
Saya membaca berita tentang gagasan Menteri Kebudayaan Fadlizon yang ingin menghidupkan kembali Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI).
Sekilas, berita itu tampak seperti angin lalu di layar gawai—tetapi bagi kami, para pelaku seni di daerah, terutama di lingkungan pesantren, kabar itu seperti sebutir embun yang jatuh di padang panjang penuh debu.
Sudah terlalu lama seni Islam ini berjalan tanpa rumah. Ia hidup di sela-sela kegiatan pesantren, di panggung sederhana, di antara suara rebana dan semangat anak-anak muda yang belajar mengekspresikan keindahan imannya melalui musik, teater, puisi, dan kaligrafi. Tapi selama ini, seni Islam seperti anak yatim piatu dalam rumah kebudayaan nasional.
Di sekolah-sekolah, yang dihormati adalah lomba tari modern atau pentas musik pop. Di pesantren, kadang malah ada yang menganggap teater atau musik sebagai hal “kurang islami”.
Maka seni Islam berjalan pincang: dicurigai oleh agamawan, diabaikan oleh budayawan.
Padahal, kalau ditilik lebih dalam, seni Islam adalah salah satu bentuk dzikir — bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada kehidupan. Ia mengajarkan keindahan yang beradab, ekspresi yang berakhlak, dan keberanian yang tidak melawan nilai-nilai ilahiah.
Seni Islam: Nafas yang Tersisa di Balik Panggung Pesantren
Di Sumatera Selatan, ada banyak kisah kecil tapi bermakna tentang lahirnya seni Islam dari ruang-ruang pesantren.
Ada kelompok hadrah santri yang berlatih hingga malam, bukan karena disuruh, tapi karena merasa menemukan ketenangan di setiap irama rebana.
Ada teater dakwah yang menulis naskah sendiri tentang perjuangan moral di era digital. Ada lomba kaligrafi di madrasah yang dikerjakan dengan tinta seadanya, tapi dengan hati penuh cinta kepada ayat-ayat Tuhan.
Namun, semua itu sering kali hanya berhenti di halaman pesantren. Tidak ada pendampingan, tidak ada kurikulum pembinaan seni, bahkan tidak ada forum tempat para pelaku seni saling berbagi pengalaman.
Maka, ketika Menteri Kebudayaan Fadlizon berbicara tentang menghidupkan HSBI, kami seperti mendengar doa lama yang akhirnya menemukan jawabannya.
Tapi tentu saja, sebagaimana nasihat para guru, “doa yang dijawab Tuhan itu bukan untuk dimanjakan, tapi untuk dikerjakan.”
HSBI: Jangan Jadi Spanduk, Jadilah Gerakan
Kekhawatiran itu datang dari para pelaku seni sendiri. “HSBI jangan hanya jadi lembaga simbolik,” kata Yosep Suterisno, seniman teater dan Ketua Forum Teater Sekolah Sumatera Selatan (FORTASS). (KabarSriwijaya.NET edisi : 10 Agustus 2025)
“Ia harus hidup di lapangan, di sekolah, di pesantren, di ruang-ruang teater kecil yang hari ini justru menjadi laboratorium moral dan ekspresi anak muda muslim.”
Yosep tahu betul bahwa di daerah, teater dan seni Islam bukan sekadar hiburan. Itu adalah cara para guru menanamkan nilai kehidupan, cara santri belajar bicara tanpa kehilangan adab.
BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT :
- Seniman di Muaraenim Bicara : Respon Fadlizon Pimpin HSBI
- Menyimak Kembali Napas Islam dalam Kebudayaan — HSBI di Tangan Fadli Zon
- Seni yang Merdeka, Dakwah yang Luhur: Menyikapi Gagasan HSBI dari Pusat ke Daerah
Tapi ia juga tahu, banyak pertunjukan teater dakwah berhenti hanya karena tidak ada dukungan logistik—tidak ada panggung, tidak ada biaya lampu, bahkan tidak ada pelatih.
Maka kalau HSBI ingin hidup kembali, ia harus turun dari gedung kementerian dan masuk ke serambi pesantren.
Menurut Kiai Abdul Majid, seniman Qasidah kaligrafi dari Sanggar Tinta Kalam Tanjung Enim menyebutkan, HSBI seharusnya menjadi wadah yang menyatukan seniman Islam dari berbagai lintas bidang—teater, musik, sastra, dan rupa. (KabarSriwijaya.NET edisi : 10 Agustus 2025)
“Seni Islam bukan ritual atau simbol keagamaan, tapi ekspresi estetika dan spiritual yang membawa rahmat bagi semesta. Kalau HSBI mau besar, dia harus memberi ruang untuk semua bentuk ekspresi yang jujur dan berjiwa,” ujarnya lembut.
Dan saya setuju dengan Kiai Abdul Majid dan Yosep. Karena selama ini, banyak yang mengira seni Islam hanya sebatas rebana, qasidah, dan kaligrafi. Padahal, Islam melahirkan peradaban seni yang luas: dari arsitektur, sastra sufi, hingga film dan teater kontemporer. Kita hanya perlu membangunkan kembali kesadaran itu.
Pesantren: Bukan Sekadar Tempat Menghafal, Tapi Melahirkan Makna
Ada hal yang sering kita lupakan: bahwa pesantren sejatinya adalah pusat kebudayaan. Di dalamnya ada disiplin ilmu, tata bahasa, tata sopan, tata rasa, dan bahkan tata ruang yang semuanya berakar dari nilai-nilai adab.
Kalau kita lihat dari kacamata kebudayaan, pesantren sebenarnya adalah laboratorium estetik. Cara seorang kiai berjalan, cara santri menyapu halaman, bahkan cara mereka membaca kitab kuning—semuanya punya irama dan harmoni yang bisa disebut seni.
Namun ironinya, banyak pesantren yang belum punya pembina seni. Potensinya besar, tapi wadahnya minim.
Santri punya energi kreatif, tapi tidak punya panggung. Padahal, di tengah derasnya budaya global, pesantren bisa menjadi benteng terakhir kebudayaan Islam Indonesia.
Maka, menghidupkan HSBI artinya juga memberi peran baru bagi pesantren: bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama, tapi juga pusat produksi seni Islam yang mendidik manusia seutuhnya — yang berpikir, berzikir, dan berkarya.
Seni Sebagai Dakwah yang Menghidupkan
Seni Islam tidak harus selalu serius atau kaku. Lihat saja bagaimana teater di tangan para santri sering kali lebih hidup dan jujur daripada khutbah panjang di mimbar. Mereka bisa menertawakan diri sendiri, menyindir zaman, tapi tetap dalam koridor nilai. Seni seperti inilah yang mampu menyentuh hati masyarakat, bukan sekadar menjejali pikiran.
Yosep Suterisno kembali menegaskan,
“Seni Islam itu bukan hanya milik panggung masjid. Ia bisa lahir dari studio kecil, dari kelas sekolah, atau bahkan dari media sosial. HSBI nanti harus membuka ruang itu: membina, bukan membatasi.”
Kalimat itu seolah mengingatkan kita: dakwah lewat seni bukan soal bentuk, tapi soal ruh. Boleh saja pakai rebana atau gitar, pentas di panggung atau di YouTube—asal tidak kehilangan nilai ilahiah dan kemanusiaannya.
Sebab seni Islam sejatinya adalah seni yang membuat manusia lebih mengenal Tuhannya dan lebih menghargai sesamanya.
HSBI Baru: Dari Komunitas ke Peradaban
Kalau HSBI benar-benar ingin hidup, ia harus berani membangun ekosistem baru. Bukan lagi organisasi yang menunggu proposal, tapi gerakan yang membangun jaringan.
Mulailah dari pelatihan guru seni pesantren, pendirian laboratorium seni Islam di madrasah, festival teater dakwah antar daerah, dan beasiswa karya untuk seniman muda muslim.
Dan yang paling penting: beri kepercayaan kepada komunitas daerah. Karena seni tidak tumbuh dari pusat, ia tumbuh dari pinggiran.
Dari anak muda di panggung sederhana, dari suara hadrah yang menggema di tengah malam, dari goresan tinta kaligrafi di papan triplek sekolah. Jika semua itu diberi ruang, maka HSBI akan menjadi gerakan kebudayaan yang hidup—bukan sekadar proyek birokrasi.
Menutup Panggung, Membuka Jalan
Saya percaya, kebudayaan Islam di Indonesia bukan soal siapa yang paling islami, tapi siapa yang paling mampu memanusiakan manusia.
Seni Islam tidak perlu ditakuti, karena ia bukan jalan keluar dari agama—justru ia adalah cara manusia mendekati Tuhan dengan rasa.
Dan HSBI, jika benar-benar dihidupkan dengan niat yang jernih, bisa menjadi jembatan antara dunia kebudayaan dan dunia pesantren yang selama ini berjalan sendiri-sendiri.
Seni Islam adalah bahasa jiwa umat. Jangan biarkan ia hidup hanya di pinggiran. Dengan dukungan HSBI dan keterlibatan pesantren, seni Islam bisa kembali menjadi cahaya yang menerangi budaya bangsa.
Cahaya itu tak akan muncul kalau kita sibuk berdebat soal bentuk, sementara melupakan ruh. Cahaya itu akan muncul ketika para seniman, ustadz, dan pemerintah mau duduk satu meja—bukan untuk berteori, tapi untuk bekerja bersama.
Karena sesungguhnya, kebudayaan bukanlah apa yang kita katakan, tapi apa yang kita hidupi.
Muara Enim, 13 Agustus 2025















