
Di era keterbukaan informasi publik, tantangan utama lembaga pemerintah bukan sekadar melaksanakan program, melainkan memastikan bahwa setiap program itu dapat dipahami, dinilai, dan dirasakan dampaknya oleh masyarakat.
Transparansi bukan hanya jargon normatif, melainkan kewajiban hukum dan moral yang melekat pada setiap aparatur negara.
Pada 24 September 2025 lalu, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan menyelenggarakan sebuah workshop strategis bertajuk “Implementasi SE Sekjen Nomor 29 Tahun 2025 tentang Penguatan Publikasi Capaian dan Dampak Kinerja.
” Workshop ini menjadi momentum penting dalam mendorong budaya baru: publikasi yang aktif, kreatif, dan inklusif.
Namun lebih dari sekadar kegiatan teknis, forum ini adalah refleksi atas kesadaran kita bersama bahwa komunikasi publik telah memasuki babak baru.
Kepercayaan publik dibangun bukan hanya oleh kinerja yang baik, tetapi juga oleh cara kita menyampaikan dan membuka kinerja itu kepada masyarakat luas.
Publikasi Sebagai Amanah Konstitusional
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, ditegaskan hak masyarakat untuk mengetahui setiap kebijakan publik serta proses pembentukannya.
Hal ini sejalan dengan prinsip good governance yang mengedepankan akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi. Kementerian Agama, sebagai institusi yang langsung bersentuhan dengan kehidupan beragama, memiliki tanggung jawab moral ganda: melayani sekaligus memberi teladan dalam hal keterbukaan.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
Ketika publikasi kinerja hanya berhenti pada angka-angka, kita kehilangan sisi humanisnya. Padahal setiap kebijakan adalah cerita manusia, dan setiap capaian adalah hasil kerja kolektif yang layak diketahui publik.
Dengan demikian, publikasi kinerja bukanlah tambahan pekerjaan administratif, melainkan bagian integral dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Bahasa Isyarat: Jembatan Inklusivitas
Salah satu langkah terobosan dalam workshop kali ini adalah menghadirkan juru bahasa isyarat. Mengapa ini penting? Sebab inklusivitas bukan lagi pilihan moral, melainkan ukuran sejauh mana sebuah lembaga mampu menghadirkan keadilan akses informasi.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia terus meningkat seiring kesadaran pendataan yang lebih baik.
Mereka memiliki hak yang sama untuk memperoleh informasi publik. Mengabaikan hak ini berarti menutup pintu bagi sebagian warga negara dari ruang partisipasi demokratis.
Bahasa isyarat menjadi simbol sekaligus instrumen nyata. Ia menjembatani antara dunia teks resmi pemerintah dengan pengalaman hidup penyandang disabilitas.
Dengan melibatkan juru bahasa isyarat, Kemenag Sumsel sedang menegaskan komitmen: transparansi tidak boleh elitis, ia harus merangkul semua orang tanpa kecuali.
Paradigma Baru Humas Pemerintah
Humas pemerintah sering dipersepsikan sekadar corong informasi. Paradigma ini sudah tidak relevan. Dalam konteks tata kelola modern, humas adalah pengelola ekosistem komunikasi yang menghubungkan institusi dengan publiknya.
Inilah sebabnya kami menekankan bahwa publikasi capaian kinerja harus lebih dari sekadar berita—ia harus menyentuh, menginspirasi, dan memudahkan masyarakat memahami peran Kementerian Agama.
Di Sumatera Selatan, kami mendorong setiap satuan kerja untuk mengoptimalkan kanal resmi dan media sosial mereka. Tantangannya jelas: bagaimana menyampaikan informasi yang kompleks secara sederhana, menarik, dan bermakna.
Workshop ini menjadi ruang berbagi praktik baik, mengasah keterampilan, dan membangun jejaring antarsatker agar tercipta standar komunikasi publik yang berkelas.
Dimensi Hukum dan Etika Transparansi
Sebagai seorang birokrat, saya memandang keterbukaan informasi bukan hanya kewajiban teknis, melainkan perintah etik. Dalam perspektif Islam, prinsip ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pentingnya pencatatan transaksi agar tidak menimbulkan perselisihan.
Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
Publikasi kinerja adalah bentuk pertanggungjawaban itu. Ia menyampaikan pesan bahwa pemerintah hadir, bekerja, dan bersedia diaudit oleh publik.
Tanpa publikasi yang baik, keberhasilan program sebaik apa pun akan kehilangan legitimasi sosialnya. Lebih buruk lagi, publik bisa terjebak pada persepsi negatif akibat kekosongan informasi.
Menghubungkan Data dengan Narasi
Salah satu problem utama komunikasi publik di sektor pemerintahan adalah dominasi data kering tanpa konteks. Kita lupa bahwa masyarakat lebih mudah memahami cerita ketimbang tabel.
Karena itu, dalam setiap publikasi, kita perlu mengangkat sisi human interest—misalnya kisah guru madrasah yang berhasil mengubah pola pikir murid, atau inovasi pelayanan KUA yang memudahkan pasangan calon pengantin.
Ketika publikasi menggabungkan data dengan narasi, kita tidak hanya memberi informasi, tetapi juga membangun empati. Di sinilah seni komunikasi publik berada. Dan di sinilah pula saya melihat peran vital humas pemerintah yang kreatif dan berintegritas.
Model Komunikasi Publik yang Modern dan Inklusif
Workshop ini kami desain sebagai prototipe model komunikasi publik di lingkungan Kemenag Sumsel. Dengan materi yang beragam—dari implementasi SE Sekjen Nomor 29 Tahun 2025 hingga pengenalan bahasa isyarat untuk pelayanan publik—kami ingin peserta tidak hanya memahami regulasi, tetapi juga menginternalisasi semangatnya.
Kami berharap langkah ini menjadi contoh bagi instansi lain. Ketika komunikasi publik dilakukan secara inklusif, dampaknya tidak hanya meningkatkan citra lembaga, tetapi juga memperluas jangkauan manfaat program.
Publikasi yang baik memperkuat legitimasi, legitimasi yang kuat melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan publik adalah modal terbesar sebuah institusi.
Mewujudkan Pemerintahan yang Melayani
Kementerian Agama Sumatera Selatan berkomitmen menjadikan media publikasi sebagai jembatan pelayanan. Kami tidak ingin publikasi berhenti pada seremoni atau tayangan media sosial yang sekadar menggugurkan kewajiban. Publikasi harus mendorong masyarakat lebih memahami program, lebih mudah mengakses layanan, dan lebih percaya pada integritas kami.
Dalam jangka panjang, publikasi yang efektif akan mempercepat reformasi birokrasi. Ia memaksa lembaga untuk lebih tertib, transparan, dan inovatif. Inilah efek ganda yang kami harapkan: publikasi bukan sekadar mengabarkan, tetapi mengubah perilaku institusi menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Menuju Transparansi yang Merangkul
Saya yakin, di era demokrasi informasi, masyarakat tidak lagi hanya menilai apa yang pemerintah kerjakan, tetapi juga bagaimana pemerintah berkomunikasi. Karena itu, workshop ini kami jadikan titik tolak untuk membangun tradisi baru: komunikasi publik yang kreatif, inklusif, dan berbasis data.
Bahasa isyarat yang kami hadirkan adalah simbol kecil dari komitmen besar: bahwa setiap warga negara, tanpa kecuali, berhak mengetahui dan menikmati hasil kerja pemerintah.
Dengan demikian, kita tidak hanya membangun reputasi lembaga, tetapi juga membangun peradaban pelayanan publik yang lebih manusiawi.
Akhirnya, saya mengajak seluruh jajaran Kemenag Sumsel, dari Kanwil hingga KUA, dari madrasah hingga unit-unit teknis lainnya, untuk menjadikan publikasi kinerja sebagai budaya baru.
Mari kita gunakan setiap kanal komunikasi untuk melayani umat, bukan sekadar melaporkan kegiatan. Mari kita wujudkan transparansi yang merangkul, bukan transparansi yang menyisihkan.
Itulah cita-cita kami. Dan di situlah masa depan Kementerian Agama Sumatera Selatan sedang kami arahkan: dari birokrasi yang tertutup menuju pemerintahan yang melayani dengan sepenuh hati.**
Palembang, 26 Sepetember 2025