Laporan: Imron Supriyadi (Eks LPM Ukuwah IAIN RF Palembang)
Helipad Gedung Kesenian Putri Dayang Rindu malam itu berubah menjadi ruang pertemuan sederhana. Tikar digelar, lampu-lampu temaram, musik keroncong mengalun pelan. Di antara kerumunan itu, anak-anak muda, para penggiat seni, beberapa budayawan, dan warga Muara Enim duduk lesehan. Mereka menunggu layar putih di depannya menampilkan potongan kehidupan masyarakat Semende.
Film dokumenter Mother Earth: Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang diputar, Senin malam (3/11/2025). Acara itu digelar Solidaritas Pegiat Seni (SPS) Muara Enim sebagai bagian dari upaya menyemarakkan kembali pembentukan Dewan Kesenian Kabupaten.
Yang menarik, film itu bukan lahir dari sekolah film. Sutradaranya, Muhammad Tohir, anak UIN Raden Fatah Palembang. Kampus yang lebih sering diasosiasikan dengan kajian agama, filsafat, dan hukum syariah.

Tidak banyak yang menyangka, dari koridor kampus itu, lahir film dokumenter yang mendapat dukungan Kementerian Kebudayaan melalui LPDP dan Dana Indonesia.
“Ini bukti bahwa anak UIN juga bisa membuat film yang berbicara pada level nasional,” ujar Ihsanul Fikri, koordinator kegiatan, yang sejak awal mendorong pemutaran film ini di Muara Enim.
Perempuan sebagai Penjaga Pangan
Mother Earth tidak hanya bercerita. Ia mengamati, mendengarkan, lalu menegaskan kembali sesuatu yang nyaris hilang dalam kesibukan pembangunan: peran perempuan Semende sebagai penjaga rumah, sawah, dan kesinambungan pangan.
Sistem adat Tunggu Tubang menempatkan perempuan sebagai pewaris rumah pusaka. Dari sanalah perjalanan spiritual, ekonomi, dan sosial keluarga dijaga. Nilai yang tampak sederhana, tetapi sesungguhnya adalah sistem ekologis yang matang.
“Tradisi ini bukan sekadar adat. Ini model ketahanan pangan yang lahir dari pengalaman panjang manusia hidup bersama alam,” ujar Ahmad Rizki Prabu, salah satu produser film dan anggota Komunitas Ghompok Kolektif Palembang.
Proses pembuatan film memakan waktu hampir setahun, dengan melibatkan sekitar 20 kru. Semuanya bekerja lintas disiplin. Tidak ada latar belakang akademik film yang mapan. Yang ada juga kepekaan, rasa ingin tahu, dan keberanian masuk ke ruang sosial masyarakat Semende.
Dari Palembang ke Panggung Nasional
Film ini sebelumnya diputar perdana dalam acara Diseminasi Film di UPT Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang. Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumsel bahkan mengaitkan film ini dengan agenda besar: pengusulan Tunggu Tubang sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) 2026.
“Film ini memperkuat argumen budaya kita. Ada napas adat yang masih hidup, tidak sekadar arsip,” kata Dian Permata Suri, Kepala Seksi Nilai Budaya dan Bahasa Daerah.
Di ruang pemutaran itu, Tohir hanya tersenyum kecil. Ia tahu, keberhasilan film ini bukan perkara estetika kamera saja, melainkan kemampuan mendekat dan dihormati oleh masyarakat yang menjadi narasumbernya.
“Ada yang bilang membuat film itu soal teknik. Mungkin. Tapi dalam film dokumenter, yang paling penting adalah kepercayaan,” ujarnya pelan.
Muara Enim Mencari Rumah Kesenian
SPS Muara Enim sengaja memilih pemutaran film ini sebagai momentum.
“Film ini mengingatkan kita, identitas itu tidak datang dari pembangunan gedung tinggi, tetapi dari apa yang kita rawat,” kata Ihsanul Fikri.
Pembentukan kembali Dewan Kesenian sedang diupayakan. Film ini menjadi ruang temu: seniman duduk bersama pemerintah daerah, mengingatkan bahwa kesenian bukan pelengkap acara seremonial, tetapi bagian dari jati diri masyarakat.
Malam itu, Eliana—salah satu Tunggu Tubang yang hadir—mengakhiri diskusi dengan kalimat pendek yang membuat seluruh ruang hening.
“Warisan itu bukan sekadar untuk diingat. Ia harus dijaga. Kalau tidak, ia akan hilang.” **













