Pers Bukan Lawan, Pers Itu Amal Jariyah Demokrasi

Tugas humas memfasilitasi komunikasi agar publik mendapat informasi akurat

Oleh Imron Supriyadi, Direktur Eksekutif LP2S Palembang, dan Pengasuh Ponpes Laa Roiba Muaraenim

Di negeri ini, yang kita sebut demokrasi, kita sedang hidup di zaman aneh: zaman ketika orang berseragam yang seharusnya jadi pengayom justru bisa berubah menjadi tembok, dan orang yang memegang mikrofon dianggap ancaman.

Diberitakan Kompas.Com–kita menyaksikan Insiden Doorstop Jambi — wartawan dicegah saat hendak melakukan wawancara cegat (doorstop) Komisi III DPR RI di Mapolda Jambi.

Dan yang mencegah itu bukan preman, bukan intel asing, tapi pejabat humas kepolisian.

Sebagai lembaga pendidikan pers yang mengajarkan etika jurnalistik, Lembaga Pendidikan Pers Sriwijaya (LP2S) Palembang tidak bisa diam.

Kami menyesalkan, mengkritik, sekaligus mengingatkan: humas kepolisian seharusnya menjadi mitra pers, bukan penghalang. Dalam bahasa Cak Nun: “Jangan mengira Anda sedang menjaga wibawa institusi, padahal yang Anda runtuhkan adalah martabatnya sendiri.”

Ayat Demokrasi dan Ayat Kebebasan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers itu ibarat “ayat demokrasi” di negeri ini. Di sana jelas tertulis kemerdekaan pers dijamin, wartawan dilindungi, publik berhak tahu. Artinya, begitu seorang pejabat menghalangi kerja jurnalistik, yang dirobek bukan hanya undang-undang, tapi hak publik untuk tahu.

Dalam Islam, kita diajarkan tabligh (menyampaikan), bayan (penjelasan), amanah (kejujuran). Nabi Muhammad SAW sendiri terbuka terhadap kritik, bahkan terhadap tuduhan. Sejarah mencatat, seorang Arab Badui bisa menegur Nabi di tengah majelis. Jadi, kalau Nabi saja mau mendengar kritik, kenapa pejabat humas kepolisian zaman sekarang justru alergi mikrofon?

Humas Itu Pintu, Bukan Tembok

Dalam kamus komunikasi, humas itu jembatan. Ia menyambungkan publik dengan lembaga. Ia menjelaskan kebijakan, bukan menutupinya. LP2S mengingatkan aparat humas di mana pun: Anda bukan pagar berduri, tapi pintu kaca transparan. Kalau pintu itu ditutup paksa, publik curiga, media marah, dan wibawa institusi runtuh.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Yang terjadi di Jambi menunjukkan ada salah kaprah mendasar. Humas kepolisian seolah merasa tugasnya melindungi atasan dari pertanyaan wartawan. Padahal tugas humas justru memfasilitasi komunikasi agar publik mendapat informasi akurat. Kalau Anda menghalangi wartawan doorstop, Anda bukan melindungi institusi, tapi menjerumuskannya.

Humas di Era Keterbukaan

Kami di LP2S tidak hanya bicara hukum, tapi juga bicara akhlak. Dalam Al-Qur’an, orang munafik digambarkan “berjalan di antara manusia sambil menutup telinga”. Satire ini cocok untuk pejabat humas yang menutup jalan jurnalis. Anda kira Anda mengamankan institusi, padahal Anda sedang menciptakan skandal kecil yang viral di media sosial.

Kita hidup di era di mana satu video ponsel bisa mengguncang reputasi puluhan tahun. Sekali seorang wartawan dilarang doorstop, satu jam kemudian publik sudah menonton di Instagram, Facebook, TikTok. Maka cara terbaik menjaga wibawa institusi bukan menutup pintu, tetapi membuka dialog.

Pers Bukan Lawan, Pers Itu Amal Jariyah Demokrasi

LP2S Palembang selalu menekankan kepada para calon jurnalis: pers itu kontrol sosial, bukan pengganggu. Pers itu amal jariyah demokrasi, menjaga agar kekuasaan tidak liar. Jika aparat alergi pers, sama saja alergi cermin. Orang yang takut bercermin biasanya bukan karena cerminnya kotor, tapi karena wajahnya sendiri belum siap dilihat.

Islam mengajarkan hisbah — mekanisme koreksi internal. Pers modern adalah bentuk hisbah. Wartawan mengingatkan pejabat agar tidak kebablasan. Kalau pejabat marah diingatkan, berarti pejabat itu sedang menutup pintu surga kritik dan membuka pintu neraka penyalahgunaan kekuasaan.

Refleksi Hukum dan Moral

Secara hukum, menghalangi kerja jurnalistik melanggar Pasal 4 ayat (3) UU Pers. Secara moral, itu menutup akses publik terhadap kebenaran. Nabi Muhammad SAW mengajarkan, “Barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami.” Menutupi informasi publik yang seharusnya disampaikan sama saja menipu umat.

Sebagai lembaga pendidikan pers, LP2S menyerukan agar Kapolda Jambi segera memberi klarifikasi terbuka. Jangan biarkan insiden ini menggantung di udara. Aparat yang terlibat harus diberi pembinaan serius agar paham fungsi pers. Humas kepolisian harus dilatih ulang tentang komunikasi publik, bukan komunikasi pembatasan.

Doa untuk semua

Kami tidak sekadar menegur, kami juga berdoa. Semoga aparat yang kemarin menghalangi wartawan doorstop mendapat pencerahan, karena tugas humas bukan sekadar “melindungi bos” tetapi melayani publik. Dalam bahasa pesantren, humas itu khadam, pelayan informasi publik. Kalau jadi “penghalang”, berarti ia khianat pada tugasnya.

Kami juga mengingatkan rekan-rekan pers agar tetap profesional. Jangan terpancing emosi. Terus liput dengan akurat, terus gunakan hak jawab, terus edukasi publik tentang hak-hak pers. Karena pada akhirnya yang kita perjuangkan bukan hanya hak wartawan, tapi hak rakyat untuk tahu.

Rekomendasi LP2S untuk Keterbukaan

  1. Pelatihan Komunikasi Publik Aparat Humas – agar paham fungsi pers dan UU Pers.
  2. Forum Dialog Rutin Pers-Polisi – menjembatani perbedaan persepsi dan membangun sinergi.
  3. Mekanisme Klarifikasi Cepat – setiap insiden yang melibatkan pers harus direspons terbuka, bukan ditutup-tutupi.
  4. Edukasi Publik – agar masyarakat paham bahwa wartawan bekerja untuk kepentingan mereka, bukan musuh negara.

Akhirnya, Kita Bicara Martabat

LP2S Palembang percaya: yang kita perjuangkan ini bukan sekadar hak wartawan doorstop. Ini tentang martabat hukum, martabat demokrasi, martabat bangsa. Jika aparat saja tak hormat pada undang-undang, bagaimana publik mau hormat pada aparat?

Kami juga percaya pada sabda Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” Humas kepolisian akan jadi sebaik-baik aparatur jika paling bermanfaat bagi publik melalui keterbukaan informasi. Pers akan jadi sebaik-baik profesi jika paling bermanfaat melalui berita yang jujur dan mendidik.

Maka mari kita belajar dari Nabi. Beliau bahkan membuka pintu untuk musuhnya yang datang meminta klarifikasi. Beliau berdialog dengan kaum Yahudi, Nasrani, bahkan kaum musyrik, tanpa penghalang. Itu teladan keterbukaan.

Menolak SMOS, Merawat Keterbukaan

Fenomena SMOS — suka melihat orang susah, susah melihat orang senang — kini menjangkiti institusi. Ada aparat yang bukannya senang pers bekerja, malah susah melihat pers menjalankan tugasnya. Ada pejabat yang bukannya bangga keterbukaan, malah cemas menghadapi mikrofon.

Padahal, sejarah menunjukkan: institusi yang terbuka akan makin dipercaya. Institusi yang tertutup akan lapuk dari dalam. Mari kita kembali ke prinsip dasar: humas bukan benteng, pers bukan musuh. Kita satu rumah bernama demokrasi. Kita satu amanah bernama kebenaran publik.

LP2S Palembang mengajak seluruh aparat dan jurnalis untuk kembali ke rel: rel hukum, rel moral, rel agama. Karena pers yang bebas adalah napas masyarakat sehat, dan aparat yang terbuka adalah jantungnya negara hukum. Jika salah satunya rusak, kita semua sesak napas.**

Lepas Malam di Muaraenim-12 September 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait