Amanah Putih di Lorong Rumah Sakit

Refleksi Pelantikan Pengurus Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang

Penulis Imron Supriyadi *)

Ada yang khas dari pelantikan pimpinan baru Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang. Bukan hanya karena mereka memakai pakaian bersih dan berkilat itu. Tetapi karena ada kesadaran yang jarang kita dengar dari seorang pejabat yang baru dilantik: “Kami belum pantas disebut selamat.” Kata-kata dr. Yudi Fadilah, SpPD-KKV, FINASIM, MARS, yang didampingi Wakil Direktur Yuzar, SE, MM, itu terdengar lebih seperti doa ketimbang pidato.

Rasanya seperti kita sedang mendengar pengakuan jujur dari seorang pemimpin yang tahu bahwa jabatan bukan mahkota, melainkan beban yang kalau salah memikulnya bisa membuat punggung patah.

Kalau diibaratkan begini: “Jabatan itu seperti jas hujan. Dipakai kalau hujan, dilepas kalau panas. Jangan malah dijadikan baju kebanggaan.” Nah, gaya dr. Yudi di awal jabatannya mirip seperti itu: rendah hati, mengakui tanggung jawab yang berat, dan tidak terburu-buru menagih ucapan selamat.

Padahal, papan bunga ucapan selamat berderet-deret di halaman RS Muhammadiyah. Warna-warni. Bunga segar. Kalimatnya sama: “Selamat dan Sukses.” Tapi dr. Yudi malah bilang: “Belum pantas.” Saya senyum sendiri membayangkan: mungkin papan bunganya jadi merah padam. Tetapi justru di situlah letak nilai ilmiah-populer yang bisa kita baca: ada kesadaran manajerial bahwa pelayanan kesehatan bukanlah industri bunga, melainkan industri kemanusiaan.

Al-Maun di Ujung Stetoskop

Di acara itu pula, Dr. Agus Taufiqurrahman mengingatkan kembali spirit Al-Maun, nilai yang pernah diajarkan KH Ahmad Dahlan. Al-Maun itu ayat yang sederhana, pendek, tapi tajam seperti pisau silet: mengingatkan bahwa ukuran keberimanan bukan pada ritus megah, tapi pada kepedulian terhadap anak yatim dan orang miskin.

Dalam bahasa kesehatan publik modern, Al-Maun itu bisa diterjemahkan sebagai aksesibilitas layanan: sejauh mana sebuah rumah sakit benar-benar menjadi rumah bagi orang sakit — termasuk yang tak punya uang.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Sebenarnya ini bukan soal retorika agama saja. Data kesehatan Indonesia menunjukkan ketimpangan layanan masih tinggi. Ada yang nyaman di rumah sakit mewah ber-AC, ada yang antre berjam-jam di poli kelas tiga. Di sinilah “rumah sakit Islami” diuji. Apakah ia hanya menempelkan label Islami, atau benar-benar menghidupkan Al-Maun?

Dengan 167 tempat tidur dan 53 di antaranya sudah memenuhi standar KRIS, RS Muhammadiyah Palembang melampaui batas minimal pemerintah. Ini kabar baik, bukan sekadar soal angka, tapi soal keberpihakan. Standar Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) itu sejatinya semacam jaring pengaman supaya pasien kelas bawah tetap mendapat haknya.

RS Muhammadiyah Palembang Resmikan Pimpinan Baru dan Layanan Rawat Inap Standar

Di titik ini, manajemen RS Muhammadiyah sedang melakukan apa yang secara akademik disebut “evidence-based policy”: kebijakan yang didorong data, bukan sekadar jargon. Mereka bukan hanya membangun gedung, tapi juga memperkuat sistem transparansi, akuntabilitas, dan kualitas layanan.

Sebagai Rumah Pendidikan

Cita-cita dr. Yudi menjadikan RS Muhammadiyah Palembang sebagai rumah sakit pendidikan juga menarik. Di era ketika universitas berbondong-bondong mendirikan fakultas kedokteran, keberadaan rumah sakit pendidikan adalah laboratorium nyata. Kolaborasi dengan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang akan membuka ruang riset, inovasi, bahkan pengabdian masyarakat yang lebih nyata.

Di dunia kesehatan modern, riset bukan lagi barang mewah. Ia adalah kebutuhan. Tanpa riset, rumah sakit hanya jadi tempat menambal luka, bukan mengantisipasi penyakit. Maka, cita-cita ini sebenarnya sebuah lompatan penting. Muhammadiyah punya sejarah panjang dalam dunia pendidikan. Kini sejarah itu bisa dihidupkan di lorong rumah sakit.

Kepercayaan Publik

Ridwan Hayatudin mengungkapkan pendapatan RS Muhammadiyah naik dari Rp 60 miliar menjadi Rp 77 miliar per tahun. Angka ini bukan sekadar laporan keuangan, tetapi indikator kepercayaan masyarakat. Orang sakit itu tak pernah mau main-main: mereka hanya akan kembali ke rumah sakit yang mereka percaya.

Tentu kita tidak bisa menutup mata: rumah sakit tetap butuh uang. Tapi yang membedakan rumah sakit berbasis amal usaha seperti Muhammadiyah adalah orientasi akhirnya. Uang itu bukan untuk menggemukkan laba, melainkan untuk memperkuat pelayanan, memperbaiki fasilitas, meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan, dan memperluas jangkauan layanan.

Dalam teori kesehatan masyarakat, ini disebut “social return on investment”: imbal balik sosial atas setiap rupiah yang dibelanjakan. Semakin tinggi kualitas layanan kepada kaum rentan, semakin tinggi pula nilai sosialnya. Itulah Al-Maun dalam bahasa ekonomi.

Tanggung Jawab Sosial Kolektif

Wakil Gubernur H. Cik Ujang mengingatkan bahwa rumah sakit dituntut bermutu, kompetitif, dan berorientasi pada pasien. Pesan ini sederhana, tapi mendalam: layanan kesehatan bukan cuma soal obat dan dokter, tapi soal kenyamanan psikologis pasien. Pasien yang merasa aman dan dihargai martabatnya akan sembuh lebih cepat. Ini bukan slogan — sudah banyak riset yang membuktikan bahwa patient-centered care meningkatkan hasil klinis.

Di sinilah RS Muhammadiyah punya peluang menjadi teladan. Jika berhasil mempertahankan harga yang terjangkau sambil menjaga mutu layanan, mereka akan menjadi model hybrid antara rumah sakit modern dan rumah sakit sosial. Itulah yang dulu dibayangkan KH Ahmad Dahlan ketika mendirikan Penolong Kesengsaraan Umum (PKO). Klinik kecil itu bukan sekadar tempat berobat, melainkan ruang pembelajaran sosial: bagaimana Islam bisa hadir membebaskan penderitaan.

Humor Tipis di Lorong Kesehatan

Akan bijak bila kelak di ruang tunggu, para pasien membaca papan pengumuman: “RS Muhammadiyah Palembang berkomitmen pada semangat Al-Maun.”

Lalu pasien nyeletuk, “Al-Maun itu obat baru ya, Dok?” Semua tertawa. Tapi humor itu penting, karena rumah sakit bukan pabrik mesin. Ia adalah tempat manusia. Dan manusia butuh ditangani bukan cuma dengan jarum infus, tapi juga dengan empati, sapaan, dan senyum.

Humor itu seperti vitamin C bagi sistem imun pelayanan. Dokter dan perawat yang ramah sebenarnya sedang menyuntikkan imun moral kepada pasiennya. Maka ketika kita bicara Al-Maun, jangan lupa bahwa wajah ramah, prosedur sederhana, dan transparansi biaya juga bagian dari ibadah.

Menjaga Api di Tengah Pasar

Opini ilmiah populer ini bukan sekadar memuji. Kita perlu jujur: mempertahankan idealisme di tengah tekanan pasar kesehatan itu berat. Kompetisi antar rumah sakit ketat, teknologi mahal, tuntutan pasien tinggi. Tapi di situlah “nilai plus” RS Muhammadiyah: mereka punya ideologi, punya spirit Al-Maun yang bisa jadi kompas moral.

Kalau kompas itu dijaga, RS Muhammadiyah bisa tetap membumi sekaligus modern. Bisa memegang stetoskop dengan tangan kanan, dan mengusap kepala anak yatim dengan tangan kiri. Bisa membangun ruang ICU berteknologi tinggi, sekaligus menjaga tarif yang manusiawi. Bisa mengundang profesor riset, sekaligus mengingatkan petugas kebersihan bahwa kerja mereka pun bagian dari amal saleh.

Membumi dan Melangit

Ketika dr. Yudi berkata “kami belum pantas disebut selamat,” itu sebenarnya semacam doa pembuka. Dalam pandangan ilmiah-populer, kata-kata itu menunjukkan growth mindset: pemimpin yang mau belajar, mau mendengar kritik, dan tidak larut dalam euforia jabatan.

RS Muhammadiyah Palembang sekarang berada di persimpangan penting: antara pasar dan amal, antara bisnis dan pengabdian. Dengan semangat Al-Maun, mereka punya peluang besar menunjukkan bahwa rumah sakit modern bisa tetap Islami, inklusif, dan berpihak pada rakyat kecil.

Kita berharap jajaran baru ini mampu menjaga api warisan KH Ahmad Dahlan. Bahwa rumah sakit bukan sekadar gedung, dokter, dan alat canggih, melainkan institusi moral yang melayani manusia dalam arti sesungguhnya. Jika semangat ini terus hidup, maka RS Muhammadiyah Palembang tidak hanya akan dikenal sebagai rumah sakit, tetapi sebagai rumah besar kemanusiaan.

Dan mungkin suatu hari, ketika pasien keluar dari pintu rumah sakit, mereka bukan hanya sembuh dari sakit fisiknya, tetapi juga pulang dengan hati yang lebih tenang. Itulah cita-cita Al-Maun: menyembuhkan bukan hanya tubuh, tapi juga martabat. Dan itulah doa kita semua untuk Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang hari ini.**

Ponpes Laa Roiba : Muaraenim, 28 September 2025 

*) Penulis adalah Jurnalis, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kom.F-USH IAIN RF (1995-1996) Sekarang pengasuh Ponpes Laa Roiba Muaraeniim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *