Pemutihan Pajak di Sumsel : Hadiah, Perangkap, atau Sekadar Mengulang Sejarah?

Pembayaran bisa dilakukan di berbagai kanal, dari Samsat Mall, Drive Thru, hingga Samsat Desa.

PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Tanggal 17 Agustus 2025, halaman Kantor Gubernur Sumatera Selatan berubah menjadi panggung politik yang lain. Spanduk raksasa terpampang jadi backgorund : “Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor, Hadiah HUT ke-80 RI”. Gubernur Herman Deru berdiri di mimbar, senyumnya lebar, kata-katanya mantap:

“Sumsel berbeda. Saat yang lain menaikkan tarif, kita justru memberi keringanan. Setelah hari ini, semua kendaraan harus tertib administrasi.”

Ribuan pemilik kendaraan di Sumatera Selatan tentu saja menyambut dengan sukacita. Siapa yang tidak mau dihapuskan dosa masa lalu? Dengan program ini, tunggakan pajak bertahun-tahun cukup ditebus dengan satu tahun pembayaran.

Biaya administrasi hangus. Pajak progresif hilang. Denda SWDKLLJ (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan) pun dibersihkan. Seolah-olah, semua kelalaian bisa dilupakan dengan selembar kuitansi berstempel lunas.

Di Balik Kado Kemerdekaan

Namun, di balik narasi “kado kemerdekaan”, ada kalkulasi fiskal yang dingin. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumsel, Achmad Rizwan, tidak menutupinya. Hingga pertengahan Agustus, realisasi Pajak Kendaraan Bermotor baru 57,45 persen. Penerimaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) bahkan lebih rendah, 48,40 persen.

“Ini stimulus sekaligus upaya mendongkrak PAD,” katanya, menjelaskan bahwa pembayaran kini bisa dilakukan di berbagai kanal, dari Samsat Mall, Drive Thru, hingga Samsat Desa.

BACA ARTIKEL TERKAIT : Pemutihan Pajak dan Pemutihan Hati

Bagi pemerintah, pemutihan adalah strategi menggali potensi pendapatan yang mengendap. Bagi rakyat, ia tampak sebagai hadiah. Tetapi bagi pengamat fiskal, ini juga bisa dibaca sebagai bentuk “diskon moral”.

Sejarah yang Berulang

Kebijakan pemutihan pajak kendaraan bukan barang baru. Di era Gubernur Alex Noerdin, pemutihan digelar beberapa kali, dengan alasan hampir serupa: menertibkan administrasi sekaligus meningkatkan PAD. Bahkan di tingkat nasional, sejak 1980-an, pemerintah daerah kerap menggunakan pola ini untuk mengatrol penerimaan tahunan.

Yang berulang adalah pola pikir masyarakat. Alih-alih menumbuhkan disiplin, kebijakan pemutihan justru melahirkan “mental menunggu”. Seorang warga yang antre di loket Samsat dengan jujur mengaku, “Kalau tiap beberapa tahun ada pemutihan, kenapa harus repot bayar tiap tahun? Lebih untung nunggu.”

Di sini letak paradoksnya: kebijakan yang dimaksudkan untuk menertibkan administrasi justru memberi insentif bagi penunggak.

Hologram Sang Penanda

Herman Deru tampaknya sadar akan risiko itu. Maka, selepas 80 hari pemutihan, ia menjanjikan penertiban besar-besaran. Kendaraan yang sudah lunas pajak akan diberi hologram khusus, seolah stempel halal bagi kendaraan di jalanan Sumsel. Tanpa hologram, siap-siap saja berurusan dengan polisi.

Pertanyaannya: apakah hologram benar-benar menjamin tertib pajak, atau hanya menambah alat kontrol baru yang potensial jadi ajang pungli di jalanan?

Politik di Jalanan

Di negara yang menjadikan kendaraan bermotor sebagai simbol mobilitas sosial, pajak kendaraan adalah sumber daya vital. Tapi ia juga sensitif secara politik. Pemutihan bisa dijual sebagai “hadiah rakyat”, sekaligus jadi instrumen membangun citra. Tak heran, program ini kerap muncul di momen simbolik: HUT RI, tahun politik, atau jelang akhir masa jabatan.

Di Sumsel, pemutihan 2025 dibungkus dalam retorika kemerdekaan: 80 tahun Indonesia, 80 hari pemutihan. Angka-angka yang rapi di atas kertas, meski di baliknya menyimpan hitungan target PAD yang terengah-engah.

Antara Patuh dan Menunda

Apakah program ini akan sukses menertibkan kendaraan di Sumsel? Atau sekadar menambah daftar panjang “pemutihan musiman” yang terus berulang setiap beberapa tahun?

Sampai hari ini, jawabannya masih samar. Tapi satu hal pasti: setiap kali pemutihan digelar, ribuan warga yang tadinya menunggak akan tertawa lega. Dan setiap kali pemutihan selesai, warga lain akan mulai menghitung: kapan lagi pemerintah akan memberi “hadiah”?

Hologram di kaca kendaraan mungkin akan jadi simbol baru kepatuhan. Tapi di balik kilau tipis itu, ada kenyataan yang lebih dalam: bahwa kedisiplinan pajak tidak bisa dibangun dengan penghapusan dosa masa lalu.

Ia hanya bisa tumbuh dari kepercayaan rakyat pada pemerintahnya—bahwa uang pajak benar-benar kembali menjadi jalan mulus, sekolah layak, dan rumah sakit yang bisa diandalkan.

Hingga itu terjadi, pemutihan akan terus datang dan pergi. Dan rakyat akan terus belajar menunda.

TEKS : WARMAN P  |  EDITOR : IMRON SUPRIYADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait