
—— Hari yang (Masih) Menggema di Udara —-
Setiap tanggal 11 September, sebagian orang mungkin sibuk mengingat tragedi New York. Tetapi bagi kita, bangsa Indonesia, ada yang lebih dulu terpatri pada tanggal itu: Hari Radio Republik Indonesia.
Hari lahirnya sebuah “suara” yang pernah jadi darah, jadi napas, jadi seruan kemerdekaan. Sebuah suara yang lebih dulu masuk ke telinga kita sebelum kita sempat kenal televisi, internet, bahkan sebelum kita tahu bentuk negara ini akan seperti apa.
Radio itu unik. Ia tidak butuh mata, tapi sampai ke hati. Ia tidak peduli kelas sosial, tapi mengikat orang di kampung dan kota dengan gelombang yang sama. Ia lahir bukan sebagai alat hiburan, tapi sebagai alat perjuangan. Bayangkan 1945, radio-radio diambil alih pejuang, disiarkan pidato kemerdekaan Bung Karno-Bung Hatta, dikirim ke berbagai penjuru Nusantara. Itulah suara yang membuat kita yakin bahwa negara ini ada.
Gelombang Awal: Radio sebagai Pahlawan Tanpa Medali
Di masa revolusi kemerdekaan, radio bukan sekadar teknologi. Ia pahlawan tanpa medali. Stasiun radio republik ini yang pertama kali memproklamasikan kemerdekaan. Ia yang jadi pengikat moral para pejuang di medan perang.
Kita mungkin lupa, tetapi di masa itu tentara kita tak punya satelit, tak punya media sosial, tak punya televisi. Yang mereka punya adalah radio transistor dan keyakinan. Radio-lah yang menyampaikan “Indonesia belum kalah”. Radio-lah yang memutar lagu-lagu perjuangan, mengabarkan kemenangan kecil, mengirim pesan sandi. Radio itu bukan sekadar gelombang suara — ia gelombang keyakinan.
Gelombang Represif: Dari Suara Merdeka Menjadi Suara Resmi
Namun sejarah bangsa kita tak pernah lurus. Begitu Orde Baru berdiri, radio yang dulu liar dan merdeka itu dijinakkan. Era 1970-an hingga awal 1990-an adalah masa ketika radio “diwajibkan” relay siaran berita resmi setiap jam. Kita semua tahu itu: Suara Pemerintah mengudara di setiap radio, seperti azan politik.
Di masa itu, radio-radio swasta dibatasi izinnya. Mereka dipaksa tunduk pada mekanisme “relay” RRI. Berita yang keluar harus sesuai dengan versi pemerintah. Radio yang dulu kritis berubah jadi radio kirim lagu, kirim salam. Maka lahirlah era “radio hiburan”: dari permintaan lagu Rhoma Irama sampai titipan salam buat pacar.
Kita tak boleh melupakan betapa kuatnya kontrol negara pada masa itu. Reporter radio tak bisa sembarangan menyebut nama pejabat, tak bisa sembarangan menyiarkan kritik. Kata “pers” untuk radio hampir hilang. Yang tersisa adalah “penyiar” yang membaca teks yang aman.
Gelombang Reformasi: Suara Kembali Merdeka
Lalu datanglah 1998. Reformasi membuka kran kebebasan. Pers, televisi, radio, semua mendapat udara segar. Radio pun bangkit. Sebagian masih trauma, memilih tetap jadi radio hiburan. Tapi sebagian lain berani menjadi radio berita.
Kita ingat KBR 68H Jakarta yang lahir sebagai radio berita independen, menjadi jaringan yang menyuplai informasi ke radio-radio daerah. Kita ingat Smart FM yang rela relay BBC London. Kita ingat VOA (Voice of America) yang pelan-pelan masuk lewat radio desa. Radio-radio kecil pun jadi ruang bagi diskusi publik, memecah monopoli informasi yang dulu digenggam ketat Orde Baru.
Era 1998–2005 adalah masa emas radio sebagai media berita. Banyak stasiun radio di daerah jadi pengawas kekuasaan lokal. Mereka berani menyiarkan kasus korupsi bupati, menayangkan talkshow politik, membuka hotline pengaduan masyarakat. Radio jadi “corong rakyat” yang sebenarnya.
Gelombang Industri: Radio Masuk Era Komersial
Tapi kebebasan itu datang bersama komersialisasi. Iklan masuk, format berubah. Radio yang dulu semangat idealis pelan-pelan bergeser menjadi radio industri. Bumper suara jadi lebih penting daripada bumper berita. Sponsorship mengikat kebijakan redaksi.
Radio berita yang kuat bertahan. Tapi sebagian radio kembali jadi “jukebox” besar. Lagu-lagu populer menguasai udara. Diskusi publik mulai berkurang. Di sisi lain, internet mulai datang. Anak muda mulai menggeser telinga mereka ke MP3, kemudian streaming.
Gelombang Digital: Dari Suara ke Streaming, dari Telinga ke Mata
Kita sekarang hidup di era digital. Radio bukan lagi benda dengan antena yang harus diputar tuning-nya. Radio sudah masuk streaming. Kita bisa mendengar RRI lewat aplikasi, melihat penyiarnya di YouTube, memantau ruang siarannya lewat Instagram Live.
RRI pun bertransformasi: dari radio konvensional menjadi multiplatform. Tidak hanya suara, tapi visual. Tidak hanya on-air, tapi juga online. Stasiun radio swasta pun begitu: mereka punya kanal Spotify, YouTube, TikTok. Penyiar jadi influencer. Reporter jadi podcaster.
Namun gelombang digital ini membawa tantangan baru. Kalau dulu musuh radio adalah sensor pemerintah, sekarang musuhnya adalah “banjir informasi” dan “disrupsi platform”. Orang sudah bisa membuat podcast sendiri, bisa siaran live dari kamar. Maka radio harus menemukan identitasnya lagi.
Tantangan Reporter Radio di Era Digital
Dulu reporter radio hanya berpikir soal suara: merekam, mengedit, menyiarkan. Sekarang reporter radio harus berpikir multimedia. Mereka harus bisa bikin video pendek, bisa live streaming, bisa menulis naskah untuk portal berita, bisa mengelola media sosial.
Beban ini berat, tapi juga peluang. Reporter radio punya keunggulan dalam “storytelling audio” — sebuah seni bercerita lewat suara. Keunggulan ini bisa dibawa ke platform digital. Lihat saja podcast yang sedang booming: pada dasarnya itu radio on-demand.
Reporter radio juga dituntut lebih cepat dan akurat. Karena di era digital, kompetitor bukan hanya radio sebelah, tapi semua orang yang punya akun medsos. Kecepatan harus diiringi verifikasi. Integritas jadi taruhan.
Apa yang Harus Dilakukan Pegiat Radio?
Pertama, kembali ke jantung radio: cerita. Orang mendengar radio bukan hanya karena lagu, tapi karena cerita yang hidup di udara. Buatlah liputan mendalam, investigasi, feature manusiawi. Jangan kalah dengan YouTuber.
Kedua, perkuat komunitas. Radio yang sukses di era digital adalah radio yang punya basis komunitas. Mereka bukan hanya pendengar, tapi keluarga. Radio harus jadi ruang dialog, bukan sekadar pemutar lagu.
Ketiga, kuasai teknologi. Streaming, podcast, media sosial, big data pendengar. Jangan anti pada teknologi. Gunakan untuk memperkuat posisi radio.
Keempat, jaga integritas. Era digital rawan hoaks, clickbait, buzzer. Radio harus jadi mercusuar yang bisa dipercaya. Seperti dulu radio perjuangan menjadi mercusuar kemerdekaan.
Kembali ke Spirit RRI 1945
RRI lahir 11 September 1945, hanya beberapa minggu setelah Proklamasi. Itu bukan kebetulan. Itu tanda bahwa bangsa ini lahir dengan suara. Suara yang mempersatukan, suara yang menggerakkan.
Hari ini kita memperingati Hari Radio Republik Indonesia bukan sekadar nostalgia. Kita memperingatinya untuk bertanya pada diri kita sendiri: Apakah radio kita hari ini masih punya nyawa perjuangan? Ataukah ia sudah menjadi sekadar pemutar playlist?
Cak Nun sering bilang: “Jangan jadi orang yang hanya ikut-ikutan zaman, jadilah orang yang membaca zaman.” Maka radio pun jangan hanya ikut-ikutan tren, tapi harus membaca tren. Jadilah radio yang memberi arah, bukan sekadar pengikut algoritma.
Dari Radio Juang ke Radio Kode Pos
Izinkan saya guyon sedikit. Dulu radio kita mengabarkan pertempuran. Sekarang radio kita mengabarkan request lagu “buat yang lagi di perjalanan, semoga selamat sampai tujuan.” Dulu penyiar radio membaca berita perang. Sekarang penyiar radio membaca kuis berhadiah.
Bukan berarti kita tak boleh hiburan. Hiburan itu perlu. Tapi jangan lupakan fungsi awal radio: membangun kesadaran publik. Jangan sampai kita jadi bangsa yang hanya pandai kirim lagu tapi gagap kirim gagasan.
Bukan Sekadar Teknologi, Tapi Peradaban
Saudara-saudaraku,
Radio ini lebih dari sekadar teknologi. Ia cermin peradaban kita. Ia pernah jadi senjata perjuangan, pernah jadi alat propaganda, pernah jadi guru rakyat, pernah jadi teman sepi.
Di era digital, radio punya kesempatan kedua. Ia bisa lahir kembali sebagai platform yang memadukan suara, gambar, dan interaksi. Tapi semua itu tak ada artinya kalau radio kehilangan jiwa.
Maka pada Hari Radio Republik Indonesia ini, saya ajak kita semua — reporter, penyiar, pendengar, pemerintah — untuk menghidupkan kembali semangat radio perjuangan. Semangat yang bebas, kritis, tapi juga beretika. Semangat yang mengikat bangsa ini bukan hanya dengan frekuensi, tapi dengan visi bersama.
Radio pernah jadi saksi sejarah kemerdekaan kita. Mari kita buat radio jadi saksi sejarah kebangkitan bangsa kita di era digital. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Ponpes Laa Roiba-Muaraenim, 11 September 2025










