368 Jemaah Haji Palembang Pulang, 2 Lainnya Tinggal, Syafitri Irwan : Semoga Husnul Khotimah

Dua nama tinggal di Makkah, bukan karena tertinggal, tapi karena disemayamkan.

PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET — Jumat pagi itu, 13 Juni 2025, pintu kedatangan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II kembali menjadi tempat pertemuan air mata, peluk haru, dan rindu yang tak terbendung. Dari jantung kota Palembang, 368 orang jamaah haji Kloter I Embarkasi Palembang tiba setelah lebih dari sebulan melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci. Mereka berasal dari Ogan Komering Ulu Timur—daerah di pedalaman Sumatra Selatan yang warganya menyimpan mimpi spiritual dalam kalender bertahun-tahun.

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumsel, Dr H Syafitri Irwan, S.Ag, M.Pd.I

Tapi tidak semuanya kembali. Dua nama tinggal di Makkah, bukan karena tertinggal, tapi karena disemayamkan. Sugito Adi Harjo (85), dan Muhammad Ali Djalan (69), berpulang di tanah yang diyakini sebagai tempat terkabulnya doa-doa terakhir. “Insya Allah, husnul khatimah,” kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumsel, Dr H Syafitri Irwan, S.Ag, M.Pd.I, dalam sambutan formal yang ia sampaikan dengan suara yang mencoba terdengar tabah.

Dua dari 370 orang yang berangkat tak kembali. Itu angka kecil dalam statistik, tapi di banyak rumah, itu berarti satu kursi kosong, satu sajadah yang tak lagi dibentangkan. Hingga hari itu, 13 orang jamaah dari Embarkasi Palembang tercatat meninggal dunia: empat dari OKU Timur, tiga dari Palembang, dua dari OKU, dan empat dari Bangka Belitung.

“Saya mewakili seluruh panitia mengucapkan duka cita,” ujar Syafitri, sembari mengutip bahwa semua ahli waris akan mendapatkan hak asuransi. Yang wafat karena sakit mendapat penggantian senilai Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih), yang wafat karena kecelakaan mendapat dua kali Bipih. “Dan ada asuransi extra cover dari Saudi Arabian Airlines bagi yang wafat di pesawat. Besarnya Rp130 juta.” Kematian, dalam sistem haji modern, punya nilai tukar.

Tapi pagi itu bukan hanya tentang duka. Juga ada kebahagiaan yang tenang, seperti embusan angin dari lembaran paspor yang dicap stempel akhir. Para tamu Allah disambut Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Selatan, Edward Candra. Dengan gaya khas pejabat sipil, ia menabur doa dan ucapan selamat. “Insya Allah, bapak-ibu membawa predikat haji mabrur,” katanya, “dan membawa keberkahan bagi Sumatera Selatan yang kita cintai.”

Ucapan itu terdengar familiar—satu dari ribuan kalimat seremonial yang selalu mengiringi kepulangan haji saban tahun. Tapi di antara lautan kepala yang menunduk khidmat, ada wajah-wajah letih yang tampak menyimpan banyak cerita: tentang panas 50 derajat di Arafah, tentang berebut tempat tawaf, tentang miqat yang tak selalu jelas, dan tentu, tentang rindu rumah yang tak bisa disembunyikan dari mata.

Pemerintah Provinsi Sumsel menyebut mereka akan terus memperbaiki pelayanan haji. Kata “sinergi” kembali dilemparkan ke panggung retorika. Tapi di lapangan, para petugas haji lah yang menjadi benteng sebenarnya. Dari keberangkatan hingga pulang, dari cek kesehatan hingga pencarian koper yang tertukar, merekalah yang menjadi tameng dan pelipur.

“Mudah-mudahan semua itu jadi amal,” kata Edward. Dan di antara banyak wajah tua yang kembali, sebagian memang hanya ingin satu hal: pulang dengan tenang. Tidak untuk dipuja, tidak untuk diburu wartawan, tidak pula untuk dipolitisasi.

Hari itu, 368 orang kembali ke rumahnya masing-masing. Dua tidak. Tapi mungkin, bagi yang percaya, mereka justru telah pulang lebih dulu—ke rumah paling sunyi, dan paling damai.

Catatan Redaksi:
Data kematian jemaah dan informasi asuransi telah dikonfirmasi kepada Kementerian Agama Sumatera Selatan. Proses pemulangan jemaah haji berikutnya dijadwalkan berlangsung hingga pertengahan Juli 2025.

KONTRIBUTOR : BAGUS SANTOSA (JAKARTA)  | EDITOR : IMRON SUPRIYADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait