Senin sore, 8 September 2025. Langit diatas Desa Lingga, Kecamatan Lawang Kidul, Tanjung Enim, cerah. Tak ada rintik hujan yang membasahi genting Masjid Al-Ikhlas, seperti pekan sebelumnya. Udara terasa syahdu, seolah menandai sejarah baru bagi perjalanan dakwah di Sumatera Selatan. Di masjid ini, tanpa protokol mewah, tanpa baliho gemerlap, dibukalah Sekolah Khatib dan Imam (SKIM) Laa Roiba — sebuah program yang diam-diam menyimpan cita-cita besar.
Tak banyak orang tahu, SKIM Laa Roiba sebenarnya sudah dilaunching 15 Mei 2025 saat Haflah ke-6 Pondok Pesantren Laa Roiba. Namun masuk Zona Dua (wilayah Kecamatan Lawang Kidul), di Masjid Al-Ikhlas inilah program itu dihidupkan seperti benih yang tumbuh.
“Masjid itu bukan hanya tempat shalat. Masjid adalah sekolah, pusat peradaban,” kata KH Taufik Hidayat, S.Ag, M.I.Kom, Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim.
Masjid yang Indah, Jiwa yang Tertinggal
KH Taufik menggeleng pelan saat menceritakan pengalaman keliling ratusan masjid se-Indonesia. Masjidnya megah, ber-AC, lantai keramik, kubah mengilap — tetapi sering tak punya tenaga khatib muda, tak punya imam pelapis, tak punya remaja masjid yang siap naik mimbar. “Pembangunan fisik masjid nyaris sempurna. Tapi pembangunan manusianya tertinggal,” ujarnya.
Putra asli Kikim, Lahat ini bukan orang baru dalam dunia pembinaan. Pernah menjadi trainer ESQ Ary Ginanjar, ia hafal betul anatomi ruhani umat. Alumni Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang itu menyaksikan sendiri: dana masjid sering terkuras untuk cat tembok dan pendingin ruangan, tetapi jarang untuk kaderisasi khatib dan imam.

Menghidupkan Teks, Menggerakkan Hati
Itulah sebabnya Pondok Pesantren Laa Roiba mendirikan SKIM. Program ini melatih remaja masjid, jemaah muda, atau siapa saja yang ingin belajar menjadi khatib dan imam. Materinya bukan cuma teknik membaca teks khutbah Jumat, tetapi juga seni public speaking, pengucapan kalimat yang hidup, intonasi yang menyentuh jemaah. “Kami ingin khutbah itu bernyawa. Bukan cuma dibaca, tapi dihidupkan,” kata KH Taufik.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
- Jemaah Masjid Al-Ikhlas Diminta Buka Mulut Tiga Jari, Mengapa?
- Masjid : Dari Fisik ke Manusia, Belajar dari Rasulullah SAW
- Sekolah Khatib dan Imam Laa Roiba, Ust. Wartawan : Ini Pembekalan Skill
Adi Wijaya, Ketua Pengurus Masjid Al-Ikhlas, menyebut SKIM sebagai “oase” di tengah padang luas. “Kami ingin generasi baru muncul dari masjid ini. Remaja masjid jangan cuma jadi pengurus acara, tapi punya kompetensi khatib dan imam,” katanya.

Pola Latihan Intensif, Bukan Seremonial
Imron Supriyadi, S.Ag, M.Hum, Kepala Program SKIM Laa Roiba, menjelaskan bahwa kelas di Lawang Kidul dimulai 16 September hingga awal Oktober 2025, tiga kali pertemuan setiap pekan.
“Kami sengaja bikin pola intensif. Bukan pelatihan sehari yang habis begitu saja. SKIM ini dirancang untuk melahirkan kader siap pakai kapan saja,” ujarnya.
Imron menyindir tren pelatihan instan: “Yang sehari-habis itu cuma formalitas. SKIM kita jalankan agar hasilnya terukur, out put-nya jelas, bisa dipakai seumur hidup.”
Ia meyakini, bila program ini berjalan konsisten, masjid-masjid tak lagi kesulitan mencari khatib Jumat atau imam cadangan.
Kritik yang Menghidupkan Umat
Gaya bicara KH Taufik mirip gaya ceramah para guru bangsa: tenang, tajam, tetapi penuh kasih. Ia mengingatkan bahwa keberadaan khatib dan imam berkualitas adalah benteng moral umat.
“Masjid tanpa khatib yang mumpuni itu seperti tubuh tanpa ruh. Umat butuh suara yang jernih, bukan sekadar formalitas khutbah,” ujarnya.
Cak Nun pernah menulis: “Masjid adalah sekolah, jalan raya, pasar, kantor, rumah sakit, dan pentas kesenian.”
SKIM Laa Roiba tampak seperti tafsir praktis dari kalimat itu. Ia mengembalikan masjid pada fungsi aslinya: mendidik dan menumbuhkan pemimpin rohani.
Menanam Cahaya Kata
Di akhir pembukaan, KH Taufik menyerahkan buku “Menyemai Cahaya Kata” kepada peserta SKIM Laa Roiba. Buku ini bukan hanya panduan teknis khutbah, tetapi juga cermin bagaimana kata-kata yang diucapkan di mimbar bisa jadi cahaya yang menuntun umat.
Bagi mereka yang hadir, momentum itu lebih dari sekadar acara pembukaan. Ini semacam perjanjian diam-diam antara masjid dan generasi muda: kita akan menumbuhkan khatib dan imam baru, kita akan menghidupkan masjid bukan hanya dengan pendingin udara, tetapi juga dengan hangatnya ruh dakwah.
Dari Masjid Al-Ikhlas, untuk Dunia Islam
Dunia Islam hari ini menghadapi tantangan serius: krisis moral, krisis kepemimpinan, krisis komunikasi dakwah. SKIM Laa Roiba adalah eksperimen kecil yang bisa menjawab tantangan besar itu. Ia memulai dari yang sederhana: melatih remaja masjid menjadi khatib yang percaya diri, imam yang fasih, dan jemaah yang kritis.
Di Desa Lingga, kita menyaksikan lahirnya tradisi baru: masjid kembali jadi pusat kaderisasi. Seperti zaman Rasulullah di Masjid Nabawi — di sanalah lahir guru, pemimpin, panglima, dan penulis sejarah. Kini SKIM Laa Roiba mencoba menapaki jejak itu.
Di sela acara, seorang remaja masjid berbisik lirih, “Kami ingin seperti Ustaz Taufik. Kami ingin khutbah kami hidup.” Kata-kata itu mungkin sederhana, tapi di situlah energi perubahan bermula. Dari mimbar Masjid Al-Ikhlas, generasi baru mulai memegang mikrofon, bukan sekadar memegang ponsel. Dan umat menunggu, kapan suara-suara ini akan mengguncang masjid-masjid lain di Nusantara.**
TEKS : TIM REDAKSI LAA ROIBA TV | FOTO : DOK.PP LAA ROIBA