
Sejarah telah mencatat, kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus bukanlah hadiah yang datang dari kemurahan hati penjajah. Ia adalah buah dari perjuangan panjang, derita yang dipikul berpuluh-puluh tahun, dan doa yang dipanjatkan di mushalla-mushalla kampung, di surau-surau yang remang, dan di madrasah-madrasah yang sederhana. Di sana, semangat merdeka dirawat dalam bingkai iman dan ilmu.
Saya kerap merenung, betapa pendidikan madrasah—meski tidak sering tampil di panggung utama sejarah resmi—sesungguhnya memiliki kontribusi strategis dalam membentuk kesadaran kebangsaan.
Ulama dan guru madrasah-lah yang menanamkan keyakinan bahwa membela tanah air adalah bagian dari iman, bahwa merdeka bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan akhlak yang runtuh.
Refleksi ini semakin hidup dalam diri saya ketika, beberapa hari lalu, kami di Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan menggelar Gebyar Lomba HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bertempat di aula MAN 3 Palembang, kegiatan ini menghadirkan bukan sekadar lomba rebutan botol, baris-berbaris, atau karaoke lagu kebangsaan. Di balik keriuhan itu, tersimpan pesan yang jauh lebih dalam: merajut kebersamaan, memupuk sportivitas, dan menumbuhkan rasa bangga sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita harus jujur mengakui, kemerdekaan yang kita nikmati hari ini menghadapi tantangan yang berbeda dibanding tahun 1945. Jika dulu ancamannya datang dari moncong senapan kolonial, kini tantangan itu datang dalam rupa yang lebih halus—disintegrasi moral, individualisme ekstrem, dan menipisnya rasa kebangsaan di tengah arus globalisasi yang nyaris tanpa sekat. Di titik inilah peran madrasah kembali menemukan relevansinya.
BACA ARTIKEL LAINNYA : Kemerdekaan, Madrasah, dan Cinta Negeri
Madrasah bukan sekadar tempat anak-anak belajar membaca Al-Qur’an, fiqh, atau bahasa Arab. Ia adalah kawah candradimuka pembentukan karakter bangsa. Di madrasah, nilai cinta tanah air dirangkai dengan akidah, sehingga nasionalisme kita tidak sekadar lahir dari kesepakatan politik, melainkan tertanam sebagai bagian dari kesadaran spiritual. Inilah yang membedakan madrasah dari institusi pendidikan lain.
Saya melihat, kegiatan Gebyar Lomba yang diikuti oleh ASN Kemenag dan anggota Dharma Wanita Persatuan dari 17 kabupaten/kota se-Sumatera Selatan ini adalah cerminan miniatur Indonesia.
Ada perbedaan latar belakang, ada ragam karakter, tetapi semua bersatu dalam semangat yang sama. Kita menyanyi lagu kebangsaan dengan penuh penghayatan, bermain dalam lomba tradisional dengan tawa lepas, dan bekerja sama dalam estafet bola seperti kita bekerja sama membangun negeri ini.
Peran Perempuan
Bila kemudian kegiatan yang juga mengikutsetakan DWP Kanwil Kemenag Sumsel, sebagai ajang silaturahmi dan penguatan peran perempuan, tentu Saya mengamini sepenuhnya. Sebab, sejarah bangsa membuktikan, perempuan memiliki peran sentral dalam perjuangan kemerdekaan, dari dapur umum hingga medan perang, dari bilik madrasah hingga panggung diplomasi. Maka, menghidupkan semangat itu di era kemerdekaan adalah bentuk penghormatan kita pada para pejuang terdahulu.
Saya teringat pesan Penasihat DWP Kemenag RI, Hj. Helmi Nasaruddin Umar, yang disampaikan saat berkunjung ke Palembang: perempuan harus mempertahankan persatuan, membangun karakter bangsa, dan menjadi insan produktif di segala bidang. Ini sejalan dengan gagasan besar pendiri bangsa bahwa kemerdekaan harus diisi oleh manusia merdeka—merdeka pikirannya, merdeka jiwanya, dan merdeka dari belenggu kemalasan.
Perspektif konstitusional mengajarkan kepada kita bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun atas dasar Pancasila dan UUD 1945. Di dalamnya, termuat cita-cita luhur yang tidak hanya bersifat politik, tetapi juga moral dan spiritual.
Pasal 31 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Tugas kita di Kementerian Agama adalah memastikan bahwa pendidikan itu tidak sekadar mencetak manusia cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia, siap mengabdi kepada bangsa dan negara.
Madrasah Pilar Strategis
Dalam konteks ini, madrasah menjadi pilar strategis. Di dalamnya, pendidikan agama dan umum bertemu dalam harmoni. Kita mengajarkan matematika dengan disiplin yang sama seperti kita mengajarkan wudhu. Kita membahas sejarah kemerdekaan dengan semangat yang sama seperti kita membahas sirah Nabi. Semua diarahkan untuk membentuk insan kamil—manusia yang paripurna.
Maka, kegiatan lomba dan aksi sosial yang mungkin terlihat sederhana itu, sejatinya adalah laboratorium kecil dari pendidikan kebangsaan. Donor darah, misalnya, mengajarkan kepedulian pada sesama; lomba baris-berbaris melatih disiplin dan koordinasi; karaoke lagu kebangsaan memupuk rasa bangga sebagai warga negara. Semua itu adalah potongan kecil dari mozaik besar bernama nasionalisme.
Menjaga dan Mengisi Kemerdekaan
Kemerdekaan adalah amanah, dan setiap amanah menuntut pertanggungjawaban. Generasi kita hari ini tidak lagi diminta mengangkat senjata, tetapi diminta untuk menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan karya nyata. Madrasah harus tampil di garda depan, memastikan generasi mendatang tidak hanya mengenal proklamasi sebagai teks bersejarah, tetapi juga sebagai semangat hidup.
Saya percaya, selama madrasah-madrasah kita hidup, selama guru-guru kita setia pada misinya, dan selama nilai-nilai agama terus menjiwai pendidikan, maka rasa cinta kepada NKRI akan tetap terjaga. Itulah sebabnya, setiap lomba, setiap senam bersama, setiap donor darah yang kita lakukan dalam peringatan HUT Kemerdekaan, bukanlah sekadar acara seremonial. Ia adalah pernyataan komitmen, bahwa kita tidak akan membiarkan rasa kebangsaan ini luntur.
Harus diikuti kedewasaan
Delapan puluh tahun merdeka adalah usia yang matang bagi sebuah bangsa. Namun, kematangan itu harus diikuti dengan kedewasaan sikap. Jika kita ingin melihat Indonesia tetap tegak seratus tahun lagi, kita harus mulai dari hal-hal sederhana: membangun karakter, memperkuat persaudaraan, dan memupuk nasionalisme dari ruang-ruang kelas, termasuk dari madrasah.
Mari kita jadikan kemerdekaan ini sebagai ruang untuk terus memperbaiki diri. Mari kita wujudkan cinta NKRI bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kerja nyata, dari kantor-kantor Kementerian Agama hingga ke sudut-sudut madrasah di pelosok negeri. Sebab, seperti kata seorang ulama: “Bangsa yang besar bukanlah yang memiliki kekayaan melimpah, tetapi yang memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersatu.”
Semoga Allah SWT senantiasa menjaga negeri ini, memberkahi langkah-langkah kita, dan menjadikan setiap ikhtiar kita sebagai bagian dari ibadah membangun Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Palembang, 13 Agustus 2025