Reses di Sekolah, Aspirasi dari Bangku Belajar

Reses kali ini memilih sekolah sebagai titik singgah

Di sebuah ruang kelas SMKN 1 Lubuklinggau, deretan kursi plastik disusun rapi. Bukan untuk ujian siswa, melainkan tempat duduk enam anggota DPRD Sumatera Selatan yang tengah menjalankan reses Masa Sidang III, 21–28 Agustus 2025. Mereka adalah Toyeb Rakembang (PAN), Rica Novlianty (Gerindra), Hendra Gunawan (Nasdem), Rita Suryani (PDIP), M. Al Amin (Golkar), dan Bembi Perdana (PKS).

Musirawas | KabarSriwijaya.NET – Reses kali ini memilih sekolah sebagai titik singgah. Alasannya sederhana tapi strategis: pendidikan masih menjadi simpul persoalan publik. Kepala SMKN 1, Suwarni, tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menyebut forum ini sebagai “ruang emas” untuk guru dan siswa. “Semoga aspirasi dari guru dan siswa bisa tersampaikan dengan baik,” katanya, membuka nada.

Di sekolah lain, SMKN 3 Lubuklinggau, nada itu berubah menjadi keluhan keras. Kepala sekolah Suharjendro menyodorkan fakta: 1.200 siswa, enam program keahlian, tapi ruang belajar minim. Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) bahkan harus bergantian menggunakan komputer. Dana BOS, katanya, hanya cukup membeli lima unit komputer per tahun. “Sementara satu angkatan TKJ bisa mencapai tiga rombel,” ujarnya.

Namun di balik keterbatasan, SMKN 3 membuktikan diri. Delapan alumninya tahun ini lolos bekerja di Jepang setelah pelatihan. “Kami bangga bisa mengirimkan lulusan siap kerja hingga ke luar negeri,” kata Suharjendro.

Janji dan Batas Anggaran

Aspirasi itu membuat para wakil rakyat buru-buru menegaskan peran mereka. Bembi Perdana menyebut DPRD punya fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ia minta sekolah menyiapkan proposal resmi agar bisa diteruskan. Rita Suryani menyoroti nasib guru honorer yang tersangkut sistem Dapodik. “Ini akan saya sampaikan pekan depan di rapat bersama Dinas Pendidikan,” katanya.

Nada serupa datang dari Hendra Gunawan. Baginya, menjadikan sekolah sebagai titik reses adalah pernyataan politik. “Bentuk kepedulian kami pada generasi muda,” ujarnya. Sementara Toyeb Rakembang mengingatkan, pengangkatan guru honorer masih tergantung APBD Provinsi. Ia berjanji tetap memperjuangkan tambahan fasilitas sekolah.

Rica Novlianty menutup daftar janji. Ia menegaskan reses sebagai mekanisme komunikasi dua arah. “Isu yang sering muncul bukan hanya pendidikan, tapi juga infrastruktur, pelayanan publik, kesehatan. Reses adalah saat kami menyerap dan menindaklanjuti aspirasi tersebut,” ucapnya.

Politik di Ruang Belajar

Reses di Lubuklinggau dan Musi Rawas ini memperlihatkan wajah politik yang lebih intim: wakil rakyat duduk di kursi sekolah, mendengar langsung keluhan guru. Tapi ia juga memperlihatkan paradoks klasik: antara janji dan keterbatasan anggaran.

Bagi sekolah, momentum ini bukan sekadar pertemuan seremonial. Mereka ingin melihat sejauh mana suara yang lahir dari bangku belajar bisa menggema ke ruang sidang DPRD. Apakah komputer baru akan benar-benar hadir? Apakah status guru honorer akan lebih jelas?

Reses memang bukan akhir, melainkan pintu masuk. Pertanyaannya: apakah pintu itu akan dibuka lebar oleh para legislator, atau kembali terkunci rapat setelah lampu kamera dimatikan?

TEKS : YULIE AFRIANI  |  EDITOR : WARMAN P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *