Muaraenim | KabarSriwijaya.NET — Pagi baru saja menguapkan embun. Di Lapangan yang berada persis di belakang Masjid Agung Muaraenim, sisa keramaian Jalan Santai Hari Santri Nasional (HSN) ke-11 tahun 2025 masih terasa.
Para peserta sibuk menunggu undian door prize, sebagian lain menepi mencari teduh. Panitia mulai bersiap melanjutkan agenda: lomba Syarofal Anam dan Hadroh — dua kesenian Islam tradisional yang menjadi denyut nadi pesantren-pesantren di Muara Enim.
Seperti biasa, sebelum lomba dimulai, salah satu dewan juri naik ke panggung untuk menjelaskan mekanisme dan kriteria penilaian. Namun pagi itu, suasana berubah menjadi tak biasa.
Adalah H. Jumali, S.Ag., seniman senior sekaligus qori dan pegiat hadroh, yang tiba-tiba melontarkan pernyataan mengejutkan. Dengan suara lantang dari atas panggung, ia “menggugat” kebijakan anggaran daerah.
“Mohon izin, Pak Bupati atau yang mewakili,” ucapnya, menatap ke arah Staf Ahli Bupati Muara Enim, Juli Jumantun Nuri, dan Ketua PCNU Kabupaten Muara Enim, H. Ahmad Mujtaba, S.E., S.Th.I yang duduk di barisan samping kiri panggung.
“Selama ini, dalam APBD Muara Enim, anggaran kesenian baru mencakup Qasidah Rebana. Sementara Syarofal Anam dan Hadroh belum tersentuh. Kami berharap ke depan, seni-seni Islam ini juga mendapat alokasi dana, agar keadilan seni di Muara Enim bisa lebih merata.”
Suasana mendadak riuh. Sejumlah penonton dan dewan juri lain bertepuk tangan. Dari sudut panggung belakang, Kiai Abdul Madjid, seniman kaligrafi dan musik gambus, tampak paling keras memberikan aplaus—dua tangannya terangkat tinggi di atas kepala.
“Yang di-APBD selama ini memang baru qasidah rebana,” kata Kiai Madjid kepada redaksi Kabarsriwijaya.NET saat jeda makan siang.
“Jadi apa yang disampaikan Pak Jumali itu bukan keluhan pribadi. Itu suara banyak pelaku seni Islam yang belum diakomodasi.”
“Gugatan” dari Panggung Santri
Ujaran H. Jumali tak bisa dibaca sekadar interupsi spontan. Ia mencerminkan kegelisahan yang lebih dalam: kesenian Islam di Muara Enim tumbuh tanpa dukungan kebijakan yang memadai.
Kegiatan seperti Syarofal Anam dan Hadroh bukan sekadar hiburan. Dalam tradisi pesantren, ia adalah medium dakwah, ruang ekspresi religius, dan sekaligus wadah pembentukan karakter santri. Namun di mata kebijakan publik, bentuk seni ini sering tak dianggap “strategis” dalam struktur anggaran.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
- Menyongsong Hari Santri di Bumi Serasan Sekundang
- Jalan Santai Hari Santri Nasional di Muara Enim
- Puncak Hari Santri Nasional ke-11 di Muara Enim Akan Dimeriahkan Tabligh Akbar
- Menanam Nada, Mengalahkan Kolonial Lagu Hadroh
Mas Jumali, begitu ia akrab disapa, sudah puluhan tahun menjadi pelatih dan juri di berbagai lomba hadroh tingkat kabupaten. Ia tahu betul, dari mana suara dan semangat kesenian itu bertumbuh: bukan dari anggaran besar, tapi dari gotong royong dan ketulusan para pegiatnya.
“Mereka latihan di langgar, pakai alat seadanya,” katanya suatu kali dalam percakapan lama. “Tapi semangatnya besar. Yang kurang itu hanya perhatian dari pemerintah.”
Nada Lembut, Isyarat Keras
Ketua PCNU Muara Enim, H. Ahmad Mujtaba, S.E., S.Th.I, yang hadir di lokasi, memilih merespons dengan nada sejuk. Dalam sambutan pembuka lomba, ia justru mengajak para peserta menata niat.
“Ikut lomba ini bukan semata mencari kemenangan,” ujarnya. “Tapi mencari barokah dan menggali potensi seni Islam agar tetap hidup di Muara Enim.”
Meski kalimatnya diplomatis, konteksnya menguatkan pesan yang sama: perlunya ruang lebih besar bagi seni Islam di ranah kebijakan publik.
Sementara itu, Juli Jumantun Nuri, mewakili Pemerintah Kabupaten Muara Enim, menyambut baik antusiasme para peserta. Ia berjanji bahwa aspirasi dari lapangan akan menjadi bahan pertimbangan ke depan.
“Kegiatan ini membuktikan masyarakat memiliki kepedulian tinggi terhadap seni hadroh dan syarofal anam,” katanya. “Kreativitas semacam ini layak didukung, agar budaya Islam terus lestari dan berkembang.”
Antara Simbol dan Kritik
Dalam sejarahnya, kesenian Islam seperti Syarofal Anam dan Hadroh lahir dari perpaduan nilai spiritual dan tradisi lokal. Ia bukan sekadar pertunjukan, tapi simbol kehidupan religius masyarakat bawah. Ketika seni semacam ini tak masuk dalam perencanaan anggaran, maka yang absen bukan hanya dana, tapi juga pengakuan terhadap identitas budaya Islam di daerah.
“Gugatan” H. Jumali hari itu barangkali sederhana, hanya kalimat di sela acara lomba. Tapi dalam konteks kebijakan publik, ia seperti mengetuk pintu yang lama tertutup.
Seni, Santri, dan Anggaran
Peristiwa kecil di panggung Hari Santri Nasional itu mengingatkan kembali pada satu hal: bahwa seni dan politik anggaran tak pernah benar-benar terpisah. Dalam konteks Muara Enim, “gugatan” Jumali adalah refleksi dari keresahan lama yang nyaris tak pernah diucapkan secara terbuka.
Seni Islam masih dianggap pinggiran—dipuja di panggung, tapi dilupakan dalam perencanaan. Dan barangkali, di situlah keberanian Jumali menjadi penting: ia menunjukkan–bahkan di tengah lomba sederhana, suara masyarakat bisa menjadi kritik yang tajam namun santun.
Di panggung Hari Santri Nasional ke-11 itu, suara hadroh belum tentu lebih keras dari toa kampanye. Tapi pagi itu, satu kalimat dari seorang seniman senior hadroh telah menyalakan kembali percakapan lama: tentang siapa yang berhak disebut penjaga budaya di negeri yang katanya beriman ini.
TEKS / FOTO : IMRON SUPRIYADI