
Ada satu peribahasa Arab yang sering kita dengar di pesantren: “Al-ḥaqīqatu murratun wa law qālahā ṣabiyyun” Kebenaran itu pahit, meskipun disampaikan anak kecil. Maka mari kita pahit-pahitkan dulu sebelum kita maniskan.
Hari ini, kita mendengar Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) Sumsel meluncurkan Sapta Cita, tujuh program unggulan untuk periode 2025–2028.
Ada program literasi media, aksi sosial, bela negara, pelatihan kebangsaan, hingga PGK Sumsel Award untuk tokoh-tokoh daerah. Kedengarannya keren. Bungkusnya meyakinkan. Semua terlihat menjanjikan.
Namun sejarah Sumatera Selatan (sejak saya mulai aktif di organisasi sejak tahun 1995 di Sumsel) mengajarkan kita sesuatu: terlalu sering organisasi lahir, menggelegar di awal, hilang di tengah jalan.
Deklarasi besar, spanduk megah, wajah-wajah baru yang gagah. Tapi setelah itu? Diam, padam, menunggu momentum berikutnya. NATO—Not Action Talk Only—itulah sindrom organisasi kita.
Sumsel Kering Pemimpin, Subur Pengikut
Mengutip Prof Djalaludin (alm) Mantan Rektor IAIN Raden Fatah, pada obrolan kecil di Radio Smart FM Palembang tahun 1999. Penulis Novel “Embun Diatas Bukit” ini pernah mengatakan keada penulis ; Kita mesti jujur, di Sumsel ini kering penggerak, miskin leader. Banyak yang berani bicara, ide melambung tembus langit, tapi sedikit yang berani bekerja. Banyak follower, sedikit leader.
Dan kini, faktanya tidak sedikit kalangan muda, terutama Gen-Z, sering merasa seperti anak ayam kehilangan induk: punya potensi, tapi tidak punya pengarah. Akibatnya mereka mencari jati diri di komunitasnya masing-masing, tanpa tauladan, tanpa arahan dan bimbingan. Efeknya : miskin identitas, krisis ideologi. Mindset-nya : gaya hidup hedonis, individualis dan apatis.
BACAR BERITA TERKAIT :
Di tengah keringnya pemimpin inilah, PGK Sumsel hadir dengan bendera besar Sapta Cita. Harapan publik, terutama pemuda, sangat tinggi. Mereka ingin PGK bukan hanya mengulang pola lama. Saya, Anda dan semua ingin PGK jadi leader, bukan sekadar merk.
Botol Kosong Berlabel Indah
Kita tak boleh malu untuk mengingatkan PGK Sumsel: janganlah menjadi botol kosong dengan merek bagus, kemasan mewah, tapi tanpa isi. Betapa sering organisasi di Sumsel muncul bagai kembang api: terang sejenak, lalu hilang. Kita bosan dengan kosmetika politik. Kita butuh substansi, bukan glamour.

PGK Sumsel harus mengubah pola pikir klasik: “kalau tidak ada anggaran, organisasi tidak jalan.” Ini warisan mental birokrasi yang mematikan kreativitas.
Di era digital, sumber daya bukan hanya soal uang. Ia tentang ide, kolaborasi, dan keberanian. PGK harus bisa membalik paradigma: bukan menunggu dana untuk bergerak, tetapi menciptakan dana melalui gerakan.
Sapta Cita Harus Turun ke Bumi
Sapta Cita itu bagus di atas kertas. Tapi masyarakat menunggu PGK turun ke bumi. Rasulullah SAW mengajarkan; kalau ada seekor kucing terjerembab dalam parit, jangan perinathkan orang lain mengambilnya, tapi tangan kita yang harus lebih dulu kotor mengambil kucing itu, sehingga orang akan ikut.
Oleh sebab itu, PGK Sumsel bukan hanya gelar seminar dalam forum elite di hotel, tetapi hadir di pasar, di kampung, di tepian Sungai Musi, di kebun karet, di pabrik kecil, di ruang-ruang kelas sekolah desa. Sapta Cita harus menjadi “Gerakan Sapta Rasa”—terasa, tercium, terdengar, terlihat. Stop! “merasa pintar” tetapi yang perlu dibangun adalah : Gempita – alias Gerakan Pintar Merasa.
Misalnya, program literasi media dan anti-hoaks. Ini bisa dieksekusi dengan kelas-kelas kecil di SMA atau pondok pesantren. Program bela negara bisa dikemas jadi kemah kepemimpinan dan diskusi lintas agama. Program pelatihan kebangsaan bisa menyasar pemuda pengangguran dengan materi kewirausahaan dan lainnya.
Hal yang tidak kalah pentingnya, pendidikan anti korupsi yang harus dimulai dari pendidikan terendah, TK hingga perguruan tinggi. Dari desa ke desa, menyadarkan bahaya narkoba dan lain sebagainya.
Menggali Emas di Halaman Sendiri
Sumsel tak perlu menunggu teknologi luar. Sebab kekayaan kita ada di halaman sendiri. Sumsel kaya potensi: enceng gondok, batok kelapa, ban bekas, limbah sawit, rotan liar, bahkan sungai-sungai. Semua itu bisa menjadi basis wirausaha sosial (social entrepreneurship) bagi pemuda. Tinggal bagaimana PGK Sumsel mengorganisasi potensi ini menjadi laboratorium ekonomi kreatif kebangsaan.
Bayangkan PGK bikin program: “Sekolah Kewirausahaan Sapta Cita”, mengajarkan pemuda mengolah enceng gondok jadi tas, batok kelapa jadi lampu artistik, gantungan kunci, ban bekas jadi kursi taman, limbah sawit jadi briket. Hasilnya dipasarkan lewat e-commerce. Anak muda jadi produktif, lapangan kerja tercipta, kebanggaan lokal meningkat. Tak akan ada lagi kalimat : lapangan kerja sempit. Sebab lahan terbentang luas, untuk berkarya.
Pemuda sebagai Khalifah Kecil
Dalam Islam, setiap manusia adalah khalifah di muka bumi. Pemuda adalah khalifah kecil di lingkungannya. Maka Sapta Cita harus membentuk pemuda sebagai kreator bumi yang berdaya cipta, bukan hanya objek program. Mereka harus menjadi aktor utama, bukan penonton. Harus menjadi subjek bukan menjadi obyek, atau pelengkap penderita.
PGK Sumsel bisa mengambil inspirasi dari gerakan “desa mandiri” di Jawa Tengah atau komunitas social enterprise di Bandung. Tidak perlu muluk-muluk. Mulai dari hal kecil, konsisten, lalu meluas.
Mengubah DNA Organisasi
Kalau PGK Sumsel ingin jadi pemimpin perubahan, ia harus mengubah DNA organisasi: Pertama ; Dari birokratis ke kreatif, kedua; Dari menunggu anggaran ke menciptakan peluang, ketiga; Dari deklarasi ke aksi nyata dan keempat; Dari “kegiatan” ke “gerakan”
Organisasi yang berbasis “kegiatan” selalu habis ketika dana habis. Tapi organisasi yang berbasis “gerakan” akan hidup bahkan tanpa dana, karena ditopang passion, komitmen, dan kreativitas.
Perlu “Etos Santri” dalam Gerakan
PGK Sumsel bisa belajar dari pesantren: etos kerja tanpa pamrih, kesabaran, dan kemandirian. Santri dibentuk untuk tahan hidup sederhana, disiplin, dan kreatif. Jika etos ini diterapkan di organisasi pemuda, ia akan menjadi energi yang tidak pernah padam.
Mengutip kalimat Budayawan Cak Nun yang sering menyindir kita: “Kamu itu bukan tidak punya uang, kamu itu tidak punya ide.” Maka PGK Sumsel perlu mengasah ide-ide kreatif dan memobilisasi jaringan lintas sektor.
Media Digital: Ladang Tak Berpagar
Zaman sekarang tak ada lagi alasan tidak bisa bergerak. Media sosial adalah ladang tak berpagar. PGK Sumsel bisa jadi media penghubung pemuda Sumsel. Dari Instagram, TikTok, YouTube, mereka bisa mempublikasikan kegiatan, membuka kelas daring, dan menjaring donasi publik untuk program. Semua bisa dilakukan, tergantung satu hal: mau atau tidak?!.
Kritik sebagai Vitamin, Bukan Racun
Opini ini bukan untuk menjatuhkan PGK Sumsel, melainkan untuk menyuntikkan vitamin kritik. Kritik bukan racun, melainkan asupan sehat agar PGK Sumsel tidak jatuh pada lubang yang sama. Organisasi yang baik harus berani mendengar kritik dan berani memperbaiki diri. Membalas bukan dengan argumentasi yang retoris, tetapi dengan aksi.
PGK Sebagai Lentera Baru
Kita semua tahu Sumatera Selatan membutuhkan lentera baru. PGK Sumsel punya peluang itu. Dengan Sapta Cita, mereka punya amunisi. Sekali lagi, yang perlu dijaga adalah ruh gerakan: jangan hanya jadi NATO, Not Action Talk Only. Jangan hanya jadi simbol, jadilah substansi.
Jika PGK Sumsel bisa konsisten, ia akan jadi model baru organisasi pemuda di Indonesia: mandiri, kreatif, ideologis, dan produktif. Jika PGK Sumsel jatuh ke pola lama, ia hanya akan jadi catatan kaki sejarah.
Penutup: Harapan Generasi Z
Generasi Z di Sumsel sedang menunggu. Mereka seperti orang lapar menunggu makanan. PGK Sumsel datang membawa Sapta Cita seperti membawa nampan besar. Kita berharap isinya benar-benar gizi perubahan, bukan hiasan plastik.
Sapta Cita adalah kesempatan emas untuk memanusiakan manusia muda di Sumsel. Untuk mengangkat martabat mereka dari follower menjadi leader. Dari pengekor menjadi pelopor. Untuk mengubah pola pikir dari konsumtif menjadi produktif. Untuk menjadikan organisasi sebagai kawah pembentukan kader, bukan sekadar tempat selfie, ngopi-ngopi sepanjang hari tanpa aksi.
Di Bumi Sriwijaya yang kaya sejarah ini, PGK Sumsel bisa menjadi aliran baru: mengalir, menyuburkan, dan menyinari. Harapannya, PGK Sumsel berani mengambil jalan sunyi: jalan kerja, bukan jalan kata.
Terakhir, harapan saya dari PGK Sumsel akan lahir “generasi baru” yang berkata : Laisal Fataa Mayyakuulu-ka-na-abii. Walakinnal Fataa, Mayyakulu-Haa-Ana-dza! (Bukan seorang pemuda yang berani berkata : itu Bapakku, tapi seorang pemuda yang berani berkata : Inilah Aku!).
Syair (Mahfudzot) diatas, sebagai penegasan, bahwa kemuliaan seorang pemuda bukan terletak pada kebanggaan terhadap garis keturunan, nama besar, atau reputasi orang tuanya, melainkan pada keberanian menunjukkan jati diri, karya, dan integritas pribadinya.
Pesan ini mengajarkan kemandirian moral dan tanggung jawab sosial: seorang pemuda sejati bukan yang berlindung di balik prestasi generasi sebelumnya, tetapi yang berani berkata “inilah aku” — menghadirkan kontribusi nyata, gagasan segar, dan aksi nyata untuk membangun dirinya dan lingkungannya.
Dalam konteks Sumsel hari ini, PGK Susmel bisa menjadi laboratorium nyata untuk mewujudkan semangat mahfudzot itu: melahirkan pemuda yang tidak hanya bangga pada sejarah, gelar, atau tokoh besar masa lalu, tetapi berani menunjukkan jati diri dan karya aktualnya.
Melalui Sapta Cita, PGK Sumsel dapat mengajak generasi muda untuk membangun jejaring, membuka ruang kolaborasi, mengasah kepemimpinan, dan mengembangkan ekonomi kreatif—dari pemanfaatan potensi lokal hingga inovasi sosial—agar lahir pemuda yang berkata “inilah aku” lewat program dan karya, bukan sekadar slogan.
Dengan begitu, PGK Sumsel bukan hanya wadah seremonial, melainkan kawah candradimuka pembentuk pemimpin masa depan yang mandiri, berintegritas, dan relevan dengan tantangan zaman.
Sebagi penutup, ada satu lagi ungkapan Mahfudzot : “Syubbanul Yaumi Rijalul Ghodi” (Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan). Ini menegaskan, bahwa kualitas kepemimpinan esok lahir dari pembinaan pemuda saat ini.
Bagi PGK Sumsel, mahfudzot ini menjadi motivasi untuk tidak sekadar mengumpulkan massa muda, tetapi membimbing mereka agar memiliki wawasan kebangsaan, integritas, dan keterampilan nyata.
Artinya PGK Sumsel ikut bertanggung jawab menyiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin—bukan hanya pada tataran politik, tetapi juga sosial, ekonomi, dan kebudayaan—melalui program Sapta Cita yang mendorong lahirnya pemuda progresif, mandiri, dan berani mengambil peran strategis di masa depan. Kata Bung Karno, setiap gerakan anak bangsa (baca: pemuda) harus bisa mewujudkan sikap : kemandirian secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan. Selamat berproses!
Ponpes Laa Roiba-Muaraenim, 15 September 2025