Orang Baik Itu Telah Pulang : Catatan Murid untuk Guru Kehidupan

satu amanah yang belum sempat saya tunaikan: menulis buku biografi beliau

Penulis : Imron Supriyadi

Saya masih ingat, tahun 1992. Itu tahun saya menjadi mahasiswa di Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang. Tiga semester saya berada di kelas Prof. H. Romli S.A. Dan selama itu pula saya dipercaya beliau sebagai ketua kelas.

Tapi kepercayaan itu bukan sekadar formalitas. Setiap pekan, dua kali, saya mendapat tugas khusus: mengambil makalah ke rumahnya. Bukan hanya untuk kelas saya, tapi untuk kelas-kelas lain. Alasan beliau sederhana, “Supaya mudah komunikasi.”

saksi ketekunan

Waktu itu rumah beliau masih di Komplek Muhammadiyah Balayuda, Palembang. Sebuah rumah sederhana yang menjadi saksi ketekunan seorang guru Ushul Fiqh, sosok yang kemudian kita kenal sebagai Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Sumatera Selatan, dan seorang manusia yang sangat percaya bahwa ilmu bukan untuk disimpan, tapi untuk dibagikan.

Saya kehilangan. Kita semua kehilangan. Pada Sabtu, 14 Juni 2025, ba’da Isyak, kabar itu datang. Prof. H. Romli wafat.

Dunia akademik, dunia dakwah, dunia kaderisasi, dunia kemanusiaan di Sumatera Selatan kehilangan salah satu lampu penuntun jalannya. Tapi seperti bintang yang berpulang setelah cukup lama menunjukkan arah, cahaya Prof. Romli tetap menyala. Di kepala dan hati murid-muridnya.

Tak menyebut dirinya tokoh Muhammadiyah

Prof. Romli bukan dosen yang suka menyebut dirinya tokoh Muhammadiyah. Bahkan saat mengajar pun tak pernah menyebut, “Saya ini orang Muhammadiyah.” Tak pernah menyebut Muhammadiyah, tapi Prof Romli telah menjadi Muhammadiyah itu sendiri.

Tapi publik tahu. Jamaah tahu. Bahkan lawan diskusi pun tahu. Yang tidak tahu, biasanya akan tahu sendiri, karena keteladanannya lebih nyaring daripada pengakuan.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Civitas UIN Raden Fatah Palembang Berduka: Kehilangan Guru, Kehilangan Teladan
Yang Tak Pernah Menyebut Dirinya, Tapi Menjadi Segalanya

 

Saya masih ingat gaya mengajarnya: jelas, dialogis, tidak menggurui, dan tidak pernah membosankan. Bahkan waktu terasa cepat berlalu di kelasnya.

Pria berdarah Minang ini, bukan hanya membagi ilmu, tapi juga semangat, kehangatan, dan ruang diskusi yang sehat. Bila kemudian ada mahasiswa yang salah, ia luruskan. Kalau benar, diperkuat. Kalau perlu didebat, ya didebat. Tapi dengan kasih.

menjadi marbot masjid

Ketekunan beliau itu bukan cerita buatan. Saya sendiri mendengar langsung saat beliau menceritakan masa lalunya: pernah menjadi marbot masjid demi melanjutkan pendidikan. “Jangan malu melakukan apa pun demi kebaikan,” katanya, “Allah yang akan membalas.”

Itu bukan slogan. Itu jalan hidupnya. Ia tidak menasehati dari menara gading, tapi dari lorong-lorong pengalaman hidupnya yang panjang. Dan karena itu, ketika beliau memberi arahan kepada para kader, mereka bukan hanya sekadar mendapat nasihat, tapi juga arah hidup. Dibesarkan, dibimbing, bahkan dibantu agar bisa hidup dan menghidupi keluarga.

Berdiri karena akhlak dan keilmuan

Banyak yang jadi orang karena dididik Prof. Romli. Banyak yang sekarang berdiri tegak sebagai pendakwah, akademisi, pengusaha, guru, pemikir, karena pernah disentuh akhlak dan keilmuan beliau.

Tahun 2025, saya satu forum diskusi dengan beliau. Acara pertemuan tokoh lintas agama dan pentas musik kerakyatan yang diselenggarakan Penghubung Komisi Yudisial Sumsel (Satu Dasawarsa Komisi Yudisial di Palembang dengan Tema “Ayo Kerja Wujudkan Peradilan Bersih yang Beretika dan Profesional” pada Hari Sabtu, 19 September 2015 di Lapangan Parkir Kampus Universitas Sjakyakirti Palembang Jalan Sultan Moh Mansyur Palembang (Tangga Buntung).

Saya mewakili pembicara dari perspektif media. Sebab secara kebetulan, waktu itu saya memimpin Haria Umum Kabar Sumatera. Sebelum kami menuju meja utama seminar dan sesi diskusi, beliau menepuk bahu saya, “Apa kegiatanmu sekarang?”

Jangan rendah Diri Jadi Guru Ngaji

Saya jawab: “Kalau di rumah, saya urus pondok dan ngajar ngaji, Prof.” Beliau tersenyum, dan berkata: “Mengajar ngaji itu bukan pekerjaan. Itu kewajiban. Kau harus bangga. Kau punya tugas rangkap: menulis berita dan mengajar ngaji. Jangan pernah merasa rendah diri jadi guru ngaji. Wartawan jalan, ngajar ngaji wajib jalan.” Kalimat itu melekat sampai sekarang. Dan akan saya bawa terus, bahkan setelah beliau tidak ada.

Tahun berikutnya, Prof. Romli memanggil saya. Beliau minta saya membantu mengelola majalah Muhammadiyah “Warta Dakwah.” Kala itu jajaran redaksi “Warta Dakwah” dipimpin oleh wartawan senior H Muazim Syair (alm) sebagai pemimpin redaksi. Saya diberi kewenangan penuh sebagai Redaktur Pelaksana di keredaksian dibantu Mustqiem Eska, jurnalis yang juga lair dari Majalah Getar, Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang di tahun 1992-1994.

Saya jalankan tugas sebagai Redaktur Pelaksana “Warta Dakwah” sampai 2013. Sebab di tahun yang sama, saya tidak bisa menjalankan dua media sekaligus. Saya kemudian pamit, dan harus mengelola Harian Kabar Sumatera, milik H Mawardi Yahya (Wakil Gubernur Sumsel (periode 1 Oktober 2018 – 1 Oktober 2023) yang sekarang masih berlanjut dalam bentuk online.

Catatan saya tetang Prof Romli, diantaranya satu wawancara khusus dengan beliau ketia menjawab sebagai Ketua PW Muhammadiyah Sumsel. Mutiara kata itu, hingga kini masih bisa dilacak secara digital, ketika beliau menyatakan : “Pendidikan Nilai Keujuran Kita Sudah lumpuh!” Ini satu kutipan wawancaranya di Warta Dakwah Edisi September 2015, yang kemudian saya abadikan di blog pribadi saya : imronkayaraya1.wordpress.com :

Ini kutipannya :

Pertanyaan: Menurut Anda, apa yang harus dilakukan untuk menekan perilaku sepeti itu (tergerusnya nilai-nilai agama)?

 Prof Romli : Ada beberapa langkah. Pertama pendidikan. Tetapi yang rusak, iklim pendidikan kita juga tidak mendidik. Lembaga pendidikan kita sudah sangat materialistik. Orang tidak berkualitas tetapi karena sanggup membayar mahal, akhirnya lulus. Sudah terjadi persengkongkolan antara masyarakat dengan pengelola pendidikan.

 Penanaman nilai kejujuran juga sudah lumpuh. Bagaimana seorang kepala sekolah diancam kalau siswanya tidak lulus 75 persen. Sejumlah kepala daerah juga melakukan hal serupa. Sehingga ada saja oknum guru atau kepala sekolah yang memerintahkan guru untuk hunting mencari kunci jawaban pada saat jelang ujian nasional. Ini kan parah kalau begini!

 Kalau ini yang terjadi, bagaimana proses pendidikan nilai akan baik, kalau ternyata, banyak anak sekolah yang lulus karena pesanan. Akibatnya setelah lulus, bekerja juga nyogok, Jadi wajar kalau Islam sangat memberi hukuman berat, masuk neraka (finnaar), kepada yang menyuap atau disuap. Karena memang dampak sosial dan perusakan moralnya dalam sistem kehidupan memang sangat besar.

Amanah belum Tuntas

Di antara banyak tugas yang diberikan kepaad saya, satu amanah yang belum sempat saya tunaikan: menulis buku biografi beliau. Saat itu Prof Romli masih sebagai Dekan Fakults Syariah UIN Raden Fatah Palembang. Saya sudah ditunjuk beliau, bersama Yusron Masduki, M.Pd.I, yang waktu itu masih dosen Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), dan juga memimpin Percetakan dan Penerbitan Tunas Gemilang. Saya sebagai editor. Tapi naskah itu belum kami rampungkan. Ini hutang saya. Dan insya Allah akan saya tunaikan.

Guru kehidupan

Prof. Romli bukan hanya guru besar dalam gelar, tapi juga dalam kehidupan. Ia membesarkan ilmu dan akhlak secara bersamaan. Ia membumikan ushul fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Ia tidak hanya bicara hukum, tapi juga keadilan. Tidak hanya bicara logika, tapi juga kasih. Tidak hanya bicara syariat, tapi juga kemanusiaan.

Ia tidak alergi perubahan, dan karena itu menjadi pembaru. Tapi ia juga tidak melupakan akar, karena itu tidak pernah tercerabut dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.

Di hari wafatnya, saya terdiam lama. Saya membayangkan wajah beliau, suaranya, caranya berbicara, caranya mengajar, caranya menegur, caranya memuji. Dan saya hanya bisa menyimpulkan satu hal: Prof. Romli adalah manusia lengkap.

Guru, pemimpin, kader Muhammadiyah sejati, pembelajar yang tak pernah berhenti. Dan di atas semuanya: manusia yang rendah hati. Humble, dan sangat manusiawi. Tidak mengawang-awang, tidak sok suci, tapi tetap tegas dalam prinsip. Tidak keras dalam kata, tapi keras dalam keteladanan.

Selamat jalan, Prof. Romli. Kau telah menyelesaikan tugasmu, bahkan lebih dari yang diwajibkan. Kau telah memberi kepada kami ilmu, akhlak, arah, dan makna. Dan kami akan teruskan itu, insya Allah, dengan bangga, dengan syukur, dan dengan cinta. Sebab apa yang kau tanam, telah tumbuh. Apa yang kau ucapkan, telah menjadi pegangan. Dan apa yang kau wariskan, akan terus kami jaga. Al-Fatihah.

Goresan hati ini ditulis sebagai bentuk cinta dan penghormatan kepada Prof. H. Romli S.A., guru kami, teladan kami, dan pembimbing kami semua.

 Pondok Pesantren Laa Roiba Muaranenim, 15 Juni 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *