
Di antara hiruk pikuk Palembang yang kian padat, di sebuah rumah sederhana di Talang Aman, lelaki bernama Yosep Suterisno—yang akrab disapa Yies di kampung halamannya, Pelita Sari, Muara Enim—masih tekun menyusun naskah teater.
Usianya sudah melewati separuh abad, tapi semangatnya tetap seperti remaja yang baru mengenal panggung.
“Teater bukan sekadar akting,” ujarnya suatu sore, “tetapi tentang bagaimana kita memahami hidup.”
Perjalanan Yosep menapaki dunia teater bukan datang dari ruang akademik atau panggung besar.
Ia lahir di tengah kesederhanaan, di sebuah langgar kecil bernama Al-Amin, tempat ia belajar membaca Al-Qur’an dan mulai mengenal ekspresi panggung. Dari langgar itulah, bakat dan rasa ingin tahunya tentang seni tumbuh.
Awal Langkah dan Pertemuan yang Mengubah Arah
Di masa kelas IV SD, perjumpaannya dengan Zulfarshah, alumnus Jakarta yang dikenal serbabisa dalam dunia seni, menjadi titik balik.
Namun, perjumpaan itu hanya sebentar. Kak Zul—sebutan Yosep pada seniornya itu—harus kembali ke Jakarta, hingga membuat Yosep kian sepi-menanti kedatangan Kak Zul ke Muaraenim.
Penantian panjang itu kemudian terjawab ketika kemudian, Kak Zul—kembali lagi dan menetap di Muaraenim
Di bawah bimbingan Zulfarshah, Yosep remaja tampil dalam drama perdananya, Kisah Cinta Awal dan Mirah. “Saya gugup sekali,” kenangnya, “tapi dari situ saya tahu bahwa teater bukan permainan biasa.”
Masa SLTA, Yies duduk di bangku SMEAN I Muara Enim. Di sini menjadi ajang pembuktian bagi pria kelahiran Muaraenim, 12 Januari 1968 ini.
Suami dari Endang Kusniar ini, di masa mudanya aktif dalam kegiatan seni sekolah, lalu bergabung dengan Sanggar Serasan yang diasuh Ida Nang Ali Sholihin dan Kak Rasyid, Pendiri dan Pimpinan Sanggar Ariska Cipta Muaraenim, yang juga murid Penari ternama asal Yogyakarta Bagong Kusudiarjo (alm).

Dari mereka, ayah dari Muhammad Rafli Fadilah, Ahmad Miraza Hafidh,Tarisha Izzah Febiana dan Hidayatullah Amilin Akbar ini, kemudian belajar disiplin, detail, dan kedalaman rasa dalam memerankan karakter. Di sini pula, ia menyadari bahwa teater dapat menjadi bahasa perlawanan terhadap kejumudan.
Menyala di Kota, Menggila di Panggung
Saat melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), dunia teater kembali memanggil.
Di luar kampusnya, Yies yang Pendiri Forum Teater Sekolah Sumatera Selatan (Fortass) tahun 2022 ini, bergabung dengan Teater Leksi Palembang, di bawah asuhan Yan Romain Hamid—nama yang dikenal luas di kalangan teater Sumatera Selatan. Di sinilah Yosep “menggila” dalam arti sebenarnya: menyutradarai, menulis, sekaligus bermain.

Lewat naskah Puyang Begale Sakti, karya Yan Romain Hamid, ia mencatatkan karya yang melambungkan namanya.
Pentas itu bukan hanya sukses besar, tapi juga diadaptasi menjadi sinetron daerah.
Dari sana, Yosep kerap wara-wiri di TVRI Sumatera Selatan, bermain dalam berbagai produksi seperti Operasi Ular Sanca, Menguak Takdir, Serasan, dan Sersan Gagah.
Ia bahkan beradu akting dengan aktor nasional seperti Sandi Nayoan, Wieke Widiati, dan Yanimar dalam sinetron Suratan Tak Sampai.
Dari Panggung ke Pembinaan
Namun, puncak karier panggung Yosep bukan hanya soal tampil di televisi atau festival. Ia menemukan makna yang lebih dalam ketika menjadi pembina teater sekolah.
Sejak 2020-an, ia melatih berbagai kelompok remaja di sekolah dan pondok pesantren, dari SMAN I Indralaya, SMKN 5 Palembang, MAN 3 Palembang, SMA I Aisyiyah, SMK Penerbangan Sriwijaya Palembang, hingga Ponpes Masdarul Ulum OKI dan Ponpes (Ma’had) Al-Ftah Banyuasin.
Dari tangan dinginnya lahir generasi muda yang menjadikan teater bukan sekadar ekstrakurikuler, melainkan cermin kehidupan. Melahirkan sejumlah pelakon teater baru dari bangku SMA.

Bersama Imron Supriyadi, jurnalis versus pelaku sastra dan teater, Yosep juga membina dan melahirkan aktor baru dari Teater Tubun SMAN 15 Palembang, membentuk Teater Kartini di SMK Kartini Palembang, Teater OSMA Pondok Pesantren Al-Fath Banyuasin.
Tahun 2022 menjadi babak baru ketika ia dan para praktisi teater di Palembang (Imron Supriyadi, Erwin Janim dan Yussudarson Sonov), menggagas Forum Teater Sekolah Sumatera Selatan (FORTASS), wadah kolaborasi dan pelatihan teater antarsekolah.
Dari forum ini lahir berbagai pelatihan, festival, hingga sinergi dengan TVRI Sumsel. Yosep juga menjadi penggagas Anugerah Seni Teater Sekolah se-Sumsel, sebuah upaya untuk memberi ruang apresiasi bagi pelajar dan guru seni.
Mengarungi Panggung Sriwijaya
Dalam beberapa tahun terakhir, Yosep semakin banyak berperan sebagai sutradara pertunjukan budaya besar. Satu diantara menyutradarai Film Semi Dokumenter “Serepat Serasan” Produksi ERC Production dan Pemkab PALI.
Ia dipercaya memimpin Opening Festival Sriwijaya sejak 2023, menata ratusan penampil dalam satu narasi kebudayaan yang berpadu antara tradisi dan teater modern.
Di sela kesibukan, ia mendirikan Pandawa Prodoction, Teater Mahameru, komunitas baru yang menjadi wadah eksplorasi anak-anak Palembang.

“Anak-anak sekarang punya energi besar,” katanya, “tinggal bagaimana mengarahkannya agar punya nilai, bukan hanya gaya.” Ia percaya teater adalah ruang pembentukan karakter—tentang kerja sama, empati, dan kesadaran sosial.
Mengakar dan Menyebar
Kini, selain dikenal sebagai pelatih, Yosep juga aktif sebagai narasumber di berbagai seminar seni, juri lomba, dan mentor di kegiatan kebudayaan tingkat provinsi. Ia mendokumentasikan kegiatannya melalui blog fortassumsel.wordpress.com, menjadi arsip hidup perjalanan seni teater sekolah di Sumatera Selatan.

Sejak masa kecil di langgar Al-Amin hingga pentas megah di Museum SMB II, jejak Yosep Suterisno seperti garis waktu yang menyatukan religiusitas, idealisme, dan dedikasi seni.
Ia bukan hanya aktor di atas panggung, tapi juga sutradara yang mengatur alur pembinaan teater di Bumi Sriwijaya.
Dengan dedikasinya yang tak kenal lelah, Sutrisno berharap teater dapat berkembang di sekolah-sekolah dan masyarakat. Ia ingin agar teater tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana untuk mengembangkan kreativitas dan karakter anak muda.

“Teater bukan hanya tentang akting, tetapi tentang bagaimana kita mengembangkan diri dan berinteraksi dengan masyarakat,” kata Sutrisno, dengan semangat yang tak pernah padam.
“Kalau seni berhenti di tepuk tangan,” ujarnya menutup percakapan, “maka teater akan mati. Tapi kalau seni menjadi cara kita memahami manusia, maka panggung ini akan hidup selamanya.”
TEKS : AHMAD MAULANA | EDITOR : EKA ARAMATI | FOTO : DOK. FORTASS