BAZNAS, Teater dan Ipin-Upin : Saatnya Seni Budaya Menggoyang Zakat

Kampanye kesadaran zakat melalui seni budaya bukan hal pinggiran

Penulis : Imron Supriyadi, Jurnalis dan Pelaku Sastra dan Teater

Bayangkan kita sedang duduk santai di beranda rumah. Televisi menayangkan Upin-Ipin—film animasi asal Malaysia yang selalu mengusung nilai moral sederhana, tapi nyantol di kepala anak-anak kita. Bahkan kadang orang tua ikut terkekeh-kekeh.

Lalu kita bertanya sendiri: kenapa anak kita hafal dialog Upin-Ipin, hafal jingle minuman, hafal lagu senam “Gemu Fa Mi Re”, hafal “Ya Saman” karya Kamsul A Harla, atau lagu “Palembang Darussalaam” karya Yayak, Lagu ”Rungkad” ciptaan Vicky Tri Prasetyo, asal Bantul, tapi jarang—bahkan hampir tidak pernah—melihat pentas seni yang menyentuh tentang zakat?

Pertanyaan ini penting. Karena selama ini, kampanye zakat di Indonesia, termasuk di Sumsel, masih berat sebelah: serius, formal, kaku, penuh grafik dan angka. Padahal kesadaran zakat bukan semata urusan pikiran rasional, tetapi juga rasa, seni, dan budaya.

Mengapa Zakat Harus Masuk Seni Budaya

Coba ingat fenomena “Goyang Ngebor” Inul awal 2000-an. Atau Joshua dengan “Diobok-Obok” di akhir 90-an. Atau lagu senam “Gemu Fa Mi Re” (Maumere) yang mendadak menjadi viral seluruh Indonesia. Itu semua contoh kekuatan seni dan budaya membentuk perilaku massa. Orang tak peduli teori, mereka ikut bergoyang, ikut nyanyi, ikut senam.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Artinya, seni-budaya mampu mengubah “kesadaran” jadi “kebiasaan” tanpa kita sadari. Bahkan sebuah lagu bisa jadi semacam dzikir massal jika pesannya kuat. Lihatlah “Ya Saman” yang dibawakan generasi muda Sumsel, atau “Palembang Darussalaam” yang lirih tapi sarat doa. Orang ikut menyanyi, meskipun awalnya hanya iseng.

Nah, mengapa pendekatan seperti ini nyaris tidak digunakan dalam kampanye zakat? Mengapa khutbah zakat selalu terjebak pada data mustahik-muzakki, nisab, haul, dan peraturan menteri? Mengapa kita tidak menulis naskah teater tentang zakat? Tidak membuat film animasi zakat? Tidak bikin musikalisasi puisi zakat?

Potensi Besar, Kesadaran Rendah

Kita tahu Sumsel punya potensi zakat luar biasa—kajian menyebut angka sekitar Rp 2,3 triliun per tahun. Tapi realisasi penghimpunan zakat lewat Baznas baru menyentuh sebagian kecilnya. Ada jurang lebih dari satu triliun rupiah yang belum tergali. Ini bukan semata masalah teknis, tapi masalah kesadaran publik.

Kesadaran publik, di era digital, dibentuk oleh narasi dan simbol. Kita mungkin lupa isi khutbah Jumat minggu lalu, tapi kita ingat jingle “Coca-Cola” tahun 90-an. Kita mungkin sulit menghafal definisi zakat mal, tapi kita hafal gaya Upin-Ipin ketika bilang “Betul, betul, betul”. Itu kenyataan psikologi massa.

Sebanyak 40 peserta mengikuti ujian tertulis dan wawancara seleksi calon pimpinan Baznas provinsi Sumatera Selatan di Hotel Swarna Dwipa Palembang, Sabtu (27/09/2025). (Sumber : Humas Kemenag Sumsel)

Jadi kalau Baznas, Kemenag, dan lembaga zakat ingin menggoyang kesadaran zakat, jangan hanya pakai seminar. Pakailah seni budaya, film, teater, puisi, musik. Buat “Zakat Goyang” yang viral. Bukan untuk mengentengkan ibadah, tapi untuk membuka pintu rasa agar akal bisa menerima.

Pelajaran dari Upin-Ipin dan Tradisi Kita

Film Upin-Ipin adalah bukti bahwa nilai Islam bisa dikemas ringan, menghibur, dan tetap mendidik. Mereka bercerita tentang puasa, sedekah, hormat orang tua, berbagi, tanpa ceramah panjang. Anak-anak bukan cuma paham, tapi meniru. Bahkan orang dewasa terbawa.

Di medsos, kita dalam bulan ini disuguhi Lagu “Tabola Bale” berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ada Lagu “Stecu Stecu” berasal dari Indonesia dan dibawakan oleh Faris Adam, penyanyi asal Ternate, Maluku Utara. Hampir semua umur hafal syair dan gaya jogednya.

Di Sumsel kita punya lagu “Ya Saman” Kamsul A Harla, “Palembang Darussalaam”  Karya Yayak, tari Gending Sriwijaya, teater rakyat, dulmuluk, musik panting, sampai pantun jenaka. Semuanya adalah pintu-pintu budaya tempat nilai zakat bisa dititipkan.

Bayangkan, kita bikin pementasan teater “Dua Muzakki dan Seorang Mustahik” di pasar tradisional. Atau film pendek “Zakat Membawa Berkah” yang tayang di TikTok. Atau lomba musikalisasi puisi zakat antar sekolah madrasah. Setiap pentas seni jadi dakwah zakat, setiap lagu jadi pengingat nisab, setiap film jadi penggugah hati.

 Kita Masih “Mematung” dalam Dakwah Zakat

Maaf kalau saya agak keras. Kita sering mengeluh kenapa zakat belum maksimal, tapi kita tetap melakukan kampanye dengan metode yang sama, tahun demi tahun. Kita mengira orang akan sadar zakat hanya dengan melihat brosur atau membaca laporan tahunan. Itu seperti berharap orang paham demokrasi hanya dengan membaca pasal-pasal UUD.

Kita—para amil zakat, birokrat agama, ustaz, akademisi—kadang lupa bahwa masyarakat bergerak dengan ritme rasa, bukan logika semata. Lihatlah bagaimana senam “Gemu Fa Mi Re” bisa menyatukan ribuan orang tanpa pidato. Lihatlah bagaimana sebuah lagu dangdut bisa menggerakkan massa lebih cepat daripada seminar kebangsaan.

Kalau begitu, mengapa tidak kita pakai seni budaya untuk zakat? Bukankah Nabi Muhammad SAW juga berdakwah menggunakan medium sastra yang familiar bagi masyarakat Arab.

Rasul Berdakwa melalui Sastra

Pada masanya, Rasul mendatangi Pasar Ukaz untuk menyampaikan risalah dan memanfaatkan penyair Muslim sebagai alat dakwah—ini menjadi teladan penggunaan budaya lokal untuk dakwah yang efektif.

Kali itu mana Ḥassān bin Tsābit al-Anṣārī diisebut “Penyair Rasulullah” Sebelum Islam, ia penyair ternama Madinah. Setelah masuk Islam, ia menjadi “jurubicara” Islam lewat syair. Selain itu ada Ka‘b bin Malik Sahabat Anshar yang juga penyair, dan lainnya.

Dalam catatan dakwah kultural di Indonesia, kita punya jejak sejarah para Wali Songo yang berdakwah dengan wayang, gamelan, tembang mocopat, dan seni pertunjukan. Bukankah Islam di Nusantara menyebar lewat seni, bukan senjata?

Namun, jangan buru-buru menilai seni (puisi, sastra, teater, musik) itu haram dalam Islam, karena seni bisa membuat orang lupa pada Tuhannya. Benarkah? Analoginya, misalnya dalam kasus perkosaan.

Kata pengamat, salah satu penyebab kasus perkosaan terjadi, karena laki-laki punya alat kelamin (penis). Apakah kemudian untuk memberantas kasus perkosaan, lantas semua penis laki-laki harus dipotong dan dibuang?

Musik apapun jenisnya tak punya agama. Tak punya kelamin. Seni itu pesan nilai yang universal. Bila kemudian ada orang lupa dengan Tuhan, gara-gara mendengarkan musik, ya bukan musiknya yang salah, tapi ya orangnya yang tak punya pengendalian diri. Bisakah mendengarkna musik dengan tetap menyebut nama Allah. Mengapa tidak? Contohnya tarian Sufi. Ada musik, irama dan dana. Semua syahdu. Kok jadi menyalahkan musik? Itu namanya jahil murokab, Goblok, geblek tiga belas!

 Roadmap Seni Budaya Zakat

Oleh sebab itu, kampanye kesadaran zakat juga perlu melalui pendekatan seni budaya. Kalau mau serius, saya bantu buatkan roadmap kampanye zakat berbasis seni budaya, meskipun saya tidak mencalonkan ketua BAZNAS Sumsel.

Harapan saya, kalau ide ini dipakai dan diterapkan, meskipun saya tidak juga diajak diskusi tentang  bagaimana teknis pengerjaannya, minimal saya dapat amal jariyah dari gagasan ini. Itung-itung pahalanya bisa mengurangi dosa dan siksa kubur.

Begini, ada beberapa langkah praktis di bawah ini. Selanjutnya silakan diterapkan kapan dan untuk siapa saja, kalau berkenan :

  • Audit dan Kembangkan Karya Seni Lokal; Identifikasi lagu, tarian, teater, dan tradisi Sumsel yang bisa menjadi medium dakwah zakat. Ajak seniman lokal untuk menulis ulang atau menyelipkan pesan zakat.
  • Festival Zakat Nusantara; Gelar festival tahunan: lomba teater zakat, puisi zakat, film pendek zakat, tari kreasi zakat. Jadikan ini event viral di media sosial.
  •  Kolaborasi dengan Influencer Budaya; Gandeng influencer, youtuber, atau pembuat konten yang sudah punya audiens. Biarkan mereka mengemas zakat dengan gaya mereka—asal pesan syariah tetap terjaga.
  • Animasi dan Komik Islami; Kembangkan animasi anak ala Upin-Ipin bertema zakat. Atau komik digital di platform seperti Webtoon. Targetkan generasi Z.
  • Kampanye Musikalisasi Puisi dan Lagu Religi Baru; Kita punya potensi musisi religius Sumsel. Dukung mereka buat single tentang zakat yang “catchy” tapi bermakna. Seperti “Ya Saman” atau “Palembang Darussalaam”, tetapi dengan pesan zakat.
  • Integrasi Kurikulum Madrasah dan Ekstrakurikuler Seni; Madrasah bisa jadi lokomotif kampanye zakat berbasis seni. Ajarkan siswa membuat karya seni zakat. Mereka akan jadi agen kecil di rumah masing-masing.
Sumber  Tabel : Litbang KabarSriwijaya.NET/Diolah

Jangan Hanya Seremonial

Tentu, semua ini harus dijaga ruhnya. Kita bukan mau mem-commercial-kan zakat atau menurunkannya jadi gimmick. Kita ingin memulihkan metode dakwah Islam Nusantara: lembut, kreatif, seni, dan inklusif.

Pendekatan seni budaya ini juga harus didampingi akuntabilitas lembaga zakat. Orang mau ikut zakat karena hatinya tersentuh seni, tapi mereka tetap butuh kepastian dana mereka dikelola profesional. Jadi seni dan manajemen harus bersinergi. Kalau tidak, kita hanya memoles kemasan, tapi isinya kosong.

Zakat Harus Menggoyang, Bukan Menggurui

Saya teringat kata-kata ulama tua: “Kalau dakwahmu hanya menggurui, telinga orang tertutup. Tapi kalau dakwahmu menyentuh rasa, hatinya terbuka.” Seni budaya adalah jembatan ke hati. Di situ pintu zakat terbuka.

Sudah saatnya kampanye zakat kita seindah puisi Chairil Anwar, sekuat goyangan budaya, sesyahdu lantunan shalawat. Kita bisa belajar dari fenomena Upin-Ipin: sederhana, menghibur, tapi membekas. Kita juga bisa belajar dari Wali Songo: teater rakyat, wayang, musik—semua jadi alat dakwah.

Sumsel punya potensi zakat besar, punya tradisi seni kuat, punya generasi kreatif. Tinggal keberanian kita merumuskan strategi baru. Dengan seni budaya, zakat bukan lagi angka mati, tapi nyawa gerakan umat.

Kalau kita berhasil, bukan cuma zakat yang naik, tapi martabat kita sebagai umat Islam Sumsel akan ikut terangkat. Dan siapa tahu, dari Palembang akan lahir “Upin-Ipin versi zakat” yang kelak ditonton anak-anak Muslim di seluruh Asia Tenggara. Betul, betul, betul!

Bukan hal pinggiran

Kampanye kesadaran zakat melalui seni budaya bukan hal pinggiran; ia adalah inti dari strategi baru dakwah zakat di era medsos. Dari teater sampai TikTok, dari puisi sampai animasi, kita bisa menyalurkan nilai-nilai zakat dengan cara yang lebih melekat di hati masyarakat. Inilah jalan dakwah yang satiris, agamis, kreatif, sekaligus solutif—jalan yang diwariskan para ulama Nusantara. Mari kita hidupkan kembali.**

Ponpes Laa Roiba-Muaraenim, 27 September 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait