Literasi Sadar Halal: Jalan Cinta antara Iman, Ekonomi, dan Martabat Bangsa

Refleksi Kegiatan literasi sadar halal Balai Diklat Keagamaan (BDK) Palembang

Oleh Dr. H. Syafitri Irwan, S.Ag., M.Pd.I, Kakanwil Kemenag Sumsel,

Ada satu kata kunci yang sering kali terlupakan dalam percakapan kita tentang pembangunan ekonomi umat: kesadaran.

Kesadaran bukan sekadar tahu, melainkan mengerti, menghayati, dan mengamalkan.

Dalam konteks umat Islam, kesadaran akan halal bukanlah hanya tentang label di kemasan produk, tetapi tentang nilai spiritual yang menjadi fondasi seluruh sendi kehidupan.

Kegiatan Literasi Sadar Halal yang berlangsung di Balai Diklat Keagamaan Palembang pada 11 Oktober 2025 lalu bukan hanya pertemuan administratif, bukan sekadar sosialisasi regulasi.

Ia adalah gerakan kultural dan spiritual. Ia adalah panggilan untuk membangun ekosistem baru — di mana ekonomi tumbuh dari nilai iman, dan keberkahan menjadi tujuan, bukan sekadar keuntungan.

Dalam kegiatan itu, sinergi antara BPJPH, Kementerian Agama Sumsel, dan Komisi VIII DPR RI menjadi simbol bahwa kesadaran halal adalah urusan bersama.

Urusan negara, urusan masyarakat, sekaligus urusan hati nurani. Kita tidak sedang berbicara tentang birokrasi halal, tapi tentang etika keberlangsungan hidup di tengah derasnya arus globalisasi ekonomi yang sering melupakan akar spiritualitasnya.

Halal sebagai Ekosistem Spiritual-Ekonomi

Sertifikasi halal bukan sekadar dokumen administratif yang harus ditempuh pengusaha. Ia adalah manifestasi iman dalam bentuk yang paling konkret.

Ketika seseorang memastikan produknya halal, sejatinya ia sedang menegaskan bahwa usahanya tidak hanya bertujuan duniawi, tetapi juga ukhrawi.

Bahwa setiap keuntungan yang ia peroleh akan menjadi rezeki yang thayyib, bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi para pekerja, konsumen, bahkan bagi lingkungan sosial di sekitarnya.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Kepala Subdirektorat Bina Ekosistem Halal BPJPH, Bapak Zainudin, menyampaikan bahwa amanat Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 dan PP No. 42 Tahun 2024 menegaskan bahwa pada tahun 2026 seluruh pelaku usaha wajib memiliki sertifikat halal.

Ini adalah tonggak sejarah penting. Negara hadir untuk melindungi umat, bukan dengan pemaksaan, melainkan dengan memastikan keadilan dan kenyamanan spiritual bagi konsumen Muslim.

Namun mari kita lihat lebih dalam: mengapa sertifikat halal menjadi penting?
Sebab dalam masyarakat modern, rantai produksi semakin panjang dan kompleks. Kadang kita tidak tahu lagi dari mana bahan makanan kita berasal, bagaimana ia diolah, oleh siapa, dengan cara apa.

Dalam kondisi demikian, kehalalan menjadi jaminan moral bahwa proses ekonomi berjalan sesuai nilai-nilai ilahiah: bersih, jujur, dan berkeadilan.

Halal bukan semata soal makanan. Ia adalah soal cara berpikir dan bertindak.

Dalam logika Islam, segala sesuatu yang halal akan membawa keberkahan. Dan keberkahan bukanlah sekadar peningkatan omzet, tetapi ketenangan batin, hubungan sosial yang sehat, dan ekosistem usaha yang jujur.

Ujung Tombak Ekonomi Halal

Indonesia memiliki lebih dari 65 juta UMKM, dan sebagian besar dikelola oleh umat Islam.

Di sinilah letak kekuatan sekaligus tantangan. Jika mayoritas pelaku usaha kecil ini memahami dan mengamalkan prinsip halal secara benar, maka kita tidak hanya berbicara tentang ekonomi syariah, tapi tentang kemandirian ekonomi umat.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Bapak Iqbal Romzi, menegaskan bahwa program sertifikasi halal gratis hingga tahun 2026 adalah wujud nyata kehadiran negara dalam mendukung UMKM. Target satu juta sertifikat halal secara nasional adalah langkah besar.

Untuk Sumatera Selatan sendiri, target 19.000 sertifikat telah mencapai 15.000. Ini bukan sekadar angka, tapi representasi dari ribuan keluarga yang kini melangkah dengan keyakinan baru: bahwa usaha mereka tidak hanya menghidupi, tetapi juga menghormati Tuhan.

“BPJPH kini bertanggung jawab langsung kepada Presiden,” kata beliau, menandakan betapa strategisnya posisi halal dalam pembangunan nasional.

Halal kini bukan hanya domain keagamaan, melainkan juga isu pembangunan ekonomi dan diplomasi internasional. Dunia sedang menyaksikan kebangkitan pasar halal global, dengan nilai yang mencapai lebih dari 3 triliun dolar.

Pertanyaannya, apakah kita siap menjadi pemain utama di pasar halal dunia?
Jawabannya tergantung pada satu hal: seberapa dalam kita memahami makna halal itu sendiri — bukan hanya sebagai label, tapi sebagai komitmen peradaban.

Tantangan Literasi Halal

Kita patut bersyukur, karena pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas untuk mempercepat sertifikasi halal, terutama bagi UMKM.

Namun sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Satgas Halal Sumsel, H. Yauza Effendi, kesadaran masyarakat masih rendah. Banyak pelaku usaha yang belum merasa perlu untuk mengurus sertifikasi halal, karena dianggap rumit atau tidak penting.

Di sinilah pentingnya literasi halal.
Literasi halal tidak hanya mengajarkan “bagaimana mengurus sertifikat”, tetapi lebih dari itu, menumbuhkan rasa cinta terhadap yang halal.

Ketika seseorang memahami bahwa makanan halal membawa ketenangan hati, bahwa usaha halal menghadirkan keberkahan keluarga, bahwa produk halal menjaga kepercayaan pelanggan, maka ia akan bergerak dengan kesadaran, bukan sekadar kewajiban.

Seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ:

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, di antara keduanya ada perkara syubhat (samar), maka siapa yang menjaga diri dari yang syubhat, sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa halal bukan soal hitam putih hukum, tetapi soal kehormatan spiritual.
Dalam konteks ekonomi modern, kehormatan itu diwujudkan dalam integritas bisnis, transparansi produksi, dan kejujuran terhadap konsumen.

Berkeadilan dan Berkelanjutan

Sebagaimana konsep ekoteologi yang digagas Menteri Agama RI, Prof. Nasaruddin Umar, nilai halal sejatinya tidak bisa dipisahkan dari kepedulian ekologis.

Produk halal tidak hanya “bebas dari zat haram”, tetapi juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan, kesejahteraan pekerja, dan keadilan sosial. Halal adalah harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Karena itu, membangun kesadaran halal berarti juga membangun ekosistem cinta: cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, dan cinta kepada bumi.

Ketika seorang pelaku UMKM memproduksi makanan tanpa bahan berbahaya, dengan niat menjaga kesehatan konsumen, ia sejatinya sedang beribadah. Ketika konsumen memilih produk halal bukan karena tren, tetapi karena iman, ia sedang memperkuat moral ekonomi bangsa.

Halal sebagai Jalan Peradaban

Gerakan Literasi Sadar Halal harus kita lihat sebagai bagian dari perjalanan panjang membangun peradaban yang berakar pada spiritualitas.
Negara hadir dengan regulasi, lembaga hadir dengan pendampingan, dan masyarakat hadir dengan kesadaran.

Jika ketiganya bersinergi, maka Sumatera Selatan tidak hanya akan maju secara ekonomi, tetapi juga bermartabat secara spiritual.

Dalam dunia yang semakin pragmatis, nilai halal adalah oase ketenangan.
Ia meneguhkan kembali hubungan manusia dengan Tuhannya, mengikat kembali moral dalam ekonomi, dan menghadirkan kembali makna dalam kehidupan.

Maka, mari kita jadikan gerakan sadar halal bukan sekadar program, tetapi gerakan hati dan pikiran.
Karena di balik setiap label halal, sejatinya ada doa, ada niat suci, dan ada cinta — cinta yang menjadi jembatan antara iman dan kemajuan.

Sukawinatan-Palembang, 12 Oktober 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *