JAKARTA | KabarSriwijaya.NET – Di tengah gejala flu yang menyerang sejak pagi, Lestari, 34 tahun, memutuskan untuk langsung menuju rumah sakit swasta di bilangan Jakarta Selatan. Ia berharap cepat ditangani dokter spesialis dan pulih lebih cepat.
Tapi sesampainya di meja pendaftaran, perempuan berambut sebahu itu harus gigit jari. Petugas menolak pendaftarannya. Alasannya: Lestari belum membawa surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
“Saya pikir langsung saja ke spesialis, toh saya peserta JKN,” keluhnya. Sayangnya, seperti jutaan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lainnya, Lestari belum memahami satu hal penting dalam sistem layanan kesehatan nasional: alur rujukan berjenjang, (1/08/2025)
Program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan memang tidak dirancang untuk langsung melayani peserta di rumah sakit. Sebaliknya, sistem ini menempatkan FKTP seperti puskesmas, klinik pratama, atau dokter praktik mandiri sebagai pintu pertama layanan kesehatan. Dari sanalah keputusan rujukan dibuat.
“FKTP adalah garda terdepan,” kata Rizzky Anugerah, Kepala Humas BPJS Kesehatan, saat ditemui Tempo di kantornya. “Mereka tidak hanya memeriksa dan mengobati penyakit, tapi juga melakukan edukasi kesehatan, serta langkah promotif dan preventif.”
Rizzky menyebut, peran FKTP sangat vital karena mereka yang paling mengenal riwayat kesehatan peserta JKN. Tak hanya itu, mereka juga dibekali kapasitas untuk menangani sebagian besar penyakit ringan tanpa harus membebani rumah sakit.
Sistem rujukan ini telah ditegaskan dalam Permenkes Nomor 16 Tahun 2024, yang mengatur sistem rujukan pelayanan kesehatan perseorangan secara berjenjang dan efisien. Dengan model ini, rumah sakit tidak akan disesaki pasien dengan penyakit ringan yang sebetulnya bisa diatasi di FKTP.
“Kalau semua penyakit dibawa ke rumah sakit, maka akan terjadi penumpukan pasien. Tenaga medis di sana jadi tidak optimal menangani kasus berat,” ujar Rizzky. Rumah sakit, menurut dia, memang disiapkan untuk menangani kasus lanjutan yang membutuhkan pelayanan spesialistik, bukan gejala batuk pilek biasa.
Rujukan dari FKTP ke rumah sakit hanya bisa dilakukan jika ada indikasi medis yang jelas—bukan berdasarkan permintaan peserta. Bahkan rujukan itu pun harus disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit tujuan, yang diklasifikasikan mulai dari kelas D hingga kelas A. Rumah sakit kelas A menjadi yang tertinggi, lengkap dengan dokter subspesialis dan teknologi medis canggih.
Namun rujukan tidak selalu bersifat vertikal. Dalam kasus tertentu, satu rumah sakit dapat merujuk pasien ke rumah sakit lain dengan tingkat setara namun kompetensi berbeda. Misalnya, karena ketiadaan alat tertentu atau dokter dengan keahlian khusus. Dalam sistem ini, fasilitas kesehatan telah dipetakan secara nasional berdasarkan profil dan kapasitas layanannya.
Tak hanya itu, BPJS Kesehatan bahkan menjamin sarana transportasi rujukan seperti ambulans, asalkan memenuhi indikasi medis. Semua ini, menurut Rizzky, adalah bagian dari upaya sistematis untuk menyelenggarakan layanan kesehatan yang adil dan merata.
“Tujuan utama sistem ini adalah agar peserta JKN mendapatkan layanan tepat, di tempat yang tepat, oleh tenaga medis yang tepat,” kata Rizzky menegaskan.
Sayangnya, pemahaman publik akan alur ini belum merata. Masih banyak peserta JKN yang beranggapan, semakin cepat ke dokter spesialis maka semakin cepat sembuh. Padahal dalam praktiknya, tidak semua sakit harus bertemu spesialis.
Kesehatan, dalam skema JKN, bukan tentang kecepatan menuju dokter spesialis, tapi tentang akurasi penanganan sejak dini—dimulai dari FKTP. Pemerintah membangun sistem berlapis bukan untuk menghambat, melainkan untuk memastikan bahwa semua orang, dari desa sampai kota, bisa mengakses layanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Dan itu semua, dimulai dari pintu yang sederhana: Puskesmas di dekat rumah.
TEKS : YULI E AFRIANI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI