Hari ini dunia kembali menandai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Di banyak negara, bunuh diri sering dipandang sebagai isu psikologis, kesehatan mental, atau bahkan krisis eksistensial. Namun di Indonesia, akar tragedi itu seringkali lebih sederhana, tetapi jauh lebih tragis: lapar.
Kita baru saja mendengar kisah memilukan seorang ibu yang meracuni anaknya, lalu mengakhiri hidupnya sendiri, hanya karena tidak sanggup lagi menghadapi kenyataan: besok anak-anaknya tidak bisa makan. Inilah tragedi paling kejam di abad ini: kemiskinan yang memaksa manusia memilih mati sebagai jalan keluar.
Ironinya, di saat rakyat berjuang antara hidup dan mati, para pejabat negara dengan enteng merayakan “kenaikan tunjangan”. Gedung-gedung megah menjadi arena pesta pora anggaran. Ruang rapat penuh perdebatan soal fasilitas, sementara di lorong-lorong kampung, perut rakyat kosong, meja makan hampa, dan dapur berhenti berasap.
Editorial ini tidak bermaksud menghakimi individu pejabat. Tetapi sikap kolektif lembaga negara, yang sibuk menambah kenyamanan dirinya di tengah rakyat yang bunuh diri karena lapar, adalah bentuk pengkhianatan moral. Di sinilah letak jurang paling dalam bangsa ini: rakyat mati, elite berpesta.
Mari kita lihat data. Polri mencatat, kasus bunuh diri di Indonesia naik dari 826 pada 2022 menjadi 1.350 pada 2023. Lonjakan yang mencapai ±60% dalam lima tahun terakhir. Hanya dalam sepuluh bulan pertama tahun 2024, sudah 1.023 kasus terjadi.
Lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun di dunia, kata WHO. Di Indonesia, 31,9% kasus bunuh diri disebabkan oleh tekanan ekonomi.
Angka-angka ini, bila dilihat di atas kertas, hanyalah statistik. Tapi di balik kotak angka itu, ada ratapan keluarga, ada jasad yang terbujur, ada mimpi yang padam. Statistik adalah kuburan empati bila kita hanya membacanya tanpa merasakan luka di baliknya.
Pertanyaannya sederhana: apakah negara sungguh hadir? Kita memiliki program bantuan sosial, kita punya jargon pengentasan kemiskinan, kita punya anggaran triliunan rupiah. Tapi fakta di lapangan: seorang ibu harus membunuh anaknya sendiri karena takut mereka kelaparan.
Editorial ini ingin menegaskan: bukan rakyat yang salah, bukan mental mereka yang lemah. Yang salah adalah sistem yang membiarkan kemiskinan struktural begitu kuat hingga manusia kehilangan harapan. Negara gagal hadir, bahkan ketika rakyatnya memilih mati.
Kita mengajukan gagasan sederhana: mengapa lembaga negara tidak membuat Parliament Foundation? Sebuah yayasan independen, yang dananya berasal dari potongan gaji anggota dewan, dipakai khusus untuk menyelamatkan rakyat miskin dari kelaparan.
Mengapa pemerintah tidak membuat Government Foundation, dengan potongan seribu rupiah per hari dari setiap ASN, yang akan terkumpul menjadi dana darurat bagi rakyat miskin—untuk biaya rumah sakit, pendidikan, hingga bantuan pangan mendesak?
Mengapa partai politik tidak membentuk Partai Foundation masing-masing? Bukankah partai begitu rakus mencari suara rakyat? Maka buktikan kepedulian itu bukan dengan baliho, tetapi dengan dapur umum, klinik gratis, dan dana talangan darurat. Jika hal-hal sederhana ini saja tidak dilakukan, maka semua jargon pembangunan hanya pepesan kosong.

Di tengah pesimisme, muncul inisiatif pribadi: gagasan IMTRI Foundation. Nama ini bukan sekadar singkatan dari Iman, Taat, Ridho, dan Ikhlas, tetapi filosofi kehidupan.
Iman adalah akar keyakinan bahwa Tuhan ada, sekalipun hidup terasa gelap. Taat adalah batang yang menopang aksi nyata: bukan sekadar bicara, tapi bergerak. Ridho adalah bunga yang tumbuh dari hati yang rela menolong sesama. Ikhlas adalah buah manis yang memberi manfaat tanpa menagih imbalan.
Jika benih kecil ini dirawat bersama, ia bisa tumbuh jadi pohon besar, bahkan jadi hutan harapan. Hutan yang menyediakan oksigen bagi bangsa yang hampir kehabisan napas.
Bunuh diri karena lapar adalah tamparan keras bagi bangsa. Ia bukan sekadar tragedi pribadi, melainkan indikasi kegagalan kolektif. Negara tidak boleh lagi absen. Parlemen, pemerintah, partai, dan seluruh pejabat negara, harus berhenti berpesta anggaran, dan mulai menyalurkan empati dalam bentuk nyata.
Editorial ini menyatakan dengan tegas: setiap kasus bunuh diri akibat lapar adalah aib nasional. Tidak ada kemajuan apa pun yang bisa dibanggakan bila rakyat lebih memilih mati ketimbang hidup.
Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia bukan sekadar peringatan, melainkan panggilan moral. Dan jawabannya bukan seminar, bukan poster, melainkan niat baik yang diwujudkan dalam aksi nyata. (imron supriyadi)