
Ada sebuah berita yang mungkin bagi sebagian orang terasa sepele, tapi bagi saya terasa seperti kaca bening yang bisa dipakai untuk bercermin.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan meluncurkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor, tepat pada perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia. Kata Gubernur Herman Deru, ini hadiah. Hadiah dari pemerintah untuk rakyatnya.
Hadiah itu berupa penghapusan tunggakan pajak bertahun-tahun, penghapusan denda, bahkan penghapusan beban biaya administrasi. Bayarlah satu tahun, lunaslah semua. Dan kendaraan Anda akan ditempeli hologram, semacam sertifikat kecil yang menyatakan: Anda kini sah dan tertib.
Saya tidak hendak mengomentari teknisnya. Tidak hendak membahas pasal per pasal dari Pergub Nomor 27 Tahun 2025. Saya ingin mengajak kita melihatnya sebagai peristiwa pendidikan sosial, bahkan spiritual. Karena bagi saya, kebijakan publik selalu punya dua sisi: angka-angka yang tertera di laporan resmi, dan makna-makna yang bersembunyi di balik hati rakyatnya.
Pemutihan sebagai Cermin
Kata “pemutihan” sendiri menarik. Dalam bahasa keseharian, pemutihan berarti menghapus noda. Kalau Anda punya catatan buruk di birokrasi, dengan pemutihan, seakan-akan Anda kembali putih. Kalau Anda menunggak pajak, dengan pemutihan, seakan-akan Anda kembali suci.
Tapi kita semua tahu, pemutihan itu tidak sungguh-sungguh membersihkan. Ia hanya memberi kesempatan baru. Persis seperti hidup ini: dosa-dosa kita tidak bisa dihapus begitu saja hanya karena satu kali ritual. Ia butuh kesadaran, butuh pertobatan, butuh keinginan untuk berubah.
BACA ARTIKEL TERKAIT LAINNYA : Pemutihan Pajak di Sumsel : Hadiah, Perangkap, atau Sekadar Mengulang Sejarah?
Kalau tidak, pemutihan hanya jadi ritual berulang. Sama seperti kebijakan ini, yang hampir setiap beberapa tahun selalu muncul dengan nama dan bungkus berbeda. Seperti siklus yang sudah diduga: tunggakan dibiarkan menumpuk, lalu datang “hadiah” pemutihan. Masyarakat pun belajar menunda: untuk apa bayar pajak tiap tahun, kalau toh nanti ada pemutihan?
Pajak dan Pendidikan Kolektif
Saya percaya, pajak bukan sekadar urusan fiskal. Pajak adalah gotong royong modern. Di masa lalu, orang-orang kampung membangun jembatan dengan tenaga bersama, memperbaiki masjid dengan iuran bersama, dan menanam padi di sawah tetangga dengan semangat sambatan. Hari ini, bentuk gotong royong itu bernama pajak.
Ketika kita membayar pajak, kita sedang ikut membangun jalan yang kita lewati, sekolah tempat anak-anak kita belajar, rumah sakit tempat kita berobat. Tetapi mengapa rasa itu hilang? Mengapa pajak hanya terasa sebagai beban, bukan kebersamaan?
Mungkin karena rakyat jarang diajak belajar. Jarang diberi pendidikan publik yang jujur. Jalan rusak yang bertahun-tahun tak kunjung diperbaiki, sekolah reyot, rumah sakit antre berjam-jam — semua itu membuat rakyat merasa, pajaknya tidak kembali.
Di titik ini, pemutihan bisa kita maknai sebagai ruang belajar. Belajar untuk tertib administrasi, belajar untuk jujur pada kewajiban, sekaligus belajar untuk menuntut hak. Karena negara tidak boleh hanya pandai menagih, tapi juga harus jujur membuktikan bahwa pajak benar-benar dipakai untuk rakyat.
Hologram di Kaca, Noda di Hati
Saya agak tersenyum mendengar rencana pemerintah menempelkan hologram di kendaraan yang sudah lunas pajak. Hologram itu seolah menjadi penanda: “mobil ini bersih, motor ini suci.” Tapi apakah cukup? Apakah hologram di kaca bisa menghapus noda ketidakdisiplinan di hati kita?
Hologram itu hanya simbol. Simbol yang bisa bergeser makna: dari tanda kepatuhan, bisa jadi alat kontrol. Dari penghargaan bagi yang taat, bisa jadi stigma bagi yang belum sempat. Dari sekadar teknologi, bisa menjelma alat politik.
Bagi saya, hologram itu mengingatkan pada doa dan ibadah. Anda bisa pakai sarung, peci, bahkan menempelkan stiker Islami di kaca mobil Anda. Tetapi kalau hati Anda masih menunggak kejujuran, apakah Anda sungguh bersih?
Belajar dari Sejarah Pemutihan
Kita pun tahu, pemutihan pajak kendaraan bukan hal baru. Era Gubernur Alex Noerdin, ada pemutihan. Di provinsi lain, bahkan sejak dekade 1980-an, pemutihan kerap menjadi jurus untuk mendongkrak pendapatan asli daerah. Selalu ada alasan mulia: demi menertibkan administrasi, demi meringankan rakyat, demi merayakan ulang tahun republik.
Namun selalu ada pola yang sama: rakyat belajar menunggu. Seperti murid yang tahu bahwa setiap akhir semester akan ada remedial, ia pun santai saja selama pelajaran berlangsung.
Maka, pemutihan pajak adalah juga pelajaran moral: apakah kita mau belajar dari pengalaman? Atau terus mengulang kesalahan dengan keyakinan akan selalu ada penghapusan?
Pemutihan Hati, Bukan Sekadar Pemutihan Pajak
Pada akhirnya, bagi saya, pemutihan pajak hanyalah cermin dari kehidupan kita. Kita semua punya tunggakan: tunggakan janji, tunggakan tanggung jawab, tunggakan doa yang tak kunjung kita bayar. Kita pun berharap ada pemutihan dari Tuhan: ampunan, rahmat, penghapusan dosa.
Tapi Tuhan tidak memberi pemutihan gratis. Ia menuntut kesadaran, tobat, niat sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi. Maka, pemutihan sejati bukanlah sekadar dihapusnya angka-angka, melainkan berubahnya perilaku.
Kalau pemerintah dan rakyat sama-sama mau belajar, maka pemutihan pajak ini bisa menjadi tonggak pendidikan karakter. Pemerintah belajar jujur, rakyat belajar disiplin. Pajak bukan lagi sekadar transaksi, tetapi ikatan sosial.
Hati Kotor vs Hati Putih
Sering kali kita hanya sibuk pada teknis: berapa persen realisasi PKB, berapa miliar target PAD, berapa lama program pemutihan berlaku. Padahal di balik itu, ada pendidikan moral yang lebih penting: membangun warga negara yang jujur, tertib, dan merasa bertanggung jawab atas bangsanya.
Maka, mari kita lihat pemutihan pajak bukan sekadar hadiah ulang tahun. Ia adalah ajakan belajar. Belajar bahwa kebersihan bukan hanya di kaca kendaraan dengan hologram, tetapi di hati kita masing-masing.
Kalau hati kita masih kotor, pajak lunas pun tak ada gunanya. Tapi kalau hati kita putih, mungkin kita tak perlu menunggu pemutihan lagi. Karena kita akan tertib, setiap hari, setiap tahun, tanpa harus ditakut-takuti dengan hologram dan razia.
*) Penulis adalah Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Laa Roiba Muaraenim













