Umrah, Kekuasaan, dan Panggung Kebersamaan Kita

Di sinilah kita perlu kacamata ilmiah populer. Bukan sekadar jadi pengamat pinggir jalan.

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis & Pengasuh Santri Ponpes Laa Roiba Muaraenim

Di bawah langit pagi Palembang yang lembap, Kamis itu terasa lebih dari sekadar Kamis. Orang-orang berbusana rapi berbaris rapi di tengah jemaah Umroh Palembang. Mereka akan segera menunggu giliran naik ke pesawat carteran yang akan membawa mereka ke Tanah Suci, usai dilepas Wakil Gubenur Sumsel, Cik Ujang.

Kita bisa menyebutnya keberangkatan umrah. Tapi kalau kita mau sedikit lebih jujur, peristiwa ini bukan cuma ritual. Ia juga sebuah panggung. Ada panggung spiritual, ada panggung sosial, dan ya, ada panggung politik.

Di panggung itu, hadir Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Cik Ujang. Seorang pejabat publik yang memilih hadir langsung melepas 433 jemaah umrah. Satu angka yang tidak kecil. Sebuah momentum yang juga tidak remeh. Di situ kita bisa membaca bukan hanya berita, tetapi tanda-tanda zaman.

Politik itu Ada di Mana-mana, Tapi Tidak Selalu Buruk

Sering kali kita alergi mendengar kata “politik”. Seolah-olah politik itu kotor, penuh intrik. Padahal, kata orang Yunani kuno, politik adalah seni mengatur polis—masyarakat. Politik adalah ruang kita bersama. Kalau pejabat hadir di acara pelepasan jemaah umrah, jangan buru-buru kita cap “kampanye terselubung”. Bisa jadi memang ada politik elektoralnya. Bisa jadi juga ada politik pelayanan publiknya. Dua-duanya sah, selama dilakukan dengan etis.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Di sinilah kita perlu kacamata ilmiah populer. Bukan sekadar jadi pengamat pinggir jalan, tapi juga memahami konteksnya. Hubungan antara negara dan masyarakat sipil—dalam hal ini organisasi penyelenggara umrah—adalah bagian dari governance modern. Pemerintah daerah memberi legitimasi, organisasi memberi layanan, masyarakat menerima manfaat. Ini sistem yang kita bangun bersama.

Kolaborasi Travel Sebagai Miniatur Ekonomi Keagamaan

Kita bisa memandang 433 jemaah umrah ini sebagai statistik. Tapi statistik selalu punya cerita. Mengumpulkan jemaah dari berbagai kabupaten, lalu memberangkatkan dalam satu pesawat, butuh koordinasi tingkat tinggi. Ini bukan hanya manajemen logistik, tapi juga manajemen sosial. DPD Amphuri Sumbagsel berhasil merangkul travel-travel kecil jadi satu konsorsium. Ini seperti miniatur ekonomi kerakyatan di sektor keagamaan.

Dalam teori ekonomi politik, kita mengenal konsep social capital—modal sosial. Organisasi yang mampu menghubungkan berbagai aktor, mengurangi biaya transaksi, dan membangun kepercayaan, akan lebih kuat daripada organisasi yang hanya mengandalkan uang. Kolaborasi Amphuri ini adalah modal sosial yang kemudian menjadi modal politik.

Simbol Spiritual, Modal Elektoral

Cak Nun sering bilang, “agama itu bukan simbol, tapi kehidupan.” Tapi kehidupan manusia selalu mencari simbol. Orang datang ke Tanah Suci dengan pakaian ihram putih bukan karena Allah butuh warna putih, tetapi karena manusia butuh simbol kesucian dan kesetaraan. Dalam konteks pejabat publik, hadir di acara umrah massal juga simbol. Simbol pelayanan, simbol keberpihakan, simbol hadirnya negara.

Politisi yang cerdas paham betul simbol spiritual punya bobot elektoral. Namun apakah itu salah? Tidak. Yang salah adalah ketika simbol itu cuma jadi pencitraan tanpa kerja nyata. Kalau kehadiran pejabat benar-benar membantu mempermudah administrasi, membuka akses kesehatan, atau memberikan kepastian regulasi, maka simbol itu punya substansi.

Dari Organisasi Travel Menjadi Kekuatan Sosial

Di banyak penelitian tentang sosiologi agama, kita menemukan fenomena menarik: organisasi berbasis layanan ibadah seringkali lebih lincah daripada lembaga pemerintah. Mereka punya jaringan akar rumput, punya legitimasi moral, dan punya kedekatan emosional. Ketika DPD Amphuri Sumbagsel berhasil menggabungkan travel-travel untuk memberangkatkan satu pesawat penuh, ini bukan hanya bisnis, tetapi juga prestasi sosial.

Ketua DPD Amphuri Sumbagsel menyebutnya “bukti kedewasaan organisasi”. Itu istilah yang tepat. Kedewasaan organisasi artinya mampu mengatur diri, menjaga kualitas, dan berkolaborasi. Dalam ilmu manajemen publik, inilah bentuk governance yang sehat: ada regulasi, ada standardisasi, ada partisipasi.

Politik Identitas atau Pelayanan Publik?

Kalau kita tarik lebih jauh, umrah massal ini adalah contoh menarik tentang politik identitas. Di Indonesia, terutama di luar Jawa, simbol keagamaan masih jadi kanal penting legitimasi politik. Pemerintah daerah mendukung travel resmi untuk memastikan keamanan dan mutu layanan. Travel resmi butuh pejabat publik untuk memberi stempel legitimasi.

Di satu sisi, ini bisa disebut patronase—hubungan timbal balik antara pejabat dan organisasi. Di sisi lain, ini bisa disebut pelayanan publik—pemerintah hadir untuk mempermudah urusan warganya. Kita yang menilai. Tapi yang jelas, fenomena ini menunjukkan bahwa politik dan agama bukan dua hal yang terpisah kaku, melainkan terus berdialog dalam kehidupan masyarakat kita.

Lebih dari Sekadar Seremoni

Bagi jemaah, tentu saja yang penting adalah berangkat umrah. Tapi bagi kita yang mengamati, ada pelajaran penting tentang bagaimana jaringan sosial, ekonomi, dan politik bertemu di satu titik. Di Asrama Haji Palembang pagi itu, putih busana jamaah berpadu dengan biru langit, doa-doa mengiringi langkah kaki. Di balik semua itu, politik—dengan wajahnya yang subtil—tengah bekerja.

Di sinilah kita bisa memetik inspirasi ilmiah populer. Mengapa? Karena ini studi kasus tentang governance kolaboratif. Tentang bagaimana layanan publik bisa dibangun di atas modal sosial dan modal spiritual. Tentang bagaimana organisasi masyarakat sipil—dalam hal ini Amphuri—bisa menjadi mitra strategis pemerintah.

Belajar dari Perspektif Kebudayaan

Kalau kita tarik ke perspektif kebudayaan, umrah massal ini juga peristiwa budaya. Ada ritual, ada simbol, ada cerita kolektif. Dalam ilmu antropologi, ritual keberangkatan ini bisa disebut rites of passage—ritual peralihan yang menandai perubahan status spiritual seseorang. Ketika pejabat hadir, ia sedang ikut meneguhkan legitimasi budaya itu.

Cak Nun sering bilang, masyarakat kita ini kaya simbol. Tapi simbol tanpa nilai jadi kosong. Maka tugas kita adalah mengisi simbol dengan nilai-nilai kebersamaan, pelayanan, dan keadilan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sebagai pembaca, sebagai warga negara, kita bisa belajar beberapa hal. Pertama, jangan alergi terhadap politik. Politik itu ruang kita bersama. Kedua, dorong terus kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil. Ketiga, kritis terhadap simbol, tetapi juga apresiatif terhadap substansi. Keempat, jadikan ibadah dan layanan publik bukan sekadar ritual, tapi juga jalan pembelajaran sosial.

Di tengah arus informasi yang cepat, kita perlu media yang menghadirkan opini ilmiah populer seperti ini—yang tidak hanya memotret peristiwa, tetapi juga menjelaskannya.

Membangun Peradaban Bersama

Kisah di Asrama Haji Palembang itu hanya salah satu mozaik kecil dari peradaban kita. Kalau kita mau jujur, keberangkatan 433 jemaah umrah ini adalah potret kecil bagaimana Indonesia belajar membangun peradaban: peradaban yang menggabungkan spiritualitas, organisasi masyarakat sipil, pelayanan pemerintah, dan bahkan politik elektoral.

Tidak ada yang salah dengan politik selama ia jadi alat pelayanan publik. Tidak ada yang salah dengan simbol selama ia mengandung nilai. Tidak ada yang salah dengan pejabat hadir melepas jemaah, selama kehadirannya benar-benar memberi kemudahan dan keberkahan bagi rakyat.

Seperti doa yang dibacakan pagi itu: semoga perjalanan ini memperkuat keimanan dan ketakwaan. Kita juga bisa berdoa: semoga peristiwa ini memperkuat peradaban kita, memperkuat kebersamaan kita, memperkuat pelayanan publik kita.

Karena pada akhirnya, ibadah bukan hanya urusan individu dengan Tuhan, tetapi juga urusan kita semua dalam membangun kehidupan bersama yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih beradab.**

Ponpes Laa Roiba-Muaraenim, 26 September 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *