Di tepi Sungai Musi yang tak pernah berhenti mengalir, denyut seni Sumatera Selatan terus hidup, berpadu dengan napas sejarah dan semangat para pelaku budayanya. Dari tari hingga film, dari kanvas hingga panggung teater, para seniman Bumi Sriwijaya tak pernah benar-benar diam. Mereka terus berkarya, menenun waktu dan makna dalam karya yang lahir dari tanah yang subur oleh warisan budaya.

Di tengah arus modernitas yang kian deras, Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) kembali menyalakan obor penghargaan tahunan: Anugerah Seni Batanghari Sembilan 2025. Sebuah perhelatan yang bukan sekadar seremoni penghargaan, melainkan juga momentum untuk merawat ingatan kolektif tentang arti kesenian bagi peradaban Sumatera Selatan.
“Program ini adalah bentuk komitmen kami bersama pemerintah provinsi untuk memberi ruang penghargaan kepada para seniman dan budayawan,” ujar Iqbal Rudianto, yang akrab disapa Didit, Ketua DKSS periode 2023–2028.
Ia berbicara dengan nada tenang namun penuh keyakinan, seolah tengah menjaga bara kecil yang tak boleh padam — bara kecintaan pada dunia seni dan budaya daerahnya.
Bersama tim seleksi yang terdiri dari Warman, Mgs Vito, M. Fajri, Ludi, dan Muhaimin, Didit menekankan bahwa penghargaan ini bukan hanya bentuk pengakuan, tetapi juga upaya membangun regenerasi. “Kami ingin kesempatan ini merata. Biasanya kami memilih mereka yang belum pernah mendapat penghargaan serupa,” katanya.
Enam Sungai Kreativitas
Sama seperti sungai-sungai yang bermuara di Batanghari Sembilan — nama yang menjadi simbol kebanggaan Sumsel — seni di provinsi ini juga mengalir melalui banyak cabang: Tari, Rupa, Sastra, Musik, Teater, dan Film.
Enam kategori inilah yang menjadi jembatan bagi para seniman untuk diakui kiprahnya, dengan masing-masing penerima mendapatkan penghargaan sebesar Rp10 juta.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
Namun, angka bukan inti dari penghargaan ini. Nilai sejatinya terletak pada pengakuan: sebuah pelukan hangat dari masyarakat untuk mereka yang setia mencipta dalam kesunyian, menari di tengah keterbatasan, melukis di bawah cahaya redup, menulis di sela hujan, atau memainkan melodi di ruang yang tak selalu ramai penonton.
Dari Arsip ke Panggung
Rangkaian kegiatan Anugerah Seni Batanghari Sembilan berlangsung sejak 15 September hingga 1 November 2025. Dalam kurun waktu itu, para seniman se-Sumatera Selatan mengirimkan berkas dan portofolio mereka untuk dikurasi. Tim seleksi — 18 orang dari berbagai bidang seni — menelusuri jejak karya, membedah dedikasi, dan merangkai daftar nama yang layak mendapat apresiasi tahun ini.
Puncak acara akan digelar di Graha Taman Budaya Jakabaring, tempat di mana berbagai karya seni pernah bersua dan beradu rasa.
Gedung itu tak hanya menjadi ruang pertunjukan, tapi juga ruang kenangan: tempat generasi baru dan lama bersilang pandang, saling mewarisi semangat.
Melestarikan Bukan Sekadar Mengarsip
Bagi Didit dan kawan-kawan di DKSS, apresiasi adalah bentuk lain dari pelestarian. “Seni itu bukan benda mati yang harus dipajang, tapi ruh hidup yang harus dijaga,” ujarnya.
Pernyataan ini mengandung makna dalam: bahwa penghargaan bukan titik akhir perjalanan seniman, melainkan titik tolak untuk karya-karya berikutnya.
Dalam konteks Sumatera Selatan, pelestarian seni juga berarti menjaga identitas. Di tengah geliat industri kreatif nasional yang begitu cepat, tradisi lokal kerap terpinggirkan. Anugerah Seni Batanghari Sembilan menjadi benteng kultural — upaya mengingatkan publik bahwa di balik nama-nama besar, ada akar yang tumbuh di tanah Sriwijaya.
Menyalakan Api di Tengah Sungai Waktu
Tiap tahun, anugerah ini menjadi oase di tengah perjalanan panjang para pelaku seni. Ada penari dari pelosok Lahat yang menari di panggung bambu. Ada pelukis di Prabumulih yang melukis wajah-wajah masa kecilnya di dinding rumah panggung. Ada penyair dari OKU Timur yang menulis puisi di sela ladang padi. Mereka adalah wajah-wajah kesenian Sumatera Selatan — yang mungkin tak dikenal publik luas, tapi menjadi denyut kehidupan di lingkungannya masing-masing.
Mereka lah yang dicari oleh tim kurator: bukan mereka yang berteriak paling keras, melainkan mereka yang diam-diam menyalakan lilin di gelap.
Dari Sungai, Kembali ke Sungai
Batanghari Sembilan, nama yang disematkan untuk penghargaan ini, bukan sekadar simbol geografis. Ia adalah filosofi — tentang aliran kehidupan yang tak terputus, tentang kesenian yang lahir dari tanah, tumbuh bersama masyarakat, lalu mengalir kembali ke hati mereka.
Begitu juga seni: lahir dari rakyat, kembali ke rakyat.
Dan di tengah arus zaman yang sering melupakan, Anugerah Seni Batanghari Sembilan menjadi semacam pengingat lembut bahwa Sumatera Selatan masih punya banyak anak sungai yang jernih, yang terus memberi kehidupan bagi kebudayaan Indonesia.
Pada 1 November 2025, ketika nama-nama penerima anugerah diumumkan, bukan hanya penghargaan yang diberikan — tetapi juga pengakuan, rasa syukur, dan janji bahwa seni di Bumi Sriwijaya akan terus mengalir.
Seperti Sungai Musi yang abadi, kesenian pun tak pernah berhenti mencari muaranya: keindahan yang berpihak pada kehidupan.
TEKS : AHMAD MAULANA | EDITOR : IMRON SUPRIYADI