Siang itu, di Rumah Dinas Wali Kota Palembang, cahaya matahari merembes lewat kisi-kisi jendela besar. Suara sendok beradu dengan cangkir kopi terdengar dari sudut ruangan. Beberapa perempuan duduk melingkar, sebagian memegang buku catatan, lainnya sibuk memeriksa rekaman suara di ponsel.
Di ruangan itu, 12 Agustus 2025, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumatera Selatan menggelar diskusi publik yang mereka beri judul panjang: Urgensi Penguatan Jurnalisme Inklusif untuk Kebebasan Berekspresi bagi Jurnalis Perempuan. Sebuah tema yang mungkin terdengar akademis, tetapi bagi mereka yang hadir, itu adalah soal hidup sehari-hari—tentang bagaimana meliput tanpa dihantui rasa takut, tentang ruang redaksi yang tidak lagi memandang mereka sebelah mata.
“Masih banyak perempuan yang belum bebas dalam kerja jurnalistik,” kata Tri Rizki Ambarwatie, Sekretaris Jenderal FJPI Pusat. Ia duduk di kursi tengah, suaranya mantap tapi matanya sesekali menatap kosong. “Bahkan ada yang mengalami diskriminasi di ruang redaksi.”
Diskriminasi itu, lanjutnya, datang dalam berbagai bentuk: penugasan liputan yang tak setara, ide berita yang ditolak tanpa alasan jelas, hingga perlakuan merendahkan dari rekan kerja atau narasumber. Ia mengingat sebuah insiden yang menggemparkan: seorang jurnalis perempuan Tempo menerima kiriman kepala babi ke rumahnya, hanya karena berani memberitakan kasus korupsi. “Itu bukan hanya intimidasi, itu teror,” ujarnya.
FJPI menamai visi mereka “jurnalisme inklusif”—praktik liputan yang memberi ruang setara bagi semua suara, tanpa memandang gender, agama, atau etnis. Menurut Tri, penerapan ini bukan sekadar jargon. Ia menyentuh hal yang lebih mendasar: rasa aman. “Perspektif gender perlu dipahami dan dipraktikkan di ruang redaksi, supaya berita tidak bias,” katanya.
Di samping Tri, Jufrizal, Kepala Program Studi Jurnalistik UIN Raden Fatah, mengangguk. Ia menambahkan, “Jurnalisme inklusif menghasilkan karya yang bisa diterima semua kalangan.” Tapi, katanya, masih terlalu banyak redaksi yang menolak tulisan inklusif dengan alasan “tidak sesuai selera pembaca” atau “terlalu sensitif”. Baginya, itu hanyalah cara halus untuk mempertahankan bias lama.
Di tengah diskusi, cerita-cerita kecil mengalir: tentang wartawan perempuan yang selalu diminta meliput acara fesyen, bukan politik; tentang liputan kekerasan seksual yang diberitakan dengan judul sensasional; tentang redaksi yang menganggap perspektif korban sebagai “bumbu”, bukan inti berita.
FJPI mencoba membalik keadaan. Mereka ingin redaksi menjadi tempat yang aman, di mana jurnalis perempuan tak perlu memikirkan keselamatan diri lebih dari isi berita. “Kalau redaksi sudah berubah, berita yang lahir pun akan berubah,” kata Tri.
Organisasi ini memang lahir dari keresahan itu. FJPI berdiri untuk melindungi dan memberdayakan jurnalis perempuan, mengadvokasi kasus kekerasan, sekaligus memperjuangkan kesetaraan di ruang kerja media. Bagi mereka, kebebasan berekspresi bukan hanya soal hak konstitusional, tapi juga tentang siapa yang berani bicara dan siapa yang bisa bertahan.
Sore mulai turun di Palembang. Di luar, langit berwarna oranye pucat, dan suara azan dari masjid terdekat memecah keheningan. Diskusi belum berakhir. Di meja, catatan-catatan penuh coretan tangan masih terbuka. Bagi sebagian orang, hari ini hanyalah satu sesi diskusi. Bagi yang lain, ini adalah pengingat bahwa perjuangan membuat jurnalisme lebih inklusif tidak akan selesai dalam satu pertemuan—bahkan mungkin tidak dalam satu generasi.
TEKS : AHMAD MAULANA | EDITOR : IMRON SUPRIYADI










