Operasi Modifikasi Cuaca jadi senjata andalan pemerintah cegah karhutla. Langit disemai, asap dihalau.
PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Langit Sumatera Selatan mungkin tampak cerah, bahkan biru. Tapi di balik cuaca tenang itu, para ahli meteorologi dan petugas darurat berjibaku dalam perang tak kasatmata: melawan potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mengintai sepanjang musim kemarau.
Pada Selasa siang, 30 Juli 2025, dialog interaktif bertajuk “OMC sebagai Langkah Strategis Cegah Karhutla di Musim Kemarau” berlangsung tenang di Palembang. Namun, isi pembicaraannya jauh dari tenang. Kepala Stasiun Meteorologi SMB II Palembang, Siswanto, S.T., M.Si, memaparkan betapa langit kini tak lagi hanya dipandang sebagai cuaca belaka, tapi medan pertempuran.
“Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) bukan sekadar hujan buatan,” tegasnya. “Ia adalah rekayasa atmosfer. Kita bermain dengan awan, garam, dan angin. Tujuannya satu: mencegah Sumsel terbakar.”
Istilah “hujan buatan” yang akrab di telinga masyarakat, menurut Siswanto, sebenarnya tidak sepenuhnya tepat. Hujan tidak bisa diciptakan dari ketiadaan. Awan cumulus harus ada, kelembaban udara harus mendukung, dan arah angin harus bersahabat. “Kami hanya memicu hujan, bukan menciptakannya,” katanya sambil memperlihatkan citra radar cuaca yang menunjukkan awan-awan potensial di wilayah rawan karhutla.
OMC sesi pertama sudah dijalankan pada 13–18 Juli lalu, sesuai Surat Keputusan Gubernur Sumsel tentang status siaga darurat kabut asap. Fokusnya: OKI, Ogan Ilir, Banyuasin, dan Musi Banyuasin—empat wilayah dengan lahan gambut luas dan tingkat kekeringan tertinggi.
“Dalam sehari, bisa dilakukan satu hingga tiga kali penerbangan,” ujarnya. “Setiap misi membawa 800 kilogram hingga 1 ton garam yang disemai dari ketinggian tertentu.”
Bagi Siswanto dan timnya, menyemai garam ke awan tak ubahnya menabur harapan di langit. Harapan akan hujan, akan udara bersih, akan langit yang tak lagi dipenuhi kabut asap seperti yang pernah menyelimuti Sumsel beberapa tahun lalu.
Namun upaya ini bukan kerja satu lembaga. Di belakang layar, ada sinergi multi-pihak: BMKG, BPBD, BNPB, TNI/Polri, Kementerian LHK, hingga perusahaan swasta. Semua bergerak demi satu tujuan: memastikan Sumsel tidak tenggelam dalam asap.
Kabid Kesiapsiagaan BPBD Sumsel, Sudirman, S.K.M., M.Si, menambahkan, keberhasilan OMC sangat tergantung pada faktor cuaca. “Semakin banyak awan, semakin besar peluang hujan. Tapi begitu awan menghilang, tak ada yang bisa kita semai.”
Karena itu, ia menekankan pentingnya kesiapsiagaan menyeluruh. Peningkatan patroli udara, penyempurnaan sistem peringatan dini, hingga pendekatan ke masyarakat menjadi kunci. “99 persen karhutla disebabkan oleh aktivitas manusia. Sisanya oleh alam. Artinya, pencegahan bisa dilakukan—asal semua sadar dan terlibat,” ujarnya.
Hotspot pun mulai terdeteksi. Di OKI, Ogan Ilir, bahkan di sekitar Tol Palembang–Prabumulih. Ini alarm nyata bahwa musim kemarau bukan waktu untuk lengah.
Lebih dari sekadar teknologi dan data, OMC juga bicara tentang urgensi kemanusiaan. Karhutla tak hanya soal lahan terbakar, tapi juga tentang kesehatan anak-anak, tentang mata pencaharian petani, tentang sekolah yang tutup karena kabut asap, dan tentang warga yang harus hidup dengan masker bahkan di dalam rumah.
“Masyarakat harus jadi garda depan,” tutur Sudirman. “Kalau melihat tanda-tanda kebakaran, segera lapor. Jangan tunda.”
Langit Sumsel mungkin tampak tenang hari ini. Tapi di baliknya, para penjaga cuaca terus mengejar hujan—dengan garam, dengan data, dan dengan harapan bahwa langit akan berpihak.
TEKS : YULI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI










