Tanggal 11 September setiap tahun bukan sekadar catatan sejarah di kalender nasional. Hari itu menandai kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI), yang berdiri pada 1945 hanya berselang sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Lahir dalam suasana revolusi, RRI merupakan wujud tekad bangsa untuk mengabarkan kemerdekaan dan menjaga semangat persatuan. Dalam sejarah panjangnya, RRI menjadi saksi sekaligus aktor dalam perjalanan republik ini.
Pada awal berdirinya, RRI tidak hanya menyebarkan informasi. Ia adalah medium perjuangan. Lewat gelombang radio, semangat kemerdekaan menjangkau kota-kota dan desa-desa.
Informasi mengenai pertempuran, seruan persatuan, hingga lagu-lagu kebangsaan mengalir melalui pesawat radio sederhana, membangun optimisme di tengah situasi serba terbatas. RRI menjadi simbol bahwa republik ini ada, berdiri, dan berdaulat.
Namun, perjalanan RRI tidak selalu berada di jalan mulus. Seiring perubahan politik nasional, peran radio—termasuk RRI—mengalami pasang surut. Pada masa Orde Baru, radio-radio swasta diwajibkan merelay siaran berita resmi. Kebijakan ini menjadikan ruang independensi semakin sempit.
Radio yang dahulu kritis dan informatif berubah menjadi radio hiburan yang lebih aman bagi pengelolanya. Di tengah represi itu, fungsi RRI sebagai penyiar informasi publik perlahan ikut tereduksi, menjadi sekadar corong informasi pemerintah.
Reformasi 1998 membuka kembali ruang kebebasan. Radio-radio swasta bertransformasi menjadi medium berita independen. Jaringan seperti KBR 68H, Smart FM, dan berbagai stasiun daerah membuktikan bahwa radio bisa kembali menjadi ruang diskusi publik.

RRI pun berupaya menyesuaikan diri. Program berita diperkuat, siaran interaktif dibuka, dan jejaring diperluas. Radio kembali hadir sebagai medium informasi publik yang relevan.
Kini, memasuki era digital, radio kembali menghadapi tantangan fundamental. Teknologi streaming, media sosial, dan podcast mengubah cara orang mengonsumsi informasi. Radio tidak lagi menjadi satu-satunya sumber berita dan hiburan.
Kompetisi datang bukan hanya dari sesama stasiun radio, melainkan dari jutaan kanal digital yang lahir di platform daring. Generasi muda lebih banyak mendengarkan musik atau berita melalui layanan streaming dibandingkan radio konvensional.
Meski demikian, perubahan ini tidak harus dimaknai sebagai ancaman semata. Era digital membuka peluang baru bagi radio, termasuk RRI. Melalui platform daring, RRI kini dapat menyiarkan konten secara langsung di seluruh dunia. Penyiar tidak hanya didengar suaranya, tetapi juga dapat dilihat aktivitasnya melalui kanal video. Radio pun bisa menjangkau generasi baru pendengar melalui format podcast, live streaming, atau integrasi media sosial.
Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk menjaga identitas sekaligus berinovasi. Radio memiliki keunggulan khas: kedekatan emosional dengan pendengar.
Di saat media sosial sering menjadi ruang bising yang penuh disinformasi, radio masih dipercaya sebagai medium yang relatif tenang, terverifikasi, dan membangun dialog. Keunggulan inilah yang seharusnya dipertahankan oleh RRI maupun radio swasta lain.
RRI sebagai lembaga penyiaran publik memiliki mandat yang lebih besar daripada sekadar menyajikan hiburan. Ia berkewajiban menyediakan informasi yang akurat, mendidik, serta menjaga kohesi sosial. Tantangan ke depan adalah bagaimana RRI memanfaatkan teknologi digital untuk memperkuat misi itu.
Konten berita harus diperbarui dengan pendekatan multiplatform. Penyiar harus dibekali kemampuan multimedia. Dan yang paling penting, budaya independensi dan keberpihakan pada kepentingan publik harus menjadi jiwa setiap program.
Pemerintah dan pemangku kepentingan lain perlu mendukung transformasi RRI ini. Dukungan itu bukan hanya dalam bentuk pendanaan, tetapi juga kebijakan yang memberi ruang kebebasan dan perlindungan bagi jurnalis radio.
Di saat yang sama, manajemen RRI harus mampu menata ulang prioritas agar tidak tertinggal oleh zaman. Sebab, jika RRI gagal beradaptasi, posisinya sebagai media publik akan tergeser oleh platform digital swasta yang lebih agresif.
Momentum Hari Radio Republik Indonesia tahun ini seharusnya menjadi titik refleksi. Radio tidak boleh sekadar bernostalgia pada kejayaan masa lalu.
Radio harus kembali menjadi media yang independen, kritis, dan berpihak kepada kepentingan publik. Hanya dengan cara itu, RRI dan radio pada umumnya dapat kembali berperan sebagai pilar demokrasi dan perekat bangsa.
Kita percaya, di tengah perubahan lanskap media yang kian cepat, suara radio tetap memiliki tempatnya sendiri. Ada kedalaman yang tidak dimiliki oleh platform lain.
Ada intimasi yang tidak ditemukan di media sosial. RRI memiliki sejarah panjang yang bisa menjadi modal budaya dan moral untuk terus relevan. Kini saatnya modal itu dihidupkan kembali dalam format baru yang sesuai dengan zaman.
Hari ini kita memperingati Hari Radio Republik Indonesia bukan hanya untuk mengenang, tetapi untuk meneguhkan kembali. Radio pernah menjadi suara republik. Radio harus terus menjadi suara republik—suara yang jernih, terpercaya, dan berpihak pada rakyat. (imron supriyadi)











