Dua kapal nelayan disergap, satu awak luka tembak, satu kapal lainnya raib. Siapa yang harus bertanggung jawab atas peluru yang tak bertuan ini?
Sabtu siang, 12 Juli 2025. Langit di atas perairan Labuhan Pering, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, masih teduh ketika suara dentuman senjata memecah tenang lautan. Dentumannya tak hanya menggetarkan udara, tapi juga menghantam leher seorang nelayan muda asal Sungsang, Banyuasin, Sumatra Selatan.
Yogi Pratama (26), anak buah kapal (ABK) nelayan dari Lorong Sungai Benar, Desa Sungsang I, terkulai bersimbah darah. Sebuah proyektil berdiameter setengah sentimeter bersarang tepat di bawah jakunnya. Dari mulut kapal kecil yang biasa menjajakan cumi dan ikan hasil laut, Yogi berubah menjadi pasien darurat yang harus menempuh perjalanan panjang menuju Rumah Sakit AR-Rasyid Palembang.

Video peristiwa penembakan itu cepat tersebar. Isinya kacau: suara tembakan, teriakan panik, dan seseorang berteriak “Ado yang kena tembak!” sambil menunjukkan darah di leher korban.
Petaka dari Arah Tak Dikenal
Pagi itu, dua kapal pompong nelayan asal Sungsang tengah bersandar di kapal pengangkut besar untuk menjual hasil tangkapan. Aktivitas lazim nelayan pesisir. Namun, sebuah kapal berwarna abu-abu gelap — diduga milik militer laut — tiba-tiba mendekat, berputar balik, dan mengejar dua kapal kecil itu.
“Awalnya kami kira hanya patroli biasa. Tapi waktu kapal itu makin dekat, kami tancap gas. Takut ditangkap,” kata Rusdianto, saksi mata sekaligus kapten kapal. Yang menyusul adalah suara tembakan bertubi-tubi.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
Laut Sungsang, Peluru, dan Luka yang Tidak Bisa Pulang
Yogi, yang tak sempat berlindung, terkena peluru misterius. Sementara satu kapal pompong lainnya yang dikemudikan Sihak bersama tiga ABK lain: Aripin, Ipal, dan Gandar alias Sule — hingga berita ini diturunkan — belum diketahui keberadaannya.
Antara Peluru dan Penyesalan
Dalam keadaan lemas dan kehausan, Yogi baru mendapat perawatan medis di Klinik dr. Mandra pukul 20.00 WIB malam. Itu artinya hampir 7 jam ia bertahan dalam kondisi sekarat di laut. Dari hasil pemeriksaan awal, luka di leher itu bukan dari peluru tajam, melainkan proyektil tumpul — tak tembus, tapi cukup untuk membuatnya koma saat dilarikan ke RS AR-Rasyid. Operasi darurat dilakukan lewat tengah malam.
Keajaiban datang: Yogi selamat.
Dua hari pascaoperasi, Selasa (15/7), ia dipulangkan. Bukan dengan angkutan umum, melainkan ambulans resmi milik Danlanal Palembang. Menurut keluarganya, seluruh biaya operasi dan evakuasi ditanggung pihak Polisi Militer Angkatan Laut.
“Alhamdulillah, kami sangat berterima kasih kepada semua pihak yang membantu. Terutama kepada Pomal AL Palembang yang membiayai semua perawatan Yogi,” ucap Ita Rosita, bibi korban.

Lebih lanjut, keluarga mengonfirmasi bahwa oknum dan kapal yang melakukan penembakan sudah diamankan dan dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Siapa pelakunya, dari kesatuan mana, belum dijelaskan secara resmi.
Apa yang Sebenarnya Terjadi di Laut?
Laut bukan sekadar tempat mencari ikan. Ia juga ruang ketegangan geopolitik, ruang patroli militer, dan tempat berkeliarannya kekuatan bersenjata yang kadang tak mengenali nelayan sebagai bagian dari warganya sendiri.
Penembakan kapal nelayan bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Namun minimnya informasi dan transparansi membuat kasus-kasus serupa kerap lenyap ditelan ombak.
Apakah ini hanya salah prosedur komunikasi lapangan? Apakah ada kecurigaan intelijen yang keliru? Atau kelalaian yang menimbulkan luka permanen?
Kepala Desa Sungsang I, aparat Polsek dan Ditpolairud Sumsel hingga Himpunan Nelayan Indonesia turut meminta agar insiden ini tidak sekadar berhenti di ucapan maaf dan kompensasi. “Kami ingin ada penyelidikan menyeluruh. Nelayan butuh rasa aman di laut,” ujar Darmawan, ayah Yogi.
Satu Kapal Masih Hilang
Yang lebih mencemaskan dari luka Yogi adalah kabar yang tak kunjung jelas dari satu kapal pompong lainnya. Sihak dan rekan-rekannya belum kembali, belum terhubung, belum terlihat.
“Entah ditahan, entah terdampar, kami tak tahu. Kami hanya ingin mereka selamat dan dipulangkan,” ujar Rusdianto, matanya masih terlihat lelah saat ditemui di dermaga Sungsang.
Harapan dari Pesisir
Kini, Yogi kembali ke rumahnya di lorong kecil yang lengket dengan bau laut. Luka di lehernya masih dibalut. Trauma masih mengendap. Tapi rasa syukur meluber karena hidupnya masih berlanjut.

Keluarganya masih menunggu kabar resmi. Warga Sungsang masih menanti kebenaran. Nelayan lain masih bertanya: apakah perairan ini masih layak disebut rumah?
Tembakan di Labuhan Pering bukan sekadar letusan senapan. Ia menyisakan gema panjang tentang tanggung jawab, keamanan laut, dan nyawa rakyat kecil yang kerap tak tercatat dalam jurnal strategi militer.
Dan jika benar kapal yang menembak itu adalah bagian dari armada kita sendiri, maka luka itu bukan hanya di leher Yogi, tapi di tubuh bangsa yang seharusnya menjaga, bukan melukai anaknya sendiri.
Hingga saat ini, awak media masih menunggu konfirmasi resmi dari TNI AL dan pihak berwenang terkait hasil investigasi internal dan status para ABK yang belum kembali.
TEKS : HAMKAH (SUNGSANG) | EDITOR : IMRON SUPRIYADI