” kata Zainudin dari BPJPH.

Menuju Ekosistem Halal Sumatera Selatan

Sumatera Selatan sendiri menjadi salah satu provinsi yang cukup progresif dalam pengembangan ekosistem halal. Pemerintah daerah menggandeng Kementerian Agama, BPJPH, dan lembaga pendidikan untuk memperbanyak penyelia halal di tingkat kabupaten/kota.

“Target kami, setiap daerah punya minimal satu pusat layanan halal. Ini agar UMKM tidak lagi kesulitan mencari pendamping,” ujar Yauza.

Langkah ini sejalan dengan visi nasional menjadikan Indonesia sebagai pusat produsen halal dunia pada 2029. Pemerintah menyiapkan infrastruktur digital, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, hingga kerja sama internasional dengan lembaga halal global.

Dari Literasi ke Transformasi

Di penghujung acara, suasana aula Balai Diklat Keagamaan Palembang terasa berbeda. Beberapa peserta tampak lebih paham, sekaligus lebih yakin: bahwa halal bukan sekadar urusan agama, tapi juga masa depan usaha mereka.

“Saya ingin produk saya punya logo halal. Biar pembeli percaya, dan saya pun lebih tenang,” kata Nuraini, pelaku UMKM asal Prabumulih yang baru mendaftar sertifikat halal hari itu.

Gerakan literasi halal di Palembang mungkin hanya satu titik kecil dari upaya nasional yang luas. Tapi dari titik-titik kecil seperti inilah kesadaran besar bisa tumbuh — bahwa ekonomi yang kokoh tak hanya butuh inovasi dan strategi, tetapi juga kejujuran dan keberkahan.

TEKS : YULIE AFRIANI  |  EDITOR : IMRON SUPRIYADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *