Wartawan, Ruh Kenabian, dan Jalan Pulang ke Fitrah

Jurnalisme lahir bukan hanya untuk “mencatat” peristiwa, tetapi untuk menjadi saksi kebenaran

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis & Pengasuh Santri Ponpes Laa Roiba Muaraenim

Di tengah hiruk pikuk dunia pers yang makin bising dengan kabar hoaks, berita instan, hingga praktik wartawan yang keranjingan “amplop”, tiba-tiba datang sebuah kabar baik dari Jakarta. Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menandatangani nota kesepahaman dengan Dewan Pimpinan Pusat Pro Jurnalismedia Siber (DPP PJS),(4 September 2025)

Sekilas, berita ini hanyalah agenda formal: kerja sama akademik dengan organisasi profesi. Tetapi kalau kita renungkan lebih dalam, ia adalah sebentuk ikhtiar kecil yang bisa menjadi jalan pulang bagi wartawan Indonesia menuju fitrah: menjaga ideologi pers dan ruh kenabian dalam setiap huruf yang mereka tulis.

Jurnalisme dan Amanah Kenabian

Sejak awal, jurnalisme lahir bukan hanya untuk “mencatat” peristiwa, tetapi untuk menjadi saksi kebenaran. Bukankah Nabi Muhammad sendiri dikenal sebagai al-Amin—yang terpercaya? Ia menyampaikan wahyu dengan penuh tanggung jawab, tanpa menambah atau mengurangi, tanpa memeras atau memanipulasi.

Kalau wartawan adalah pewaris misi kenabian, maka syarat utamanya jelas: sidiq, amanah, tabligh, fathanah. Sidiq: jujur dalam berita. Amanah: tidak menyalahgunakan informasi. Tabligh: menyampaikan dengan cara yang tepat, tidak provokatif murahan. Fathanah: cerdas membaca situasi, tidak asal menyalin rilis atau mengutip rumor.

Masalahnya, realitas hari ini justru sebaliknya. Banyak wartawan kita sibuk dengan “perut” ketimbang “ruh”. Ada yang menulis berita bukan untuk mencerahkan, tetapi untuk memeras. Ada yang meliput bukan untuk menggali fakta, melainkan untuk menunggu amplop. Bahkan ada yang menjadikan profesi wartawan sekadar tiket untuk bisa bertamu ke kantor dinas dan pulang membawa sangu.

Kalau begini wajah pers kita, lalu di mana ruh kenabian itu kita letakkan?

Sinergi Kampus dan Pers: Oase di Padang Gersang

Kerja sama UIN dan PJS ini, menurut saya, adalah secercah oase. Bayangkan, mahasiswa komunikasi UIN bisa langsung merasakan bagaimana dunia pers bekerja: ditempatkan di KPK, DPR RI, atau Mabes Polri, sambil tetap mendapat bimbingan akademik. Di sisi lain, wartawan PJS juga akan disentuh kembali dengan nilai-nilai etik, ilmu, dan standar kompetensi melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW).

BACA ARTIKE TERKAIT :

Bagi saya, ini bukan sekadar program magang. Ia adalah ritual penyucian ulang, semacam “maulid” dalam arti kelahiran kembali: wartawan yang sempat terjerumus dalam budaya amplop, diingatkan lagi untuk pulang ke jalannya.

Kalau Nabi bersabda, kullu mauludin yuladu ‘alal fitrah—setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah—maka wartawan pun perlu lahir kembali. Dilahirkan ulang dalam fitrah jurnalisme: mencari kebenaran, menjaga integritas, dan menghadirkan berita yang mencerahkan, bukan meracuni.

 Wartawan = Berapa Bayar? 

Tentu, saya tidak menutup mata. Kerja sama ini tidak otomatis menghapus mental “wartawan 5W + 1H = Wani, Wani, Wani, Wani, Wani, Habis perkara”. Ya, banyak wartawan kita yang bukan menulis “apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, bagaimana”, tetapi hanya bertanya: wani piro? Berapa bayarannya?

Ada wartawan yang datang ke kantor bupati, bukan mencari data, melainkan menunggu “sangu pulang”. Ada yang menulis berita investigasi, tapi hanya untuk menakut-nakuti kepala dinas agar menyerahkan sesuatu. Ada pula yang kongkalikong dengan aparat, supaya kasus besar dikecilkan, kasus kecil dibesarkan, sesuai pesanan.

Apakah kita masih bisa menyebut mereka wartawan? Atau mereka sebenarnya pedagang berita? Kalau pers sudah diperdagangkan, maka rakyat hanya akan menjadi korban manipulasi.

Di titik inilah kampus dan organisasi pers harus tegas. MoU semacam ini harus menjadi pagar: melatih wartawan muda agar tidak keracunan “virus amplop” sejak dini.

Pendidikan Jurnalistik sebagai Tarekat Sosial

Kalau tasawuf mengajarkan tarekat untuk membersihkan jiwa menuju Allah, maka pendidikan jurnalistik bisa menjadi tarekat sosial. Mahasiswa belajar bukan sekadar teknik menulis, tapi juga bagaimana menjaga batin dari godaan dunia. Wartawan belajar bukan hanya cara mencari berita, tapi juga cara menjaga niat agar tetap lurus.

Kerja sama PJS dan UIN ini bisa menjadi semacam “zikir profesi”: mengingatkan kembali bahwa berita bukanlah komoditas semata, melainkan amanah. Bahwa pena wartawan bukan sekadar alat, melainkan saksi di hadapan Allah.

Kalau wartawan menulis berita palsu, amplop haram yang ia terima mungkin memang bisa memberi makan anak-isterinya. Tapi apa jadinya kalau makanan itu ternyata racun? Racun bagi akal, hati, dan masa depan mereka sendiri?

Ruh Kenabian di Balik Pena

Saya sering membayangkan, seandainya Nabi Muhammad hidup di era digital ini, mungkin beliau tidak menulis berita, tetapi setiap sabdanya akan menjadi headline yang abadi. Bedanya, beliau tidak pernah menulis dengan niat untuk memeras, apalagi untuk keuntungan pribadi.

Itulah ruh kenabian: menjaga diri agar setiap kata, setiap kalimat, membawa manfaat bagi umat. Kalau wartawan Indonesia ingin benar-benar menjadi penerus misi kenabian, maka pena mereka haruslah pena yang jujur, bersih, dan menuntun.

MoU antara PJS dan UIN ini bukan hanya kerja sama akademik. Ia adalah pengingat bahwa wartawan sejati harus berjalan dalam jejak Nabi: menjaga amanah, memikul kebenaran, dan menolak godaan dunia yang bisa merusak integritas.

Menjemput Kelahiran Baru

Setiap Maulid Nabi, kita diingatkan bahwa kelahiran Rasulullah adalah kelahiran cahaya yang memandu umat dari kegelapan. Begitu juga, kerja sama ini bisa menjadi momentum maulid kecil bagi dunia pers kita. Lahirnya kembali wartawan muda yang fitrah, wartawan senior yang insaf, dan kultur pers yang lebih sehat.

Apakah mudah? Tentu tidak. Setan yang berbisik di telinga wartawan lebih sering berbentuk “amplop tebal” ketimbang makhluk gaib. Tapi bukankah jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu sendiri?

Kalau wartawan bisa menahan diri untuk tidak menjual berita, tidak menukar pena dengan amplop, maka sesungguhnya ia sedang menjalani jihad paling mulia: jihad menjaga amanah profesi.

Jalan Pulang

Saya ingin menutup refleksi ini dengan sebuah pertanyaan sederhana: apakah wartawan Indonesia masih mau pulang ke fitrah?

MoU antara UIN dan PJS adalah pintu kecil menuju jalan pulang itu. Tapi pintu hanya pintu—yang penting apakah wartawan mau melangkah masuk.

Kalau wartawan tetap sibuk mengumpulkan amplop, maka yang ia bawa pulang hanyalah racun untuk keluarganya. Tapi kalau ia berani menjaga integritas, menulis dengan jujur, menyampaikan kebenaran dengan amanah, maka setiap beritanya akan menjadi amal jariyah: cahaya yang terus hidup bahkan setelah ia tiada.

Rasulullah pernah bersabda, “Sampaikan dariku walau satu ayat.” Wartawan seharusnya menyampaikan kebenaran walau satu berita. Bukan satu berita untuk memeras, bukan satu berita untuk mengaburkan, tetapi satu berita yang bisa menuntun hati, menyadarkan jiwa, dan mencerahkan umat. Dan mungkin, di situlah wartawan kembali menemukan jati dirinya: bukan sekadar profesi, tapi pewaris misi kenabian.*

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *