Menyimak Kembali Napas Islam dalam Kebudayaan — HSBI di Tangan Fadli Zon

Tantangan besarnya : Menjaga seni tetap jujur dan tidak menjadi alat legitimasi politik

Di ruang yang pernah menjadi saksi bagi para penyair dan pemikir sastra, Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, riuh tepuk tangan terdengar pada Sabtu sore, 9 Agustus. Di bawah langit Jakarta yang sedikit mendung, sebuah peristiwa kebudayaan Islam menandai babak baru: pelantikan Pengurus Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) periode 2024–2029.

JAKARTA | KabarSriwijaya.NET – Di panggung, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Umum HSBI, Fadli Zon, berdiri dengan nada yang tenang namun berlapis pesan sejarah.

Dalam sambutannya, ia seakan membuka kembali album tua kebudayaan Islam Indonesia—sebuah narasi panjang yang telah dimulai sejak 24 September 1956 oleh H. Abdullah Aidid.

“HSBI pernah menampilkan drama kolosal Titik Terang dengan lima belas ekor kuda di tahun 1961,” ujar Fadli, seolah ingin menegaskan bahwa Islam pernah tampil megah di panggung seni—bukan hanya di ruang dakwah atau masjid. Pertunjukan itu, konon, ditonton 30 ribu orang.

Dari catatan sejarah itulah, Fadli menggali kembali gagasan bahwa seni Islami bukanlah pelengkap ibadah, melainkan bagian dari peradaban. “Seni bukan sekadar hiburan, tetapi sarana dakwah, penguat akhlak, dan pengikat persaudaraan,” katanya.

HADROH – Salah satu Tim Hadroh Pondok Pesantren di Muaraenim, tampil dalam Lomba Hadroh dan Syarofal di HSN PCNU 2025 Muaraenim (Sumber : Dok.KS/im)

Nada itu terdengar seperti seruan untuk membangunkan kembali ruh lama yang nyaris tertidur. Di usianya yang ke-69, HSBI masih berdiri, namun di tengah perubahan dunia digital yang menuntut bentuk-bentuk baru ekspresi seni, pertanyaan pun muncul: mampukah organisasi ini menjembatani antara tradisi dan modernitas?

Panggung yang Kembali Hidup

Pelantikan itu sendiri bukan sekadar acara seremonial. Ruang HB. Jassin sore itu menjelma menjadi ruang apresiasi lintas generasi. Neno Warisman membacakan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dengan iringan lembut Ari Reda—duet yang menjadi legenda dalam sejarah musikalisasi puisi Indonesia.

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT :

Sementara di sudut lain, Dewan Sastra HSBI menggugah penonton dengan Sajak dari Tanah Terluka. Grup Renjana membacakan karya Hanya untuk Cinta karya Abrory Jabbar, disusul pembacaan puisi oleh Taufiq Ismail—sosok yang seolah tak pernah lelah menulis tentang bangsa dan iman.

Lalu, Jose Rizal Manua menutup acara dengan teatrikal Manusia Kepingin, Kalau Bisa dan Orang Jepang dan Orang Indonesia—dua karya yang menyoroti absurditas manusia modern.

Semua itu menjadikan acara pelantikan ini bukan sekadar serah-terima jabatan, melainkan perayaan estetika Islam dalam bentuk paling humanistiknya.

Mencari Islam yang Lembut di Tengah Dunia yang Bising

Dalam pernyataannya, Fadli menekankan bahwa budaya Islam di Indonesia tumbuh melalui jalan damai, bukan pedang, melainkan perdagangan, seni, dan sastra.

Pernyataan itu terasa relevan ketika dunia hari ini kembali bising oleh klaim kebenaran dan politik identitas.

“Islam di Indonesia masuk melalui jalur damai, dengan akulturasi yang kuat terhadap budaya lokal,” ujarnya. Di titik inilah, HSBI diharapkan memainkan perannya: menjaga kelenturan kebudayaan Islam agar tidak kaku di tengah zaman yang cepat berubah.

Para pengurus yang dilantik, mulai dari Komeng hingga Adi Bing Slamet, Rudi Sipit, hingga penulis Asma Nadia, memberi wajah baru bagi organisasi yang dulu berangkat dari semangat aktivisme Islam pasca-kemerdekaan. Kini, wajah itu tampil lebih beragam—dari pelawak hingga penyair, dari pejabat hingga sutradara.

Seni Sebagai Dakwah yang Menyentuh

dalam catatan redaksi, selama beberapa dekade, HSBI adalah rumah bagi gagasan bahwa dakwah bisa mengalir lembut melalui teater, lagu, atau bahkan lukisan. Namun sejarah juga mencatat, organisasi ini kerap tenggelam di bawah arus besar politik dan birokrasi kebudayaan.

Kini, dengan Fadli Zon sebagai Ketua Umum sekaligus Menteri Kebudayaan, posisi HSBI berada di persimpangan penting.

Di satu sisi, ia memiliki akses untuk mendorong kebijakan kebudayaan Islami di level nasional. Di sisi lain, tantangan besarnya adalah menjaga agar seni tetap jujur—tidak menjadi alat legitimasi politik.

Kembali ke Akar, Menatap Masa Depan

Dalam sambutan penutupnya, Fadli menegaskan bahwa pelantikan ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang. “Agar kepengurusan ini menjadi titik tolak bagi kiprah HSBI yang lebih luas dan berdampak,” ujarnya.

Kalimat itu bisa dibaca sebagai ajakan untuk kembali kepada ruh awal HSBI: menjadikan seni sebagai napas spiritual bangsa. Sebuah upaya untuk menemukan kembali “titik terang” yang dulu dinyalakan oleh Abdullah Aidid—bukan sekadar nostalgia masa lalu, tapi sebagai energi untuk masa depan kebudayaan Islam Indonesia.

Mungkin, seperti kata penyair Taufiq Ismail dalam puisinya sore itu, “Sebuah dunia sedang kita bentuk, dengan kata, dengan doa, dan dengan nada.”

TEKS : BAGUS SANTOSA (KONTRIBUTOR JAKARTA)  |   EDITOR : WARMAN P  |  FOTO : DETIK.COM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *