
Ada yang menarik dari kota ini. Bukan karena adanya kereta api listrik atau taman-taman estetik untuk selfie, tapi karena mulai bermunculan kembali suara rakyat yang tidak hanya ingin didengar saat pemilu. Mereka tidak datang dengan banner partai. Tidak juga mengusung proposal. Tapi membawa suara nurani yang tulus: menyampaikan aspirasi rakyat kepada wakilnya.
Namanya Baratayudha.
Satu gerakan masyarakat sipil yang sedang menyusun langkah penting: menemui fraksi-fraksi di DPRD Kota Palembang. Bukan sekadar silaturahmi politik. Tapi sebuah upaya untuk mengingatkan bahwa kebijakan publik bukan milik penguasa semata—melainkan tanggung jawab bersama. Rakyat berhak tahu, rakyat wajib mengawal.
Baratayudha tidak datang dengan toa dan pengeras suara. Tidak juga menutup jalan sambil memecahkan pot bunga.
Saya tahu persis rasanya. Karena saya pernah berada di seberangnya.
Tahun 2002, saat saya memimpin aksi bersama 1.500 tukang becak, suasana pecah. Saat itu Wali Kota Palembang masih dijabat Eddy Santana Putra. Massa marah. Dua mobil—satu milik Kodam, satu lagi milik Polresta—dirusak. Bentrokan tak terelakkan. Saya, sebagai koordinator aksi, ditetapkan sebagai tersangka dan harus mendekam di penjara untuk beberapa waktu.
Itulah risiko yang pernah saya tanggung. Dan itu juga luka yang saya bawa sebagai pelajaran hidup. Kisah lengkapnya masih tersimpan dalam arsip media nasional, salah satunya di Liputan6.com: 👉 Perang Batu di Palembang, Dua Tersangka Ditetapkan (2002)
Aksi yang semula dilandasi semangat keadilan berubah menjadi kisruh. Ketika jalan dialog tak dibuka, yang keluar adalah batu, amarah, dan luka.
Hari ini, Baratayudha datang dengan jalan yang berbeda. Bukan lagi dengan massa yang membakar ban, tapi dengan agenda resmi. Surat audiensi. Komunikasi lembut.
Mereka datang ke Fraksi Demokrat, diterima. Ke Fraksi PAN, diterima. Ke Fraksi PKS, serta Fraksi PKB dan NasDem belum memberikan konfirmasi, meski surat permohonan audiensi telah dikirim sejak tiga minggu lalu. Tapi Baratayudha tak kehilangan adab. Mereka tetap mengetuk. Menunggu dengan sabar.
Karena mereka tahu, rakyat tidak bisa memaksa. Tapi rakyat berhak untuk terus menyuarakan.
Era Ratu Dewa–Prima Salam Sedang Berjalan, Kini Saatnya Rakyat Mengawal
Palembang kini dipimpin pasangan Wali Kota Ratu Dewa dan Wakil Wali Kota Prima Salam. Periode baru telah berjalan beberapa waktu. Janji-janji kampanye akan diuji di rapat-rapat anggaran. Dan rakyat harus menjadi bagian dari ujian itu.
Baratayudha hadir bukan untuk mengintervensi. Mereka bukan lawan politik. Bukan ormas berkepentingan. Mereka hanya ingin memastikan: bahwa setiap kebijakan yang lahir dari meja Pemkot, benar-benar bersumber dari kebutuhan rakyat, bukan hanya selera elite.
Dan saya percaya, pemimpin yang baik bukan yang hanya pintar bicara di mimbar. Tapi yang mau duduk satu meja, mendengar suara paling lemah, dan membuka ruang koreksi.
Kota ini tidak butuh pemimpin yang sempurna. Tapi pemimpin yang terbuka. Dan rakyat yang bertanggung jawab.
Kalau Semua Seperti Baratayudha
Bayangkan, jika seluruh komunitas sipil di Palembang meniru cara Baratayudha. Dialogis. Santun. Konsisten. Maka DPRD tidak akan pernah berani bermain-main dengan anggaran. Pemkot tidak akan semena-mena menetapkan program yang tidak menyentuh rakyat bawah. Karena rakyat akan selalu hadir, tidak hanya dalam angka survei, tapi dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.
Dan itulah demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang hidup dari percakapan. Dari ketukan pintu yang tulus. Bukan dari bentrokan dan retorika kosong.
Baratayudha bukan massa bayaran. Mereka tidak mengancam, tidak merusak. Mereka mengingatkan bahwa keadilan sosial tidak akan hadir kalau rakyat memilih diam. Bahwa kebijakan publik adalah warisan kolektif yang harus dijaga. Dan bahwa semua pejabat adalah pelayan, bukan penguasa.
Baratayudha: Dari Luka ke Laku
Saya melihat Baratayudha sebagai simbol perubahan pendekatan gerakan rakyat. Dari aksi destruktif ke aksi dialogis. Dari bentakan ke bisikan. Dari batu ke bahasa.
Saya tahu rasanya memimpin amarah. Tapi saya juga tahu lebih indah saat kita bisa memimpin kesadaran. Baratayudha bukan hanya menuntut. Mereka datang menawarkan partisipasi.
Dan itu jauh lebih menyejukkan.
Karena kota ini sudah kenyang dengan propaganda. Sudah terlalu lama hidup dengan janji. Kini waktunya rakyat ikut serta menulis paragraf-paragraf kebijakan. Menjadi tinta dalam keputusan, bukan hanya objek dampaknya.
Antara Konsistensi dan Kursi Kekuasaan
Harapan saya, Baratayudha akan tetap konsisten mengawal demokrasi. Tetap dalam ruh yang murni, bahkan ketika—kalau Tuhan mentakdirkan—kelak ada di antara mereka yang duduk di kursi parlemen.
Jangan kemudian menjadi “macan ompong”. Jangan seperti ular yang kekenyangan makan sapi, dan akhirnya tak bisa bergerak. Jangan menjadi “aktivis sogokan”—yang demo di awal, deal di belakang, lalu diam seribu bahasa karena sudah merasa nyaman dalam zona empuk kekuasaan.
Kalau Baratayudha kemudian berubah seperti gerakan masyarakat sipil yang mandeg karena harus menunggu funding, atau diam karena anggotanya sudah jadi anggota dewan yang terbungkam oleh tumpukan amplop, maka jangan salahkan saya… jangan salahkan siapa-siapa… kalau peristiwa tahun 2002 itu harus terulang kembali.
Tapi saya yakin, Baratayudha tidak seperti itu. Insya Allah, mereka tidak sedang membangun gerakan untuk karir. Tapi untuk nurani. Untuk masa depan anak-anak kita. Untuk Palembang yang tak cuma layak huni, tapi juga layak dicintai.
Karena perjuangan yang berkonotasi materi hanya akan berakhir di atas meja dan kursi. Tapi perjuangan yang disulut oleh nurani… akan abadi, dan semoga mendapat ridha serta kawalan Ilahi. Aamiin.**
Palembang-Sidogiri (Jatim) 8 Juli 2025