INSIDEN penghalangan wartawan saat melakukan wawancara cegat (doorstop) di Mapolda Jambi, Jumat (12/9/2025), bukan sekadar peristiwa teknis di lapangan. Peristiwa ini mengusik sendi-sendi demokrasi yang dibangun dengan susah payah sejak reformasi 1998.
Apa yang terjadi di halaman Gedung Siginjai hari itu menunjukkan betapa masih rapuhnya pemahaman tentang kebebasan pers, bahkan di institusi yang seharusnya menjadi penjaga hukum dan ketertiban.
Doorstop adalah praktik lazim dalam kerja jurnalistik. Ia bukan aksi serampangan, melainkan bagian dari mekanisme demokrasi untuk memastikan pejabat publik dapat dimintai keterangan secara langsung dan transparan.
Ketika akses informasi ini dihalangi, maka publik yang paling dirugikan. Sebab wartawan hanyalah perpanjangan mata dan telinga masyarakat.
KabarSriwijaya.Net memandang serius insiden ini. Bagi kami, kebebasan pers bukan sekadar jargon, tetapi roh yang menghidupkan demokrasi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas menjamin kemerdekaan pers dan melindungi wartawan dalam menjalankan profesinya. Menghalangi kerja jurnalistik bukan hanya pelanggaran etik, tetapi berpotensi melanggar hukum.
Fungsi Humas yang Tergelincir
Di tengah modernisasi komunikasi publik, humas pemerintah dan kepolisian memiliki peran strategis: menjadi jembatan informasi antara institusi dan masyarakat. Mereka adalah wajah pertama lembaga yang seharusnya membuka pintu, bukan menutup akses. Namun yang terjadi di Jambi menunjukkan wajah sebaliknya.
Ketika pejabat humas berubah menjadi penghalang wartawan, fungsi itu tergelincir menjadi kontraproduktif. Ini bukan persoalan personal semata, tetapi cerminan budaya birokrasi yang belum sepenuhnya menginternalisasi keterbukaan. Humas bukan penjaga gawang untuk menghalangi media, melainkan fasilitator yang menjamin publik memperoleh informasi yang sahih.
Sinyal yang Mengkhawatirkan
Peristiwa Jambi memberi sinyal mengkhawatirkan tentang menurunnya komitmen aparat terhadap transparansi. Sikap represif terhadap media, sekecil apa pun, adalah langkah mundur demokrasi. Publik tentu bertanya-tanya: mengapa hal ini bisa terjadi, dan apakah ada motif lain di balik penghalangan itu?
KabarSriwijaya.Net tidak menuduh adanya niat buruk, tetapi publik berhak mendapatkan klarifikasi terbuka. Di era digital, setiap tindakan aparat terekam dan dapat menyebar luas dalam hitungan detik. Kesalahan kecil dalam manajemen komunikasi bisa berakibat fatal bagi reputasi institusi.
Menghargai Klarifikasi, Menuntut Perbaikan
Kami mencatat permintaan maaf resmi Kabid Humas Polda Jambi Kombes Pol Mulia Prianto beberapa hari setelah kejadian. Ia menegaskan tidak ada niat menghalangi kerja jurnalistik, melainkan keterbatasan waktu dan padatnya agenda Komisi III DPR RI. Klarifikasi ini patut diapresiasi sebagai langkah awal memulihkan kepercayaan publik.
Namun permintaan maaf saja tidak cukup. Aparat harus menunjukkan langkah nyata untuk mencegah peristiwa serupa. Protokol komunikasi harus diperbaiki, koordinasi dengan media diperkuat, dan pemahaman tentang kebebasan pers ditanamkan ke seluruh jajaran. Dengan begitu, humas benar-benar menjadi mitra strategis media, bukan momok yang menakutkan.
Kebebasan Pers adalah Tiang Demokrasi
Bagi Indonesia, kebebasan pers adalah salah satu capaian reformasi yang paling nyata. Pers tidak lagi menjadi corong kekuasaan, tetapi pengawas independen. Wartawan menjalankan fungsi kontrol sosial, melaporkan fakta, serta menjadi arena perdebatan publik yang sehat. Menghalangi wartawan sama dengan merusak mekanisme checks and balances yang menjadi penyangga negara hukum.
Kami menyerukan kepada semua pihak, khususnya institusi penegak hukum, untuk memahami bahwa pers bukan musuh. Kritik tajam wartawan bukan ancaman, tetapi vitamin bagi demokrasi. Justru keterbukaan informasi publik akan memperkuat legitimasi institusi, membangun kepercayaan masyarakat, dan memperkecil ruang hoaks.
Pelajaran untuk Media
Insiden ini juga harus menjadi pelajaran bagi media. Profesionalisme, disiplin verifikasi, dan etika jurnalistik harus tetap dijaga. Doorstop memang hak wartawan, tetapi tetap harus dilakukan dengan prosedur yang sopan, menjaga keselamatan, dan menghormati protokol keamanan. Kebebasan pers berjalan beriringan dengan tanggung jawab.
KabarSriwijaya.Net berkomitmen menjaga standar ini. Kami percaya media yang kredibel dan bertanggung jawab akan memperkuat posisi tawar ketika menghadapi pembatasan atau represi.
Rekomendasi Redaksi
Sebagai sikap resmi, redaksi KabarSriwijaya.Net menyampaikan tiga rekomendasi: Pertama;Kepada Polda Jambi: lakukan evaluasi internal dan penyusunan SOP baru tentang interaksi dengan media dalam acara resmi. Kedua; Kepada institusi pemerintah dan aparat hukum di seluruh Indonesia: jadikan insiden Jambi sebagai cermin untuk memperbaiki pola komunikasi dengan media. Ketiga; Kepada rekan media: tingkatkan koordinasi dengan humas sebelum acara resmi, sehingga hak publik mendapat informasi tetap terjaga tanpa menimbulkan gesekan.
Demokrasi Membutuhkan Keberanian dan Keterbukaan
Insiden doorstop Jambi adalah ujian bagi demokrasi kita. Ia memperlihatkan bahwa meski sudah 25 tahun reformasi bergulir, praktik keterbukaan belum sepenuhnya mendarah daging di institusi negara. Tetapi insiden ini juga membuka peluang untuk memperbaiki diri. Permintaan maaf Kabid Humas adalah langkah awal, selanjutnya dibutuhkan reformasi kecil-kecilan dalam manajemen komunikasi publik.
KabarSriwijaya.Net berdiri di garis depan membela kebebasan pers, bukan untuk kepentingan media semata, tetapi demi hak publik untuk tahu. Kami percaya, pers yang bebas dan bertanggung jawab akan memperkuat negara, bukan melemahkannya. Kami juga percaya aparat yang terbuka dan bersahabat dengan media akan lebih dihormati publik daripada yang defensif dan represif.
Sebagaimana demokrasi dibangun atas kepercayaan, keterbukaan adalah mata uangnya. Tanpa itu, demokrasi hanya menjadi slogan kosong. Doorstop Jambi harus menjadi titik balik, bukan sekadar catatan hitam. Dari Jambi, kita belajar kembali bahwa : pers bebas + aparat terbuka = demokrasi yang sehat. (imron supriyadi)