
Senin siang itu, 3 Februari 2025, sebuah pemandangan yang jarang terjadi hadir di lantai kerja Kementerian Agama Sumatera Selatan. Di tengah tumpukan berkas negara dan surat dinas yang menunggu tanda tangan, datanglah iring-iringan kecil komunitas mobil Honda Brio Community (HBC) Palembang.
Mereka tidak datang membawa proposal hibah atau permintaan izin acara keagamaan. Mereka datang dengan sebuah penghargaan: bentuk apresiasi terhadap Kepala Kantor Wilayah Kemenag Sumsel, Dr. Syafitri Irwan, yang mereka anggap memiliki kepedulian terhadap tertib lalu lintas dan kehidupan komunitas otomotif.
Bagi kami di Kementerian Agama Sumsel, penghargaan ini lebih dari sekadar simbol. Ia adalah pengingat bahwa ruang publik kita—jalan raya, trotoar, rambu lalu lintas—adalah bagian dari peradaban yang harus dijaga. Jalan raya adalah tempat bertemunya ribuan individu setiap hari: sopir, pelajar, pekerja, pedagang kaki lima, aparat. Ketertiban di sana bukan sekadar urusan polisi lalu lintas, tetapi urusan kita bersama.
Mengapa Kemenag Bicara Soal Lalu Lintas?
Sebagian orang mungkin bertanya: mengapa Kementerian Agama bicara soal tertib lalu lintas? Bukankah itu domain Dinas Perhubungan atau Kepolisian? Jawaban kami sederhana: agama tidak mengenal batas sektoral. Nilai-nilai agama mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk etika di jalan raya.
BACA ARTIKEL LAINNYA :
Dalam perspektif Islam, misalnya, ada konsep hablum minallah (hubungan vertikal dengan Tuhan) dan hablum minannas (hubungan horizontal dengan sesama manusia). Keduanya tidak bisa dipisahkan. Taat beribadah tetapi abai pada keselamatan orang lain adalah bentuk ketimpangan etika. Berkendara dengan tertib, menghormati pengguna jalan lain, tidak menerobos lampu merah, semua itu bagian dari ibadah sosial yang bernilai di mata Tuhan.
Seperti diingatkan Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam banyak tulisannya, hukum bukan hanya aturan kaku, melainkan instrumen peradaban. Taat hukum berarti menjaga tertib sosial. Begitu pula taat lalu lintas: ia bukan sekadar mematuhi pasal-pasal UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tetapi juga menjaga nyawa manusia, menjaga ketertiban umum, dan menciptakan harmoni di ruang publik.
Lalu Lintas sebagai Ruang Ibadah Sosial
Bagi kami di Kemenag Sumsel, jalan raya adalah “masjid terbuka” dalam arti metaforis: tempat kita diuji kesabaran, kejujuran, dan empati. Banyak kecelakaan lalu lintas terjadi bukan karena jalan rusak, tetapi karena perilaku manusia: ugal-ugalan, melanggar batas kecepatan, bermain ponsel saat mengemudi.

Komunitas Honda Brio yang datang ke kantor kami justru membawa semangat berbeda. Mereka menunjukkan bahwa klub mobil bukan hanya ajang pamer mesin, tetapi juga wadah pendidikan keselamatan berkendara, penggalangan dana sosial, dan kampanye tertib lalu lintas. Bagi kami, ini adalah teladan: organisasi masyarakat sipil yang mengambil peran positif di ruang publik.
Dimensi Vertikal: Ketaatan kepada Tuhan
Dalam konteks vertikal (hablum minallah), tertib lalu lintas adalah wujud kepatuhan kita pada nilai moral agama. Al-Qur’an dan hadis mengajarkan untuk tidak berbuat dzalim (melanggar hak orang lain). Di jalan raya, dzalim bisa berarti menghalangi jalan ambulans, menerobos lampu merah sehingga mencelakakan orang lain, atau memarkir kendaraan sembarangan hingga mengganggu pengguna jalan.
Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian duduk di jalanan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami perlu duduk di jalanan untuk berbincang.” Nabi menjawab, “Jika kalian tidak bisa menghindarinya, maka berikan hak jalan: tundukkan pandangan, jangan ganggu, balas salam…” (HR. Bukhari-Muslim). Hadis ini menunjukkan betapa seriusnya Islam mengatur etika ruang publik, termasuk jalan raya.
Ketika kita menaati rambu lalu lintas, memberi jalan pada pejalan kaki, menghindari klakson berlebihan, sesungguhnya kita sedang menunaikan hak-hak sesama manusia sesuai ajaran agama. Ini bukan sekadar etiket sosial, tetapi ibadah.
Dimensi Horizontal: Tanggung Jawab terhadap Sesama
Dalam konteks horizontal (hablum minannas), tertib lalu lintas adalah bentuk tanggung jawab sosial. Setiap hari ribuan orang bergantung pada keselamatan jalan raya untuk bekerja, bersekolah, dan beribadah. Satu pelanggaran kecil dapat menimbulkan tragedi besar.
Kemenag Sumsel memandang bahwa komunitas otomotif seperti Honda Brio Community dapat menjadi pionir edukasi publik. Melalui kegiatan sosial, pelatihan keselamatan, dan kampanye publik, mereka membantu menurunkan angka kecelakaan dan menciptakan budaya baru di jalan raya: budaya menghargai nyawa dan waktu orang lain.
Negara dan Masyarakat Berjalan Bersama
Dalam sistem hukum nasional kita, tertib lalu lintas bukan hanya kewajiban moral tetapi juga kewajiban hukum. Undang-undang telah mengatur hak dan kewajiban pengguna jalan. Namun hukum hanya efektif bila didukung budaya patuh masyarakat. Di sinilah sinergi antara negara dan masyarakat sipil menjadi penting.
Kemenag Sumsel menyambut baik komunitas-komunitas yang tidak hanya sibuk di dunia hobi, tetapi juga peduli pada isu publik. Mereka adalah mitra negara dalam menciptakan peradaban. Ini sejalan dengan konsep civil society yang menjadi salah satu tiang demokrasi.
Mengembalikan Etika sebagai Fondasi
Kita sering lupa bahwa etika adalah fondasi sebelum lahirnya hukum positif. Di banyak negara maju, lalu lintas tertib bukan semata karena polisi banyak, tetapi karena masyarakat punya kesadaran moral yang tinggi. Mereka melihat lampu merah bukan sebagai penghalang, tetapi sebagai kesepakatan bersama demi keselamatan.
Kemenag Sumsel ingin mendorong kesadaran ini melalui jalur pendidikan agama, khutbah, majelis taklim, hingga pesantren. Kami percaya nilai agama dapat menjadi “rem batin” yang lebih ampuh daripada sanksi administratif. Jika kita bisa menanamkan kepada generasi muda bahwa mematuhi lalu lintas adalah ibadah dan tanggung jawab sosial, maka budaya tertib akan tumbuh lebih kuat.
Dari Jalan Raya Menuju Jalan Peradaban
Pertemuan kami dengan Honda Brio Community Palembang memberi inspirasi bahwa jalan raya adalah cermin peradaban kita. Bagaimana kita bersikap di jalan adalah refleksi bagaimana kita bersikap dalam kehidupan berbangsa. Ugal-ugalan di jalan adalah gejala egoisme sosial; tertib di jalan adalah tanda kedewasaan kolektif.
Dalam bahasa Prof. Yusril Ihza Mahendra, hukum adalah sarana rekayasa sosial yang bertujuan membentuk masyarakat adil dan beradab. Maka taat lalu lintas adalah bagian dari proses itu: membentuk masyarakat yang disiplin, menghargai hak orang lain, dan sadar akan batasan diri.
Ajakan untuk Semua
Melalui opini ini, Kemenag Sumsel ingin mengajak seluruh pihak: pemerintah daerah, komunitas otomotif, lembaga pendidikan, hingga masyarakat umum untuk bersama-sama menjadikan jalan raya lebih aman, tertib, dan manusiawi.
Beberapa langkah yang bisa kita lakukan:
- Edukasi Berkelanjutan – Integrasikan materi etika berlalu lintas dalam pendidikan agama di madrasah dan sekolah.
- Teladan Pejabat Publik – Pejabat publik harus menunjukkan contoh nyata dalam berkendara.
- Kolaborasi Komunitas – Dukung komunitas otomotif yang memiliki program sosial dan keselamatan.
- Kampanye Kreatif – Gunakan media sosial dan ruang publik untuk menyebarkan pesan tertib lalu lintas dengan bahasa yang mudah dipahami generasi muda.
Dari Brio ke Birokrasi
Kedatangan komunitas Honda Brio ke kantor kami adalah simbol bahwa birokrasi dan komunitas jalanan dapat bertemu. Bahwa tidak ada tembok tinggi antara hobi dan kebijakan publik. Dan bahwa di balik mesin kecil yang berdengung di jalanan kota, ada kepedulian sosial yang besar.
Kami di Kementerian Agama Sumsel berkomitmen menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan moral bagi ketertiban lalu lintas. Karena kami percaya, membangun bangsa bukan hanya tentang gedung megah dan proyek besar, tetapi juga tentang membentuk karakter warga negara yang menghargai aturan, nyawa, dan waktu orang lain.
Semoga langkah kecil ini menjadi awal dari gerakan besar: menjadikan jalan raya kita lebih tertib, lebih aman, dan lebih beradab. Sebab di jalan raya, kita bukan sekadar pengemudi atau pejalan kaki. Kita adalah warga negara, kita adalah umat beragama, dan kita adalah manusia yang saling terikat dalam simpul tanggung jawab sosial.**
Palembang, 4 Februari 2025