KabarSriwijaya.NET – Pagi itu, Jumat, 6 Juni 2025, hujan turun pelan di Muaraenim. Waktu masih menunjukkan pukul lima. Langit belum benar-benar terang. Tapi dari dalam lingkungan Pondok Pesantren Laa Roiba, gema takbir, tahmid, dan tahlil terus bergema—mengalun bersahutan di antara denting air hujan yang membasahi atap masjid dan genting asrama.
“Terus takbiran! Ini barokah. Satu tetes hujan dikawal satu malaikat. Lanjut, sambil nunggu jamaah!” seru Ustadz Imron Supriyadi, dosen UIN Raden Fatah Palembang, yang pagi itu didaulat sebagai Imam sekaligus Khatib Idul Adha di Masjid Julaibib, pusat kegiatan santri Laa Roiba.

Langit belum reda. Jam sudah menunjukkan pukul 06.15, tapi jemaah luar pondok belum banyak yang datang. Tahun lalu, masjid ini sudah padat sejak selepas subuh. Tapi hari itu, baru para santri PP Laa Roib,a dan empat orang yang hadir dari luar pondok. Selebihnya, menunggu hujan reda dari balik teras rumah masing-masing. Payung, sajadah, bahkan peci dijadikan pelindung seadanya dari hujan yang masih turun setia.
Sekitar pukul tujuh pagi, satu per satu kendaraan mulai berdatangan. Sebagian jemaah berlari kecil dari mobil menuju serambi masjid, menyingsingkan sarung, melindungi kepala dengan sajadah. Beberapa di antaranya datang lengkap dengan keluarga untuk membersamai hewan kurban yang mereka niatkan untuk persembahan kepaad Allah Swt, sebagaimana Nabi Ibrahim menyerahkan Nabi Ismail kepada Sang Khaliq. Suasana masjid makin padat, makin khidmat. Takbir tak berhenti, terus memantul dari dinding masjid ke hati para santri.

Di tengah suara hujan yang mulai pelan, Ustadz Wartawan Efendi membuka sambutan. Ia menyampaikan salam dari Mudir Pondok, KH Taufik Hidayat, S.Ag, M.I, Kom, yang pagi itu tak bisa hadir karena menjadi khatib di masjid luar.
Tepat pukul 07.10 WIB, shalat Idul Adha dimulai, dipimpin Ustadz Imron. Dua rakaat khusyuk dijalankan, disusul khutbah yang membentang tentang kepasrahan Nabi Ibrahim, pengorbanan Nabi Ismail, dan refleksi tentang tanggung jawab orang tua, guru, dan murid dalam menunaikan amanah ilahiah.
Usai khutbah, jemaah dan santri tak langsung pulang. Mereka menanti hujan yang belum sepenuhnya reda. Di antara keraguan dan harapan, Ustadz Wartawan berkata pelan, “Kita lihat cuaca dulu. Kalau reda, kita sembelih hari ini. Kalau masih hujan sampai jam sembilan atau sepuluh, kita tunda besok.”
Langit, seperti membuka tirai. Pukul 09.10, hujan tinggal meninggalkan jejak.
Genangan mulai surut. Kecipak air membasahi kaki-kaki jemaah yang mulai berdiri, bergerak ke lapangan penyembelihan. Santri berganti pakaian: dari sarung dan baju koko ke kaos lengan pendek dan celana panjang lusuh. Siap untuk kotor, siap untuk ‘berkubang’.
Peralatan pun mulai bermunculan—golok, pisau, cangkul, hingga kapak. Ustadz Wartawan, Ustadz Dedi, dan Pak Beni—tiga orang yang didaulat sebagai jagal—siap dengan perannya. Hari itu, 15 kambing dan dua ekor sapi akan disembelih. Empat kambing di antaranya merupakan akikah.

“Tahun ini, kita kurban dua sapi dan lima belas kambing,” ujar Ustadz Wartawan, tenang, saat ditemui di lapangan, Jumat (06/06/2025).
Sebelum waktu shalat Jumat tiba, semua hewan telah disembelih. Di dapur pondok, para ustadzah dan ibu-ibu jemaah mulai menyiapkan makan siang. Daging mulai ditimbang, dibagi, sesuai daftar yang telah disiapkan jauh-jauh hari.
Hari itu, Laa Roiba tak hanya menjadi tempat belajar dan menghafal. Ia berubah menjadi ruang ibadah, tempat pengorbanan ditunaikan. Di tangan para santri, takbir dan sebilah golok saling berdampingan: satu menggetarkan langit, satu lagi membasuh bumi.**
TEKS / FOTO : TIM NEWS PP LAA ROIBA | EDITOR : WARMAN P