
Ketika orang bicara tentang Nabi Muhammad, sering kali yang diingat adalah sisi ritual beliau: shalat, puasa, atau ibadah-ibadah mahdhah lainnya. Padahal, ada sisi lain yang tidak kalah penting: Nabi sebagai teladan hidup dalam keberagaman budaya.
Makkah dan Madinah abad ke-7 bukanlah ruang kosong. Itu simpul pertemuan budaya dan agama: Arab, Persia, Romawi, Yahudi, Nasrani, bahkan kelompok pagan dengan aneka adat dan ritualnya. Bayangkan semacam “bandara internasional” zaman dulu, tempat orang membawa bahasa, makanan, bahkan cara berpakaian masing-masing.
Penata Budaya
Di tengah keragaman itu, Nabi Muhammad tidak muncul sebagai pemutus budaya, melainkan penata. Beliau tidak datang untuk menghapus seluruh tradisi, melainkan memberi ruh baru.
Misalnya, budaya memberi makan tamu yang sudah hidup di kalangan Arab Jahiliyah. Nabi tidak menghapusnya. Beliau justru menegaskan: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” Jadi yang dilakukan Nabi bukanlah mengganti budaya dengan sesuatu yang asing, melainkan memurnikan nilai di baliknya.
Kalau dipikir-pikir, itulah seni besar Nabi Muhammad: menjadikan agama bukan sebagai lawan budaya, tapi sahabatnya. Nabi tidak pernah memusuhi syair Arab, padahal sebagian orang kini alergi pada musik atau kesenian. Beliau malah mendorong sahabat-sahabat yang pandai bersyair untuk menggunakan bakat itu dalam membela kebenaran. Jadi, kalau ada yang bilang Islam anti budaya, ya mungkin mereka kurang baca sejarah.
Dalam konteks kita di Indonesia, pelajaran Nabi ini terasa amat relevan. Negeri ini kaya budaya: ratusan bahasa daerah, pakaian adat, musik tradisional, dan kearifan lokal. Ada yang memakai sarung, ada pula yang memakai koteka. Ada yang menabuh gamelan, ada yang meniup seruling bambu. Kalau semua itu dihapus dengan alasan “tidak islami”, maka kita justru sedang mengasingkan Islam dari akar bumi Indonesia sendiri. Padahal, Islam datang ke Nusantara dengan cara paling damai: melalui perdagangan, perkawinan, dan tentu saja budaya. Wali Songo menggunakan wayang, tembang, dan gamelan sebagai media dakwah. Itu bukan kebetulan, melainkan jejak dari keteladanan Nabi yang terbiasa berdialog dengan budaya.
Lebih jauh, Nabi juga memberi contoh bagaimana mengelola keberagaman agama dalam bingkai politik dan sosial. Piagam Madinah adalah buktinya. Itu semacam konstitusi awal yang mengikat semua kelompok: Muslim, Yahudi, Nasrani, dan bahkan kabilah-kabilah pagan. Intinya sederhana: kita boleh berbeda keyakinan, tapi kita sama-sama warga Madinah. Kalau diterjemahkan ke bahasa kita sekarang, itu adalah kontrak sosial. Bayangkan, 14 abad lalu Nabi sudah mempraktikkan demokrasi berbasis kesepakatan bersama.
Keteladanan Nabi dalam keberagaman agama ini penting diingat, terutama di masa sekarang ketika polarisasi sosial dan politik mudah sekali muncul. Nabi pernah berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang lewat. Para sahabat bertanya-tanya, mengapa beliau melakukan itu? Nabi menjawab singkat: “Bukankah dia juga manusia?” Jawaban itu terasa sederhana, tapi maknanya dalam: kemanusiaan adalah titik temu yang tidak boleh hilang hanya karena perbedaan agama atau budaya.
Dalam perspektif fiqh sosial, teladan Nabi ini memberi landasan kuat untuk menjadikan budaya lokal sebagai bagian dari dakwah. Selama tidak bertentangan dengan tauhid, budaya adalah kendaraan yang sah. Maka, kita tidak perlu curiga pada tradisi selamatan, kenduri, atau nyanyian daerah. Justru di situlah Islam bisa membumi, tidak menjadi agama asing yang datang dari luar. Bukankah Nabi sendiri menggunakan tradisi setempat untuk menyampaikan pesan universalnya?
Kalau Gus Dur bicara soal ini, biasanya beliau menyelipkan humor. “Nabi itu tidak pernah merazia kaset dangdut,” kata beliau suatu ketika. Maksudnya jelas: yang dilarang adalah maksiatnya, bukan seninya. Musik, tari, atau syair tidak haram hanya karena bentuknya. Haram itu kalau dipakai untuk menzalimi orang lain atau menghalangi ibadah. Kalau dangdut bikin orang bahagia tanpa merusak moral, ya biarkan saja. Yang lebih berbahaya justru kalau ada yang memonopoli panggungnya untuk korupsi, itu baru dosa besar. Humor semacam itu bukan sekadar lelucon, tapi cara Gus Dur menjelaskan bahwa agama tidak boleh memusuhi budaya.
Lantas, apa yang bisa kita ambil dari keteladanan Nabi? Pertama, jangan tergesa-gesa menghakimi budaya lokal sebagai bid’ah atau sesat. Belajarlah melihat nilai yang terkandung di dalamnya. Kedua, gunakan budaya sebagai media dakwah yang ramah dan membahagiakan, bukan menakut-nakuti. Ketiga, jadikan keberagaman ini sebagai bagian dari sunnah Nabi. Kalau Nabi bisa menghormati orang Yahudi, masak kita tidak bisa menghormati sesama Muslim yang berbeda gaya beribadah atau cara berpakaian?
Akhirnya, Nabi Muhammad mengajarkan bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan rahmat. Budaya yang beragam adalah jalan untuk memahami keagungan Allah dalam menciptakan manusia. Nabi mencontohkan bahwa agama dan budaya bisa berjalan beriringan, saling memperkaya, bukan saling meniadakan. Dan kita, umatnya, seharusnya bisa menjadikan keteladanan itu sebagai bekal untuk hidup damai dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia.
Sejarah mencatat, mereka yang mampu merangkul keberagamanlah yang bertahan. Dan Nabi Muhammad adalah teladan terbesar dalam hal itu. Maka, mari kita rawat budaya lokal, hormati perbedaan, dan menjadikan keberagaman sebagai jembatan, bukan tembok pemisah. Karena, seperti kata Gus Dur: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa berbuat baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya kamu siapa.”