Pagi itu Matahari belum sepenuhnya naik di langit Seruni Raya, sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Selampit. Jalan menuju Balai Seruni berdebu, meski baru saja disiram air oleh mobil pemadam kebakaran yang iseng nyambi jadi penyiram jalan.
Di depan balai, sekelompok wartawan sudah berbaris seperti pasukan yang sedang menunggu komando. Mereka membawa kamera, mikrofon, dan catatan kecil. Di wajah mereka ada rasa penasaran yang sama: hari ini ada kunjungan kerja Komisi Hukum Parlemen dan Kapolda Seruni Raya, yang katanya bakal bicara soal pembaruan KUHAP.
Di antara wartawan itu ada Jaka Saragih, wartawan senior media daring PurnamaNews. Rambutnya sudah memutih, tapi tangannya masih cekatan. Dia dikenal sebagai “ustadz berita” karena setiap kali liputan selalu menyelipkan kutipan ayat Qur’an atau pepatah Jawa dalam tulisannya. “Berita itu harus membawa rahmat, bukan laknat,” begitu semboyannya.
Di sisi lain pagar, seorang pejabat humas Kepolisian Seruni Raya, Kompol Sugeng Warsono, berdiri dengan rompi biru dan kacamata hitam. Wajahnya tegang. Sugeng baru tiga bulan menjabat Kabid Humas. Ia lulusan sekolah humas di luar negeri, tapi lidahnya masih kaku kalau bicara dengan wartawan. “Tugas saya mengatur agar semua tertib,” katanya pada ajudannya.
Acara berlangsung di ruang sidang Balai Seruni. Para pejabat bicara panjang lebar tentang pembaruan hukum acara pidana, tentang hak tersangka, tentang keterbukaan. Jaka Saragih dan kawan-kawan wartawan menunggu di luar. Mereka siap melakukan “doorstop” begitu para pejabat keluar gedung.
Namun, ketika rombongan keluar, Sugeng Warsono langsung merentangkan tangan. “Maaf, tidak ada doorstop. Waktunya mepet. Pak Kapolda harus ke bandara.”
“Lho Pak Sugeng, janji kemarin kan ada doorstop,” kata Jaka. “Kami ini cuma mau konfirmasi, tidak lebih.”
Sugeng menoleh tajam. “Saya bilang tidak, ya tidak.”
Para wartawan saling pandang. Ada yang mengumpat dalam hati, ada yang memaki pelan. Jaka menarik napas panjang. “Kalau Nabi Muhammad dulu mau menutup pintu dialog, Islam mungkin tidak sampai ke Nusantara,” gumamnya lirih.
Di warung kopi depan balai, suasana panas berubah jadi diskusi. Wartawan muda bernama Lela memukul-mukul meja. “Ini negara apa, Bang Jaka? Katanya demokrasi, tapi humasnya kayak benteng Berlin!”
Jaka tersenyum pahit. “Sabar, Le. Kita bukan cuma pencatat fakta, kita juga penjaga akhlak. Jangan-jangan kita ini sedang diuji, mau jadi wartawan yang tukang marah atau tukang mendidik.”
Lela mendengus. “Tapi kan hak publik Bang. Hak kita untuk bertanya.”
Di radio kecil warung itu, seorang ustadz sedang ceramah tentang kisah Nabi di Madinah. Tentang Piagam Madinah, tentang bagaimana Rasulullah melindungi Yahudi dan Nasrani, dan tentang pentingnya memberi ruang pada suara berbeda. “Islam itu rahmatan lil alamin. Jangan cuma hafal ayat, tapi lupa rahmatnya,” suara ustadz menggema.
Jaka tersenyum kecut. “Lihat itu Le, ustadz di radio aja ngerti. Padahal kita lagi disuruh belajar langsung di lapangan.”
Sore harinya, dunia maya meledak. Video Sugeng Warsono melarang doorstop viral di media sosial. Judul-judul bombastis bermunculan: “Humas Polisi Tutup Mulut Media”, “Pintu Demokrasi Ditutup di Seruni Raya”, dan “Humas Jadi Benteng Informasi.”
Para aktivis LSM ikut bersuara. Seorang dosen komunikasi dari Universitas Seruni Raya menulis di statusnya: “Humas adalah mitra, bukan sensor.” Tagar #BukaPintuInformasi trending.
Sugeng Warsono pusing. Telepon dari Jakarta berdatangan. Atasannya marah. “Sugeng! Kau itu humas, bukan satpam!” bentak Kapolda di ujung telepon. Sugeng menelan ludah, wajahnya pucat.
Malamnya Sugeng tidak bisa tidur. Di kamarnya ia membuka kitab kecil pemberian kiai pesantren waktu dia masih SMA. Di situ tertulis hadis Nabi: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamu.” Sugeng merasa seperti dipukul. “Wartawan itu tamu juga,” gumamnya.
Esok paginya Sugeng memanggil wartawan ke kantornya. Jaka Saragih datang paling awal. Sugeng menyalami satu-satu. “Saya minta maaf,” katanya pelan. “Tidak ada niat saya menghalangi kerja teman-teman. Saya hanya panik karena jadwal mepet.”
Jaka mengangguk. “Kami paham, Pak Sugeng. Tapi jangan sampai ada kesan aparat memusuhi pers. Kita ini sama-sama melayani publik.”
Sugeng tersenyum getir. “Saya belajar dari Nabi. Dulu beliau berdakwah dengan budaya, dengan dialog. Saya malah bikin benteng. Maafkan saya.”
Lela menyahut dengan nada setengah bercanda. “Kalau Nabi masih hidup, mungkin beliau bikin grup WhatsApp sama wartawan biar gampang koordinasi.”
Semua tertawa. Suasana mencair.
Cerita ini menyebar. Media-media menulis “Kabid Humas Seruni Raya Minta Maaf.” Publik mengapresiasi. Bahkan Gubernur Seruni Raya mengundang Sugeng dan para wartawan dalam acara “Ngopi Demokrasi” di pendopo. Diskusi berlangsung hangat. Sugeng mengakui kesalahan, para wartawan memberikan masukan.
Di situ, seorang kiai sepuh bernama Gus Mahsun bicara lembut, “Anak-anak, kita ini hidup di zaman medsos. Informasi bisa meluncur lebih cepat dari peluru. Kalau kalian saling menutup diri, nanti yang rugi rakyat kecil. Nabi itu mengajarkan kita: beda pendapat bukan alasan memutus silaturahmi. Bahkan dengan musuh pun beliau dialog, apalagi dengan kawan seiman.”
Jaka mendengarkan penuh khidmat. Ia teringat lagi pada Piagam Madinah. “Seharusnya aparat jadi penjamin ruang publik, bukan pembatasnya,” pikirnya.
Namun drama belum selesai. Seminggu kemudian, sekelompok ormas garis keras datang ke kantor media Jaka. Mereka marah karena merasa pemberitaan tentang larangan doorstop mencoreng nama baik institusi. “Kalian wartawan liberal! Hanya mau bikin gaduh!” teriak salah satu dari mereka.
Jaka tidak gentar. “Kami cuma menjalankan fungsi kontrol,” katanya. “Kalau kalian marah, silakan hak jawab. Tapi jangan ancam.”
Suasana panas. Untung aparat datang menenangkan. Sugeng Warsono sendiri yang maju. “Sudah, sudah. Kita belajar dari kejadian kemarin. Media punya hak, aparat punya kewajiban. Jangan kita balik jadi negara preman,” katanya lantang. Ormas itu pun mundur pelan-pelan.
Lela berbisik pada Jaka, “Pak Sugeng sudah kayak Gus Dur sekarang. Santai tapi tegas.”
Cerita Sugeng dan Jaka menjadi semacam legenda baru di Seruni Raya. Di kampus-kampus, dosen komunikasi menjadikan insiden itu bahan kuliah tentang etika media dan humas. Di masjid-masjid, para kiai mengutipnya dalam khutbah Jumat sebagai contoh pentingnya keterbukaan. Bahkan di pesantren, santri-santri menyebutnya “Kisah Humas Tobat.”
Dalam sebuah diskusi, Gus Mahsun berkata, “Lihatlah, dulu Pasar ‘Ukaz di Makkah jadi ruang budaya, tempat orang baca syair, debat, bertukar gagasan. Nabi tidak melarang, malah memanfaatkan. Kita sekarang punya media sosial, media daring, forum-forum diskusi. Jangan dimatikan ruang itu. Gunakan untuk dakwah, untuk memperluas ilmu. Jangan pakai untuk tutup pintu.”
Jaka menulis kolomnya di PurnamaNews dengan judul: “Dari Seruni Raya ke Madinah: Belajar Terbuka dari Nabi.” Dalam tulisannya ia menulis:
“Kita ini bangsa yang suka SMOS: Suka Melihat Orang Susah, dan Susah Melihat Orang Senang. Kita gampang menghakimi budaya orang lain, lupa bahwa budaya bisa jadi kendaraan dakwah. Nabi menunjukkan teladan: menghargai perbedaan, membuka pintu dialog, memuliakan tamu. Jangan jadikan humas kita sebagai benteng yang menghalangi rahmat.”
Kolom itu viral. Bahkan dibagikan oleh Kapolda Seruni Raya di akun media sosialnya. “Terima kasih Bang Jaka, saya belajar banyak,” tulisnya.
Sore itu Jaka dan Sugeng duduk di tepi Sungai Seruni, memandang matahari tenggelam. Airnya memantulkan warna oranye, seperti cahaya lampu tua di langgar kampung. “Bang Jaka,” kata Sugeng pelan, “Saya baru sadar. Jadi humas itu bukan cuma tugas birokrasi. Ini soal akhlak.”
Jaka mengangguk. “Benar. Seperti kata Nabi: ‘Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.’ Kita ini cuma kepanjangan tangan, Sugeng. Kita ini cuma perantara. Jangan sampai kita menutup jalan rahmat.”
Mereka terdiam lama. Suara azan Magrib terdengar dari kejauhan. Di atas langit Seruni Raya, burung-burung kembali ke sarang. Di dada mereka masing-masing ada rasa lega. Seperti habis melewati badai kecil yang membuka jalan menuju pelabuhan yang lebih lapang.**
Jambi-Palembang, 14 September 2025
(Cerpen ini Refleksi atas kasus Larangan Doorstop di Jambi, 12 September 2025)