Musi Banyuasin | KabarSriwijaya.NET – Di Dusun Selaro, Desa Simpang Bayat, Kecamatan Bayung Lencir, singkong bukan sekadar tanaman pangan. Ia sudah menjadi denyut nadi kehidupan. Hampir setiap jengkal lahan masyarakat diolah untuk ditanami singkong. Dari dapur warga hingga meja pasar, singkong menjelma aneka produk: tepung mocaf, kerupuk eyek-eyek, hingga camilan tradisional yang jadi kebanggaan.
Namun, ada satu sisi yang selalu jadi masalah: kulit singkong. Tumpukan limbah ini biasanya dibuang begitu saja, membusuk di sudut-sudut kebun dan halaman. Tak ada nilai tambah, bahkan seringkali menimbulkan bau tak sedap.
Hingga sebuah ide sederhana tapi revolusioner lahir: kulit singkong diubah menjadi alat pemadam kebakaran.
Api, Trauma, dan Sebuah Solusi
Warga Selaro masih ingat betul peristiwa pahit tahun 2023. Api melalap satu hektar kebun sawit dalam sekejap. Angin kering mempercepat kobaran, sementara warga hanya bisa berjibaku dengan peralatan seadanya.
Dari situlah lahir sebuah pertanyaan sederhana dari tim dosen Fakultas Pertanian Universitas Jambi: “Bisakah sesuatu yang dianggap limbah, justru jadi penyelamat?”
Jawabannya ada pada kulit singkong. Kandungan potasium sitrat di dalamnya ternyata memiliki sifat memadamkan api. Bersama Pertamina Hulu Energi (PHE) Jambi Merang, riset kecil itu dikembangkan menjadi inovasi nyata: bola APAR (Alat Pemadam Api Ringan) berbahan kulit singkong.
Bola Kecil, Fungsi Besar
Cara kerjanya sederhana. Kulit singkong dikeringkan, diolah menjadi tepung, lalu dipadatkan dalam bentuk bola. Untuk memperkuat daya simpan, bola dilapisi styrofoam. Sebuah sumbu kecil ditambahkan, dan bubuk mesiu membuatnya mampu meledak ketika terkena api.
Ledakan ini bukan sembarangan: ia melepaskan potasium sitrat, yang langsung memadamkan api hingga radius 60 sentimeter. Sederhana, murah, tapi efektif.
“Dulu kulit singkong hanya jadi sampah. Sekarang, ia bisa jadi penyelamat ketika kebakaran melanda,” ujar Elisa, anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Embun Pagi, dengan mata berbinar usai mengikuti pelatihan.
Dari Dapur ke Laboratorium
Proses inovasi ini bukan pekerjaan semalam. Dr. Mursalin, dosen Fakultas Pertanian Universitas Jambi, bersama tim mahasiswa, berbulan-bulan menguji formula yang tepat. Mereka menggabungkan pengetahuan laboratorium dengan pengalaman nyata warga menghadapi kebakaran.
Hasilnya adalah teknologi yang membumi. Tak membutuhkan mesin mahal atau bahan kimia langka. Semua bisa dibuat dengan peralatan sederhana di rumah produksi KWT.
“Kami tidak ingin inovasi ini berhenti di kampus. Harus ada manfaat langsung untuk masyarakat,” jelas Dr. Mursalin.
Pertamina dan Budaya Mitigasi
Dukungan datang dari PHE Jambi Merang. Manager Community Involvement & Development, Iwan Ridwan Faizal, menegaskan bahwa inovasi ini bukan hanya soal produk, tapi juga tentang membangun kesadaran bersama.
“Kebakaran lahan bukan hanya urusan pemerintah. Kita semua harus ikut serta. Dengan inovasi ini, masyarakat punya bekal nyata untuk melindungi kebun dan hutan mereka,” katanya.
Pelatihan pun digelar. Kelompok tani, penyuluh pertanian, hingga ibu-ibu KWT diajari bagaimana mengolah kulit singkong menjadi bola pemadam. Dari situ, lahirlah semangat baru: limbah bukan lagi masalah, tapi solusi.
Menanam Kesadaran Baru
Di balik bola-bola kecil itu, ada pesan besar: pertanian bukan sekadar urusan perut, tapi juga urusan masa depan lingkungan. Apa yang dulu dianggap remeh, bisa menjadi kunci menyelamatkan ekosistem.
Kini, setiap kali warga Selaro mengupas singkong, mereka tak lagi melihat kulitnya sebagai sampah. Mereka melihatnya sebagai senjata ampuh melawan api.
Bagi Elisa dan kawan-kawan di KWT Embun Pagi, inovasi ini membawa harapan baru. “Kami bukan hanya petani singkong. Kami juga penjaga lingkungan,” katanya sambil tersenyum.
Agrobisnis yang Menyelamatkan
Inovasi kulit singkong ini adalah bukti nyata bahwa agrobisnis tidak hanya berbicara soal keuntungan finansial. Ia juga bisa menjelma sebagai solusi sosial, ekologis, bahkan penyelamat hidup.
Dari dapur sederhana di Dusun Selaro, sebuah gagasan lahir. Dari limbah yang dianggap tak berguna, tercipta alat penyelamat lingkungan. Dan dari trauma kebakaran, tumbuhlah kesadaran bahwa pertanian bisa menjadi benteng melawan bencana.
Singkong mungkin tetap singkong. Tapi kulitnya kini punya cerita baru: cerita tentang bagaimana agrobisnis bisa melahirkan inovasi, memberdayakan masyarakat, sekaligus menjaga bumi tetap lestari.
TEKS : RELEASE/YULI AFRIANI | EDITOR : AHMAD MAULANA