Umrah, Politik, dan Simbol Sinergi di Sumatera Selatan

Dalam sambutannya, Cik Ujang menyebutnya sebagai teladan kebersamaan

PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Di bawah langit pagi Palembang yang lembap, Kamis (25/9/2025),  Asrama Haji tampak seperti panggung politik yang tenang namun sarat simbol. Ratusan orang berbusana putih berbaris rapi, bersiap memasuki pesawat carteran yang akan membawa mereka ke Tanah Suci. Namun yang mencuri perhatian bukan hanya jumlahnya—433 jemaah umrah dari seluruh Sumatera Bagian Selatan—melainkan figur politik yang hadir melepas keberangkatan: Wakil Gubernur Sumatera Selatan, H. Cik Ujang.

Kehadiran Cik Ujang bukan sekadar seremonial. Di tengah tahun politik yang kian dinamis, ia memanfaatkan momentum Milad ke-18 Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) untuk menegaskan posisi pemerintah daerah sebagai mitra strategis penyelenggara ibadah umrah. Gestur yang sederhana: melepaskan jemaah. Tapi pesan politiknya jelas: pemerintah ada, pemerintah hadir.

Kolaborasi Travel, Pesan Kebersamaan

Bagi publik, peristiwa ini sekadar keberangkatan umrah massal. Namun di balik layar, ini adalah proyek besar konsolidasi biro perjalanan. DPD Amphuri Sumbagsel berhasil merangkul berbagai travel untuk memberangkatkan jemaah dalam satu pesawat. Sebuah langkah efisiensi sekaligus menunjukkan kekuatan organisasi Islam berbasis ekonomi-keagamaan.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Dalam sambutannya, Cik Ujang menyebutnya sebagai teladan kebersamaan. “Kolaborasi ini memungkinkan 433 jemaah diberangkatkan bersama, aman, dan nyaman,” ujarnya. Di dunia politik lokal, pernyataan ini lebih dari sekadar ucapan. Ia membangun narasi bahwa pemerintah daerah dan ormas berbasis layanan keagamaan bisa menjadi satu jaringan kerja yang solid.

Pesan Moral dan Modal Politik

Politisi yang lihai tahu, simbol spiritual selalu punya bobot elektoral. Ketika Cik Ujang memberikan pesan agar jemaah menjaga kesehatan, disiplin, dan kekompakan, ia seolah tengah bicara kepada konstituennya sendiri. “Semoga perjalanan ini memperkuat keimanan dan ketakwaan,” ucapnya. Bahasa ini bersih dari slogan politik, tetapi sarat dengan moralitas yang diharapkan publik Muslim Sumsel.

Tidak ada spanduk partai, tidak ada deklarasi dukungan. Namun wajah-wajah jamaah yang menatapnya penuh hormat adalah modal politik tersendiri: citra pejabat yang membumi dan dekat dengan masyarakat.

Dari Organisasi Travel Jadi Kekuatan Sosial

Ketua DPD Amphuri Sumbagsel, H. Kuswariansyah, menyebut keberangkatan satu pesawat penuh ini sebagai “bukti kedewasaan organisasi.” Di balik kalimat sederhana itu, ada cerita tentang bagaimana industri jasa keagamaan tumbuh menjadi kekuatan sosial yang sanggup memengaruhi kebijakan pemerintah daerah.

“Bagi masyarakat yang ingin berangkat, pilihlah travel yang tergabung dalam Amphuri. Kami pastikan jaminan dan tanggung jawab penuh,” tegas Kuswariansyah. Ini bukan sekadar imbauan, tapi pernyataan kuasa: Amphuri meneguhkan posisinya sebagai penjaga standar layanan umrah di Sumbagsel.

Momentum Politik Identitas?

Di banyak daerah Indonesia, urusan haji dan umrah bukan hanya soal ibadah, tapi juga citra dan legitimasi politik. Sumatera Selatan tak terkecuali. Pemerintah daerah mendukung penuh biro perjalanan yang berizin resmi, sedangkan biro perjalanan membutuhkan legitimasi simbolik pejabat publik. Sinergi ini menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan—dalam istilah politik: patronase yang sah dan berbasis pelayanan publik.

Acara pelepasan ini memperlihatkan bahwa Sumsel kian serius menjadi pusat pemberangkatan umrah yang inovatif dan terpercaya. Dengan kata lain, posisi Sumsel dalam peta politik keagamaan nasional ikut menguat.

Lebih dari Seremoni Keagamaan

Bagi jamaah, momentum ini mungkin hanya tentang berangkat ke Tanah Suci. Namun bagi pembaca majalah politik, ini adalah cerita tentang simbol kekuasaan, modal sosial, dan pencitraan kebijakan publik. Kehadiran Wagub Sumsel di Asrama Haji bukan sekadar melepas, tetapi merawat jejaring antara pemerintah, organisasi keagamaan, dan masyarakat Muslim kelas menengah—jejaring yang kelak menjadi basis kebijakan dan bahkan legitimasi elektoral.

Di Asrama Haji Palembang pagi itu, putih busana jamaah berpadu dengan biru langit, doa-doa mengiringi langkah kaki. Di balik semua itu, politik—dengan wajahnya yang lebih subtil—tengah bekerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *