JAKARTA | KabarSriwjaya.NET – Sebuah layar televisi di ruang kelas mungkin terdengar sederhana. Namun, di tangan Presiden Prabowo Subianto, layar itu menjadi simbol perubahan arah pendidikan nasional.
Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025, di SDN Cimpahpar 5, Bogor, Presiden melontarkan gagasan yang kemudian menjelma menjadi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Revitalisasi Satuan Pendidikan dan Digitalisasi Pembelajaran.
Intinya: seluruh sekolah di Indonesia harus memiliki Interactive Flat Panel (IFP), sebuah perangkat digital interaktif yang diyakini mampu menyatukan kesenjangan kualitas pendidikan dari kota hingga pelosok negeri.
“Saya ingin ada digitalisasi sekolah-sekolah. Kita akan taruh layar-layar televisi di setiap sekolah kita. Di situ kita bisa memberi materi pelajaran yang terbaik…,” ujar Prabowo kala itu.
Dari Ide ke Aksi
Instruksi ini kemudian diturunkan ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), khususnya Ditjen PAUD Dasmen, untuk dieksekusi.
Tidak tanggung-tanggung, target yang dipasang adalah 288.865 sekolah akan menerima perangkat digital, mulai dari IFP, laptop, hingga media penyimpanan konten pembelajaran.
Menurut Dirjen PAUD Dasmen, Gogot Suharwoto, program ini lebih dari sekadar distribusi perangkat. “Sekolah-sekolah yang menerima IFP juga kita latih dalam bentuk bimbingan teknis agar optimal dalam penggunaan fitur-fitur yang ada,” ujarnya.
Pengiriman tahap pertama sudah dimulai sejak Agustus. Sebelum perangkat tiba, Ditjen PAUD Dasmen memastikan kesiapan sekolah penerima agar perangkat tidak mubazir, melainkan benar-benar menjadi jembatan menuju kelas digital.
Mimpi Besar, Tantangan Nyata
Gagasan besar ini tidak lahir dari ruang hampa. Data Kemendikdasmen menunjukkan kesenjangan kualitas guru dan fasilitas masih menjadi masalah utama. Banyak sekolah di daerah tertinggal, terluar, dan terpencil kekurangan tenaga pengajar ahli di bidang tertentu.

Dengan layar digital, materi ajar dari guru terbaik di kota besar dapat diakses siswa di desa pelosok. Inilah bentuk pemerataan berbasis teknologi yang selama ini hanya menjadi jargon.
Namun, ada pula tantangan yang mengintai: kesiapan infrastruktur internet, kapasitas listrik, hingga literasi digital guru. Tanpa ekosistem pendukung, perangkat canggih itu bisa saja berakhir menjadi hiasan di ruang guru.
Menuju Ekosistem Baru
Prabowo dan tim pendidikannya tampaknya sadar akan hal ini. Karena itu, selain perangkat, pemerintah juga menyiapkan program bimbingan teknis dan pelatihan digital classroom. Targetnya jelas: membangun ekosistem pembelajaran digital yang inklusif, bukan sekadar proyek pengadaan.
“Selain proses pengiriman tahap 1 sedang berlangsung, kami juga terus melakukan konfirmasi kepada sekolah-sekolah penerima terkait kesiapan mereka sebelum dilakukan pengiriman,” ujar Gogot menekankan akuntabilitas.
Harapan dari Ruang Kelas
Pada akhirnya, layar televisi atau IFP hanyalah alat. Yang menentukan adalah bagaimana guru dan siswa memanfaatkannya. Program ini akan menjadi tonggak jika benar-benar mampu membuka akses belajar yang setara, dari SD di pedalaman Papua hingga SMA di pusat kota Jakarta.
Seperti yang disampaikan Dirjen Gogot, “Kami mengajak masyarakat bersama-sama mengawal program ini demi mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.”
Revolusi digital pendidikan ini baru dimulai. Pertanyaan yang tersisa: apakah layar-layar itu akan menjadi jendela ilmu pengetahuan, atau sekadar cermin ambisi politik yang tak sempat tuntas?

TEKS : YULIE (PALEMBANG) & BAGUS SANTOSA (JAKARTA) | EDITOR : IMRON SUPRIYADI | FOTO : HUMAS