Menggenggam Cahaya dari Mushalla : Refleksi atas Penetapan Hari Guru Ngaji Sumatera Selatan

Guru ngaji adalah figur yang sering luput dari sorotan publik

AGAMA, Islam76 Dilihat
Oleh: Dr. H. Syafitri Irwan, S.Ag., M.Pd.I, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan

Ada satu hal yang sering kita lupakan dalam pembangunan bangsa ini: bahwa pendidikan bukan semata perkara transfer ilmu di ruang-ruang kelas formal, melainkan sebuah proses membentuk jiwa. Dalam konteks itu, guru ngaji memainkan peran yang tak ternilai. 

Mereka adalah penjaga gawang moral, pengawal nilai, dan pembentuk akhlak generasi sejak usia dini. Maka ketika Dewan Pengurus Wilayah BKPRMI Sumatera Selatan menetapkan tanggal 16 Maret sebagai Hari Guru Ngaji, saya menyambutnya dengan penuh suka cita.

Tanggal itu dipilih bukan sembarangan. Ia bertepatan dengan kelahiran KH As’ad Humam, penyusun Metode Iqro’, metode baca Al-Qur’an yang kini digunakan di hampir setiap TK/TPA di penjuru negeri. Sebuah penghargaan yang tidak hanya simbolik, tapi sarat makna historis dan strategis.

Mengapa Guru Ngaji Layak Diberi Hari Peringatan?

Guru ngaji adalah figur yang sering luput dari sorotan publik. Mereka tidak masuk kategori profesi populer dalam daftar statistik ketenagakerjaan, bahkan kadang tidak tercatat dalam sistem formal negara. Namun, jasa mereka terasa hingga ke tulang sumsum peradaban kita.

Coba kita hitung: berapa juta anak Indonesia yang belajar membaca huruf hijaiyah dari seorang guru ngaji? Berapa banyak rumah tangga yang kehidupan spiritualnya dimulai dari bimbingan mereka? Berapa banyak generasi yang terbentuk karakternya oleh pesan-pesan moral di sela-sela pelajaran tajwid dan makhraj?

Ketua Umum DPW BKPRMI Sumsel, Firdaus, SH, membacakan naskah penetapan dengan suara mantap, diiringi tatapan khidmat para hadirin

Menghormati guru ngaji bukan hanya persoalan etika, tetapi juga strategi kebudayaan. Dengan memberi mereka hari khusus, kita mengakui bahwa pembangunan bangsa tidak mungkin berdiri kokoh tanpa fondasi moral yang ditanam sejak dini.

Landasan Historis dan Filosofis

Penetapan Hari Guru Ngaji di Sumatera Selatan ini memiliki pijakan historis yang kuat. LPPTKA BKPRMI—lembaga yang mengkoordinasi pendidikan TK/TPA—lahir pada 14 Agustus 1989 di sebuah mushalla kecil di Banjarmasin. Dari sana, ia berkembang menjadi jejaring nasional yang kini membina jutaan santri cilik di seluruh Indonesia.

BACA ARTIKEL TERKAIT : DPW BKPRMI Sumsel Tetapkan 16 Maret sebagai Hari Guru Ngaji

 

Filosofi yang mereka bawa sederhana tapi dalam: mewujudkan generasi Qur’ani yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, sehat, mandiri, dan memiliki tanggung jawab sosial tinggi. Filosofi ini sejalan dengan mandat Kementerian Agama dalam membina kehidupan beragama dan membangun harmoni sosial.

Dalam perspektif Islam, penghormatan kepada guru—termasuk guru ngaji—berakar pada hadis Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya dan ikan di laut mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (HR. Tirmidzi). Hari Guru Ngaji adalah perwujudan modern dari spirit hadis ini.

Relevansi dengan Tantangan Zaman

Kita hidup di era disrupsi informasi, di mana anak-anak kita sejak dini terpapar gawai, media sosial, dan arus budaya global. Di tengah derasnya banjir informasi ini, guru ngaji adalah benteng moral pertama. Mereka membimbing anak-anak bukan hanya membaca teks suci, tetapi juga menanamkan adab sebelum ilmu.

Tantangannya tidak ringan. Tidak sedikit guru ngaji yang mengajar di tempat seadanya, dengan sarana terbatas, dan imbalan yang nyaris simbolik. Namun, mereka tetap mengajar dengan hati, karena bagi mereka, mengajar Al-Qur’an adalah ibadah.

Dengan penetapan Hari Guru Ngaji, kita memiliki momentum untuk memikirkan langkah konkret: bagaimana memastikan kesejahteraan guru ngaji, meningkatkan kompetensi mereka, dan memberi penghargaan sosial yang layak.

Respon Kementerian Agama

Sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Selatan, saya melihat kebijakan BKPRMI ini sebagai inisiatif strategis yang sejalan dengan program Kementerian Agama. Selama ini, kami terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan Al-Qur’an melalui standarisasi ustadz/ustadzah, pelatihan berkelanjutan, dan pembinaan kurikulum.

Penetapan Hari Guru Ngaji memberikan nilai tambah: ia membangun kesadaran kolektif. Bahwa setiap keluarga, setiap komunitas, dan setiap pemangku kebijakan memiliki kewajiban moral untuk mendukung guru ngaji.

Dalam kerangka besar pembangunan keagamaan, dukungan ini dapat diwujudkan dalam bentuk: (1) Penguatan Kapasitas – pelatihan metodologi mengajar, pembaruan materi, dan pemanfaatan teknologi pembelajaran Al-Qur’an. (2) Peningkatan Kesejahteraan – sinergi pemerintah daerah, lembaga zakat, dan masyarakat untuk memberikan insentif yang layak, (3) Apresiasi Sosial – mengangkat martabat guru ngaji melalui penghargaan publik dan media.

Momentum Kebangkitan Pendidikan Qur’ani

Hari Guru Ngaji harus menjadi momentum untuk menata ulang ekosistem pendidikan Qur’ani. Kita tidak bisa hanya berhenti pada seremoni tahunan. Momentum ini harus mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan baru, termasuk integrasi TK/TPA dengan sistem pendidikan formal, agar keberlanjutan pembinaan santri dapat terjamin.

Kementerian Agama siap menjadi mitra strategis BKPRMI dalam memastikan bahwa setiap anak di Sumatera Selatan memiliki akses pada pendidikan Al-Qur’an yang berkualitas. Dengan demikian, generasi Qur’ani yang kita cita-citakan bukan hanya impian, tetapi kenyataan yang bisa diukur dari akhlak dan prestasi anak-anak kita.

Menatap ke Depan

Dalam pandangan saya, penetapan Hari Guru Ngaji ini bukan sekadar penghargaan, melainkan bagian dari gerakan kultural yang akan berdampak panjang. Ia meneguhkan identitas keislaman kita, memperkuat kohesi sosial, dan memperkaya modal spiritual bangsa.

Jika kita berhasil menjaga semangat ini, 20 atau 30 tahun ke depan kita akan melihat generasi yang bukan hanya pandai berteknologi, tetapi juga berakar pada nilai-nilai Qur’ani. Mereka akan menjadi dokter, insinyur, politisi, atau pengusaha yang menjadikan Al-Qur’an sebagai kompas moralnya.

Menghormati guru ngaji

Saya ingin menutup refleksi ini dengan sebuah pernyataan yang saya yakini sepenuh hati: menghormati guru ngaji adalah menghormati peradaban kita sendiri. Tanpa mereka, kita kehilangan cahaya yang menuntun arah di tengah gelapnya zaman.

Hari Guru Ngaji adalah ajakan untuk kembali mengingat siapa yang pertama kali mengajari kita mengeja huruf-huruf suci. Ia adalah ajakan untuk tidak melupakan jasa mereka yang mengajarkan kita bukan hanya cara membaca, tetapi juga cara hidup sesuai tuntunan Ilahi.

Semoga penetapan 16 Maret sebagai Hari Guru Ngaji di Sumatera Selatan menjadi inspirasi bagi provinsi lain, dan menjadi pintu lahirnya kebijakan nasional. Karena guru ngaji bukan hanya milik Sumatera Selatan, mereka adalah milik seluruh umat.

Dan seperti pesan Rasulullah SAW, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Bukhari). Maka memberi mereka penghormatan adalah bagian dari menjadi yang terbaik di mata Allah.

Palembang, 16 Agustus 2025

Teks Asli Naskah Penetapan Hari Guru Ngaji di Sumsel
Teks Asli Naskah Penetapan Hari Guru Ngaji di Sumsel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *