Negara dan Tiket Masuk ke Telinga Anak Saya

Catatan Kecil Kisah Pilu Inug dan Telaga

Oleh : Imron Supriyadi, Jurnalis & Pelaku Sastra

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Izinkan saya meminjam sedikit ruang di hati Anda, wahai para pemilik jabatan, para penyusun sistem, para perancang aplikasi, dan para pembuat keputusan.

Tidak perlu tahu siapa nama saya. Anda boleh panggil saya Imron, mewakili teman saya Inug Dongeng.

Nama saya tidak penting. Tapi anaknya Inug sama saja dengan anak saya, namanya : Telaga Bening, adalah segalanya, bagi Inug juga bagi setiap ayah yang waras hatinya.

Ia adalah surga kecil yang Allah titipkan pada Inug dan kepada setiap ayah, juga saya dan Anda.

Sejak lahir, ia tidak bisa mendengar suara adzan, tidak bisa menyebut nama ayahnya. Tapi ia tetap tersenyum. Ia tidak punya telinga yang berfungsi, tapi hatinya lebih peka dari kita semua yang tiap hari mendengar tapi sering pura-pura tuli, alias nuli saat panggilan adzan datang.

Beberapa waktu lalu, dari ceritanya yang pernah saya dengar, Inug menemukan benjolan di telinga Telaga. Mungkin itu bukan hal besar bagi Anda yang bisa ke Singapura untuk berobat.

Tapi bagi Inug, bagi kami, warga negara biasa yang menggantungkan harap pada kartu plastik bernama BPJS, itu adalah perjalanan panjang yang melelahkan.

Inug dan ayah sebangsa kami, tidak menuntut lebih. Inug, saya dan ayah pada umumnya sudah terbiasa hidup sederhana. Tapi kami percaya pada satu hal: negara ini, katanya, menjamin kesehatan warganya.

Inug, ketika itu mengikuti semua prosedur. Inug membawa Bening ke faskes satu — BP Mapolda Sumsel. Dirujuk ke RS Bhayangkara. Lalu akhirnya ke RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Sesuai prosedur. Kali itu, Inug pikir ini seperti naik tangga: satu demi satu anak tangga dilalui, sampai ke puncaknya: pengobatan.

Tapi di anak tangga terakhir, tangganya malah “patah”.

Inug diminta mendaftar melalui Mobile JKN. Ia patuhi. Dapat jadwal ke dr. Mufida Muzakir, Sp.BP-RE, Poli Bedah, Selasa pukul 19.00 WIB. Inug sudah datang jam 17.00. Inug mengajak Telaga, yang bisu, yang tuli, yang tetap sabar. Tapi yang ia temui bukan pintu pelayanan. Yang ia temui adalah satpam yang bilang: “Sudah tidak berlaku Mobile JKN. Harus manual. Pakai aplikasi lain. Datang lagi besok.”

Foto : Inug Dongeng (saat di RS Moehammad Husin Palembang/Capture FB)

Besok? Ulang lagi antrean? Ulang lagi harapan?

Inug tidak tahu, apakah ini rumah sakit atau labirin birokrasi. Kenapa tidak ada pemberitahuan? Kenapa Inug harus mencari tahu sistem yang berubah, padahal Inug, saya dan ayah anak-anak di semua ruang, membutuhkan pertolongan? Bukan jawaban retoris.

Inug tidak tahu siapa yang harus ia tanya. Aplikasi? Website rumah sakit? Faskes pertama? Atau mungkin mimpi Inug semalam usai tahajud?

Telaga tidak bisa protes. Ia hanya menatap Inug. Dan Inug hanya bisa menggenggam kertas rujukan yang tak berguna malam itu. Telaga dan Inug pulang, dengan telinga anaknya yang tetap sakit, dan hati Inug yang lebih perih dari biasanya.

BACA ARTIKEL TERKAIT : Telaga yang Tak Tersambung, Inug Kirim Surat ke Pak Menteri dan RS Mohammad Hoesin Palembang

Saya menulis ini, mewakili Inug dan semua ayah yang waras hatinya, bukan sedang dan untuk marah kepada siapapun.

Saya dan Inug bukan orang penting. Saya tidak punya pengikut. Tapi saya, Inug dan semua ayah yang mengantarkan anaknya ke rumah sakit punya hak: untuk didengar. Seperti anaknya Inug, yang tidak bisa mendengar, tapi berhak untuk disembuhkan.

Kita ini hidup di zaman ketika negara bangga dengan kata “digitalisasi”. Setiap pelayanan diubah jadi aplikasi. Tapi sayangnya, tidak semua perubahan itu diiringi komunikasi. Tidak semua teknologi itu dibarengi hati.

Kalau saya analogikan, negara seperti kereta cepat: mengkilap, canggih, tapi lupa menurunkan penumpangnya di stasiun yang benar.

Saya, Inug dan para ayah lainnya, tidak anti-aplikasi. Tidak anti sistem. Tapi saya, Inug dan para ayah waras hatinya mohon : sosialisasikan dengan jelas. Beritahu kami jika sistem berubah. Jangan sampai orang-orang seperti kami jadi korban “peralihan sistem”. Kami ini bukan data statistik. Kami ini ayah dan anak, yang mencari jalan pulang ke kesehatan.

Kalau saya boleh bertanya kepada Tuhan — Ya Allah, apakah negara ini lupa bahwa mereka akan ditanya tentang rakyat kecilnya? Apakah di akhirat nanti akan ada form evaluasi sistem? Apakah Malaikat Ridwan akan menolak saya dan Inug karena tidak daftar lewat Daftarin?

Saya percaya: dalam Islam, memudahkan urusan orang lain adalah amal terbaik. Menghilangkan satu duri di jalan saja bisa membawa ke surga. Maka bagaimana dengan orang-orang yang menanam duri birokrasi di jalan orang sakit?

Saya, Inug dan para ayah yang waras hatinya,  ingin agar negara hadir. Bukan dalam bentuk baliho, bukan dalam bentuk pernyataan pers, tapi dalam bentuk pelayanan yang adil dan manusiawi.

Kepada Menteri Kesehatan, kepada Direktur RS, kepada siapa pun yang membaca ini — mohon, jangan jadikan teknologi sebagai tembok. Jadikan ia jembatan.

Anaknya Inug, anak saya dan anak para ayah yang waras hatinya, tidak meminta diperlakukan istimewa. Setiap pasien, seperti Telaga hanya ingin sakitnya diperiksa. Ia hanya ingin tahu, apa benjolan di telinganya. Ia hanya ingin sembuh.

Dan saya, Inug juga para ayah yang waras hatinya — seorang ayah, bukan aktivis, bukan pejabat, hanya orang biasa — hanya ingin anaknya sehat.

Cukuplah negara ini terlalu sering bikin rakyatnya merasa seperti mengemis haknya sendiri.

Saya, Inug tidak ingin revolusi. Saya dan para ayah lainnya tidak ingin drama. Saya, Inug, juga para ayah yang waras hatuinya–hanya ingin duduk di ruang tunggu rumah sakit, dan tahu bahwa kami akan dilayani sesuai rujukan. Itu saja.

Saya, Inug dan para ayah yang waras hatinya tahu, surat ini bisa saja diabaikan. Bisa jadi dibaca sambil lalu, atau bahkan tak dibaca sama sekali. Bahkan bisa juga dimaki-maki.

Tapi saya ingat dengan kata seorang ulama : kalau ada orang yang melakukan kebaikan, menuntut haknya sebagai rakyat yang harus dilayani,  tetapi kita melihatnya benci, acuh dan kesal, maka bukan orang itu yang sakit, tetapi jangan-jangan hati kita yang harus diobati.

Makanya, dengan surat ini, mewakili Inug, harapan saya kepada Tuhan, siapa tahu, ada satu hati yang terbuka. Satu telinga yang mendengar. Mungkin bukan pejabat. Mungkin hanya Anda, pembaca, yang kelak akan berada di posisi Inug.

Kalau hari ini anaknya Inug, besok bisa jadi anak Anda. Dan saya, Inug juga para ayah yang waras hatinya berdoa, semoga nanti saat itu terjadi, sistem sudah berubah. Bukan berubah sistemnya, tapi berubah hatinya. Aaamiiin.

Dari  hatinya, mungkin Inug masih berkata : saya hanya seorang ayah –bukan orang penting, tapi hanya ingin kelihan anaknya didengarkan. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *