
Ketika memasuki aula MAN 1 Palembang pada 12 Agustus lalu, saya disambut oleh pemandangan yang bagi saya adalah potret kecil dari Indonesia yang kita cita-citakan.
Anak-anak dari berbagai tingkatan madrasah — RA, MI, MTs, MA, baik negeri maupun swasta — duduk berdampingan, bercampur dengan para guru, ASN, dan ibu-ibu Dharma Wanita.
Tidak ada sekat-sekat yang memisahkan mereka. Semua hadir dengan satu niat: memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80.
Acara yang bertajuk Harmoni Kemerdekaan ini sederhana. Ada lomba paduan suara Mars dan Hymne Madrasah, Mars Kementerian Agama, rebana antar Majelis Taklim, permainan tradisional, hingga lomba mewarnai untuk anak-anak RA. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan makna yang dalam.
Bagi saya, kegiatan seperti ini adalah wujud nyata dari misi madrasah: membentuk manusia Indonesia yang utuh, yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kaya dengan nilai-nilai moral, kebangsaan, dan spiritualitas.
Kemerdekaan: Bukan Sekadar Perayaan Seremonial
Setiap tahun, pada bulan Agustus, kita melihat bendera merah putih berkibar di mana-mana. Ada lomba panjat pinang, balap karung, dan berbagai permainan rakyat. Semua itu baik. Namun, peringatan kemerdekaan janganlah berhenti pada seremonial.
Kemerdekaan adalah buah dari perjuangan panjang, pengorbanan jiwa dan raga, darah dan air mata para pejuang. Dalam perspektif Islam, kemerdekaan bukan hanya terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan perpecahan.
BACA ARTIKEL LAINNYA : Mewujudkan Cinta NKRI dari Ruang Madrasah
Bung Hatta pernah mengatakan, “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas.” Jembatan itu menghubungkan kita dari masa penjajahan menuju masa pembangunan bangsa. Tetapi, apa yang kita lakukan di seberang jembatan itu? Di sinilah peran pendidikan, khususnya madrasah, menjadi sangat vital.
Madrasah dan Nasionalisme
Sebagian orang mungkin masih memandang madrasah sebagai lembaga pendidikan yang hanya fokus pada agama. Padahal, sejarah membuktikan, madrasah dan pesantren adalah benteng pertama perjuangan bangsa ini.
Dari KH Hasyim Asy’ari hingga KH Ahmad Dahlan, dari perlawanan fisik di medan perang hingga perjuangan diplomasi di meja perundingan, para ulama dan santri telah memberi kontribusi besar bagi kemerdekaan.
Di madrasah, cinta tanah air bukanlah sesuatu yang terpisah dari iman. Dalam ajaran Islam, hubbul wathan minal iman — mencintai tanah air adalah bagian dari iman — bukan sekadar slogan, melainkan manifestasi dari rasa syukur kepada Allah atas nikmat negeri ini.
Saya melihat wajah-wajah anak-anak madrasah yang menyanyikan Mars Kementerian Agama dengan penuh semangat. Mereka belum tentu menghafal seluruh teks Proklamasi, tetapi dari mata mereka terpancar kesadaran bahwa negeri ini adalah milik bersama, dan tugas mereka kelak adalah menjaganya.
Ajang Silaturahmi dan Pembentukan Karakter
Kegiatan seperti Harmoni Kemerdekaan adalah ruang silaturahmi yang mempersatukan. Tidak ada sekat antara siswa negeri dan swasta, antara ASN dan masyarakat umum, antara guru dan wali murid.
Semua duduk bersama, tertawa bersama, bahkan bersaing secara sehat.
Dalam suasana seperti ini, nilai-nilai karakter tumbuh dengan alami. Disiplin saat tampil, sportivitas menerima kekalahan, saling menyemangati sesama peserta — semua itu adalah pelajaran hidup yang mungkin tidak tertulis di buku teks, tetapi akan melekat di hati peserta selamanya.
Saya meyakini, pendidikan karakter yang terintegrasi dengan kegiatan kebangsaan seperti ini akan jauh lebih efektif daripada sekadar ceramah di kelas. Anak-anak belajar mencintai negeri ini bukan karena diperintah, tetapi karena mereka merasakan sendiri kebersamaan yang indah di bawah naungan merah putih.
Tantangan Kemerdekaan di Era Modern
Namun, di tengah kebahagiaan merayakan kemerdekaan, kita tidak boleh lupa pada tantangan yang kita hadapi. Generasi muda kita kini hidup di era digital, dengan arus informasi yang begitu deras. Di satu sisi, ini adalah peluang. Di sisi lain, ini juga ancaman jika tidak diimbangi dengan literasi digital dan filter moral yang kuat.
Madrasah memiliki peran penting dalam membekali generasi muda dengan nilai-nilai yang membuat mereka mampu menyaring informasi, menjaga adab, dan tetap teguh pada prinsip agama sekaligus kebangsaan.
Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini bisa terkikis bukan hanya oleh penjajah asing, tetapi juga oleh perpecahan internal, korupsi, radikalisme, dan dekadensi moral. Semua itu adalah bentuk penjajahan baru yang harus kita lawan bersama.
Refleksi Pribadi: Kemerdekaan sebagai Amanah
Bagi saya, setiap kali menyaksikan anak-anak madrasah berdiri tegak menyanyikan lagu kebangsaan, saya seperti diingatkan kembali pada amanah besar yang kita pikul: memastikan bahwa kemerdekaan ini terjaga, bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Kemerdekaan adalah titipan. Ia harus dipelihara dengan ilmu, iman, dan amal. Madrasah adalah salah satu garda depan yang memastikan titipan itu tidak rusak di tangan kita.
Di tengah derasnya globalisasi, kita harus memastikan bahwa anak-anak kita tidak tercerabut dari akar budayanya, tidak terlepas dari nilai agamanya, dan tidak kehilangan rasa cinta kepada negerinya.
Merawat Harmoni, Menguatkan Negeri
Saya ingin menutup refleksi ini dengan sebuah pesan yang saya sampaikan pula di acara Harmoni Kemerdekaan
“Jadikan lomba ini sebagai upaya meningkatkan kecintaan kepada bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Kegiatan seperti ini mungkin terlihat sederhana — hanya lomba paduan suara, rebana, atau mewarnai. Tetapi, jika kita memaknainya dengan benar, ia adalah bagian dari upaya besar merawat harmoni, membentuk karakter, dan menguatkan bangsa.
Semoga ke depan, madrasah terus menjadi pusat lahirnya generasi yang mencintai negeri ini karena Allah, yang mengisi kemerdekaan dengan karya nyata, dan yang menjaga harmoni di tengah keberagaman.
Di ruang aula MAN 1 Palembang hari itu, saya menyaksikan masa depan Indonesia. Mereka bernyanyi, mereka tertawa, dan mereka berjanji — meski tanpa kata — bahwa merah putih akan terus berkibar, selama mereka ada untuk menjaganya.**
Palembang, 13 Agustus 2025