PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Di tengah deru kendaraan dan debu pembangunan Kota Palembang, Taman Wisata Alam Punti Kayu menyimpan ironi: hutan kota tropis seluas 50 hektare yang disebut-sebut sebagai paru-paru kota, tapi kerap tampak lebih mirip hutan yang sesak napas — terbengkalai, minim sentuhan, dan jauh dari ideal sebagai destinasi wisata unggulan.
Jumat (18/7/2025), Wakil Wali Kota Palembang, Prima Salam, hadir langsung dalam diskusi bersama Komisi IV DPR RI dan BKSDA Sumsel. Forum itu membahas ulang arah pengelolaan kawasan Punti Kayu, yang hingga kini belum sepenuhnya mampu memikul potensi ekologis, edukatif, dan ekonominya.
“Punti Kayu bisa luar biasa kalau dikelola secara profesional,” kata Prima dengan nada diplomatis. “Kalau memang nantinya dievaluasi dan ada arahan dari Kementerian, kita siap ikut serta dalam pengelolaannya — tentu lewat kerja sama dengan pihak ketiga.”
Tapi pertanyaannya: kenapa baru sekarang bicara soal ‘siap ambil alih’?
Potensi Besar, Tapi Dibiarkan “Bertumbuh Sendiri”
Punti Kayu bukan sekadar lahan pohon pinus. Ia adalah satu dari sedikit hutan kota tropis di Indonesia yang berada di dalam wilayah metropolitan. Sayangnya, seperti ditulis oleh Mongabay Indonesia (2022), kondisi fisik Punti Kayu cenderung memprihatinkan: jembatan kayu lapuk, kebersihan kurang terjaga, dan infrastruktur edukatif minim.
Bandingkan dengan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda di Bandung yang mampu menyulap ruang hijau menjadi destinasi edukasi dan konservasi yang hidup. Di sana, pengelolaan dilakukan kolaboratif: pemerintah, komunitas konservasi, dan sektor swasta.
Atau tengok ke Hutan Kota Srengseng di Jakarta Barat — yang kini dilengkapi lintasan jogging, danau edukatif, dan program belajar lingkungan bagi siswa-siswa sekolah. Artinya, keberhasilan pengelolaan bukan soal dana semata, tetapi soal arah kebijakan dan kemauan politik yang konsisten.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Selama ini, pengelolaan Punti Kayu berada di bawah koordinasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dengan pengelola pihak ketiga yang ditunjuk oleh Kementerian LHK. Namun, minimnya transparansi soal capaian kinerja, arah pengembangan, hingga pengelolaan retribusi, menjadi pertanyaan publik.
Wakil Wali Kota tidak menyebut secara rinci siapa pengelola saat ini dan bagaimana evaluasinya. Ia hanya menyatakan:
“Kalau pengelola lama masih bisa dipertahankan, ya kita tunggu sampai akhir kontraknya. Tapi kalau tidak, kita siap masuk, tentu dengan tetap mengikuti arahan Kementerian.”
Namun, transisi pengelolaan seperti ini harus berbasis data terbuka dan evaluasi menyeluruh. Tidak cukup hanya mengganti pengelola — jika pola pengelolaan tetap bersifat jangka pendek dan tidak partisipatif, maka wajah Punti Kayu akan tetap seperti sekarang: hutan yang sepi pengunjung, bukan karena sunyi, tapi karena tak dirawat.
Solusi: Buka Data, Libatkan Rakyat
Langkah pertama mestinya adalah: evaluasi terbuka pengelolaan Punti Kayu, baik dari sisi ekologis, ekonomis, maupun sosial. Selanjutnya, melibatkan komunitas lingkungan, LSM, akademisi, dan publik kota Palembang dalam merancang ulang masa depan taman ini.

Taman kota bukan sekadar tempat rekreasi. Ia adalah penanda kesadaran ekologis suatu kota. Jika dikelola secara kolaboratif dan transparan, Punti Kayu bisa jadi model nasional pengelolaan hutan kota tropis di kawasan urban.
Seperti yang dikatakan seorang pegiat lingkungan di Sumsel:
“Punti Kayu itu emas hijau. Tapi selama ini dibiarkan jadi karat. Ini bukan hanya soal pengelola, tapi soal paradigma kota terhadap ruang hidup rakyatnya.”
Dari sejumlah sumber yang dirangkum, beberapa pengamat wisata menyimpulkan, jika pemerintah daerah benar-benar ingin terlibat, maka keterlibatan itu harus dimulai dari pembukaan data dan audit total pengelolaan lama. “Dari sana, barulah bicara tentang pengembangan, mitra swasta, atau wisata digital. Karena tanpa transparansi dan partisipasi, Punti Kayu akan tetap jadi hutan kota yang terisolasi, bukan destinasi — tapi sekadar dekorasi,” ujarnya.
TEKS : ANDIKA WIJAYA | EDITOR : WARMAN PLUNTAZ









