KH Taufik Hidayat : Preman Salah Niat, Salah Berobat

Renungan bagi Umat untuk tetap berniat baik

Oleh : KH Taufik Hidayat (Pendiri dan Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim)

Di tengah keramaian pasar, di antara riuh tawar-menawar dan langkah-langkah terburu para pencari nafkah, berdirilah seorang lelaki tua bersorban dan berblangkon. Suaranya menggema melalui pengeras suara yang nyaris berkarat. Namun kata-katanya laksana syair yang menari di udara. Ia bukan pedagang biasa, juga bukan dukun dalam artian sempit. Ia adalah penyampai harapan, penjual ramuan, dan pendongeng ulung yang menjual keyakinan bersama obatnya.Meskipun banyak orang tetap saja menyebutnya sebagai : dukun.

Si dukun ini, konon obat tradisonalnya telah menyembuhkan banyak orang. Layaknya para penjual obat di beberapa pasar pada umumnya, si dukun dengan retorika yang terlatih,  ucapan dan kalimat si dukun menarik minat para pengunjung pasar. Satu persatu datang, hingga menjadi gerombolan kerumunan.

Orang yang sebelumnya tidak berniat melihat, tetapi karena gaya bahasanya menarik, tidak sedikit yang kemudian mendekat. Pantunnya menggoda, logikanya meninabobokan, dan janjinya meyakinkan :

Yang jauh mendekat, yang dekat merapat. Cinta sehat, belilah obat jangan sampai sekarat. Sebab, kalau sekarat akan segera dijemput malaikat!” ujarnya, yang sesekali membuat geeeer…! para pengerumun.

Namun kalimat  utama yang membuat orang tertarik, adanya jaminan mengembalikan 10 kali lipat uang, bila ramuan herbalnya tidak manjur. Pesan ini disampaikan dengan gaya berpantun, sehingga tidak sedikit orang tersenyum mengiyakan, tetapi ada juga yang biasa-biasa saja. Ada yang mencibir.

“Beli ketupat di Palembang, Jangan lupa lewat Musi Dua : Ini obat bukan sembarang obat, tapi obat ramuan herbal asli Indonesia. Petak sawah berbatas buluh, Ikan Seluang melompat-lompat :  Kalau ibu dan bapak tidak sembuh, saya akan kembalikan uang sepuluh kali lipat. Jadi : kue laksan dalam perahu : tidak perlu heran dan ragu. Kalau tidak percaya ; beli seikat daun pepaya, buanglah kentut agar tidak anginan : catat plat mobil saya, silakan bapak tuntut saya ke pengadilan!” pantun bersahut ini yang kemudian menarik Mat Peci, preman asal Palembang mendekat.

“Nah, ini dio lokak (peluang) duit. Jangan dak dapat duit banyak kito!” Mat Peci yakin, dengan muslihatnya bakal bisa mengelabuhi si dukun ini.

“Mbah dukun, ini duit satu juta. Aku beli obatmu!” Mat Peci menyerahkan 10  lembaran 100 ribuan. Orang-orang sekitar menatap heran.

Mat Peci rupanya penganut falsafah Sekayu (Kabupaten Banyuasin Sumsel) : Mati Dem Asak Top (tidak mengapa mati asal nama jadi tenar). Atau senada dengan : Biar tekor asal Nyohor. Artinya lebih memilih tampil mewah atau dipandang hebat walau merugi atau memaksakan diri secara ekonomi. Bagi Mat Peci, yang penting gengsi, pencitraan, atau prestise sosial, meskipun sebenarnya kantongnya tidak mampu (bokek). Saat masih di Minang, Mat Peci sering berkata : Indak mabuak, asal bajalan mudo (Meski tak untung, yang penting tetap terlihat keren).

foto : lusius-sinurat.com

“Terima kasih-terima kasih. Om…sakit apa?” tanya si dukun pada Mat Peci.

“Sudah tiga bulan aku ini dak biso mbedake raso asin, manis dan pahit. Lidah ini rasonyo hambar! Dak teraso apo-apo!” Mat Peci meyakinkan si dukun.

Hayyya… itu mah sangat mudah om.. !” si dukun menjawab tanpa beban. Seolah segala penyakit dan cara pengobatannya sudah di dalam kepalanya.

“Aseeeep…!” si dukun memanggil asistennya.

“Iya..Mbah,” Asep mendekati si dukun takdzim.

“Tolong kasihkan ke Om ini obat nomor empat belas!” si dukun sangat hafal sandi dan nomor ramuan masing-masing untuk segala penyakit.

“Ini ramuan, harus diminum di sini. Cara meminumnya tidak boleh seperti menelan obat biasa, tapi harus dikunyah supaya efek ramuannya lebih cepat!” ujar si dukun meyakinkan pada Mat Peci.

Tanpa pikir panjang, Mat Peci langsung  membuka ramuan. Ratusan pasang mata mengawasi Mat Peci yang hendak mengunyah ramuan herbal dari si dukun.

“Bwaih…!Bwaih…! Hwekekk…! alangke pahitnyo, mbah!” Mat Peci segera memuntahkan ramuan herbal itu. Lidah rasanya pahit. Wajah Mat Peci seketika seperti Badut tak berbentuk. Matannya mengernyit tak beraturan. Lidahnya keluar masuk tanpa ritme, hendek mengeluarkan rasa pahit yang melekat.

“Alhamdulillah…!Alhamdulillah…! Om sudah sembuh, sebab sudah bisa merasakan pahitnya tahi sapi…!” ujar si dukun kegirangan. Spontan orang sekitar tertawa. Mat Peci hanya bersungut kesal.

Mat Paci kali itu tak bisa meminta kembali uang Rp 1 juta. Sebab, Mat Peci seketika sembuh. Secara spontan, lidahnya bisa membedakan rasa pahit dan manis.

Mat Peci melangkah lebar meninggalkan kerumunan orang. Hati Mat Peci uring-uringan sendiri, karena gagal mengelabuhi dukun. Harapan Mat Peci sirna seketika. Awalnya, dengan muslihatnya, si dukun akan menyembuhkan lidahnya. Padahal itu hanya tipuan, agar Mat Peci mendapat pengembalian uang 10 kali lipat, sebagaimana dijanjikkan si dukun. Tapi Mat Peci membawa tangan hampa. Muka masam. Apalgi kantonnya.

Sebagian orang yang berkerumun tak ada yang berani menyapa, apalagi menegur. Sebab, Mat Peci dikenal preman besar di Palembang. Salah sedikit, Mat Peci akan menjadi banteng ketaton yang akan menghantam siapa saja.

Pada putaran waktu, Mat Peci berpikir keras mencari cara jitu untuk mengelabuhi si dukun. Otaknya memutar seperti gasing yang dimainkan anak-anak kampungnya. Persis seperti warga kampung yang setiap malam Kamis mengotak atik nomor sumbangan berhadiah Porolahraga Kesejahteraan (PORKAS) atau Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) di era 90-an.

Pada detik ke sekian kalinya, seketika Mat Peci tersenyum.  Ia seperti Abu Nawas yang cerdik menajwab pertanyaan Raja Harun Ar-Rasyid. Wajahnya berbinar. Seolah menemukan cara lain untuk menekan si dukun, agar bisa mendapatkan uang lebih banyak. Niat muslihat kedua pun mulai dimainkan.

Selang tiga bulan, Mat Peci kembali ke arena si dukun berjualan. Rupanya si dukun masih ingat dengan Mat Peci.

“Kali ini aku harus dapatkan uang banyak dari si dukun keparat ini!” umpatnya setengah mengancam.

“Ini duit dua juta. Aku nak beli obat lagi!” Mat Peci menyerahkan gepokan uang ke si dukun. Mata Mat Peci sesekali melihat ke sejumlah orang sekitar untuk meyakinkan, semua orang melihat serah terima uang itu.

Dalam hatinya berbisik, Mat Peci ingin agar semua yang berkerumun menjadi saksi, bila kemudian si dukun berbohong. Mat Peci akan dapat pembelaan dari banyak orang. Ini akan memudahkan Mat Peci menuntut si dukun ke pengadilan.

Haayyya.. Om kali ini sakit apalagi…! tanya si dukun serius.

“Sudah dua minggu ini aku jadi pelupo. Apo bae yang aku lakuke, dak katek (tidak ada) yang ingat. Aku jadi ilang ingatan. Tolong obati aku!” jelas Mat Peci.

“Hayyya… itu mah gampang Om!” sekali lagi, si dukun tak sulit mendeteksi penyakit dan menyiapkan ramuan herbalnya.

“Aseeeep…! ambilkan ramuan obat nomor empat belas!” si dukun memerintahkan kembali asistennya, yang secara cepat membawa ramuan ke hadapan si dukun.

“Ini, Mbah..!” Asep menyerahkan ramuan. Angka 14 tertera jelas.

Mendengar itu, Mat Peci darahnya hampir mendidih. Nada protes spontan terucap lantang. Tak sadar, kalimat itu yang telah membuka kedok dirinya.

Lhah…! ngapo obatnyo samo dengan yang tiga bulan lalu. Waktu itu nomor empat belas! Sekarang nomor empat belas lagi!. Naahhhbalak nian! Aku ni lokak makan taik sapi lagi…!” Mat Peci uring-uringan. Tapi si dukun tetap tenang.

“Alhamudulillah…! Alhamdulillah…! Ternyata Om sudah sembuh. Sebab Om sudah bisa mengingat lagi peristiwa yang lalu. Alhamdulillah…! Om sudah sembuh..!” ujar si dukun tanpa beban.

Para pengerumun menahan tawa.  Mat Peci pun kalah telak dua kali. Kalah oleh ramuan dan kearifan. Bukan karena obatnya, tapi karena Mat Peci mencoba mempermainkan sesuatu yang lebih tinggi dari logika: keikhlasan dan kejujuran.

**

Kisah ini, dalam perspektif sosial budaya, mencerminkan bagaimana budaya pasar tradisional menjadi ruang interaksi yang hidup antara retorika, kepercayaan, dan seni tutur. Peran “dukun” di sini bukan semata penyembuh, tetapi komunikator budaya yang menggabungkan seni berpantun, logika rakyat, dan praktik pengobatan tradisional. Budaya percaya pada kearifan lokal tampak dari bagaimana masyarakat terhibur sekaligus tertarik oleh pantun dan gaya sang penjual.

Sementara dalam Islam, tipu daya dan niat buruk terhadap sesama adalah dosa. Sebagaimana disebut dalam Al-quran Suroh Al-Baqarah ayat 9 :

Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak menyadarinya.

Al-qurna Suroh An-Nisa ayat 145 : Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka.

Mat Peci merepresentasikan niat buruk (niyyat al-su’). Sedang si dukun menunjukkan sikap sabar, percaya diri, dan mampu menyikapi niat buruk dengan hikmah.  Rasulullah bersabda : Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya” (HR. Bukhari & Muslim).

ilstrasi : google image
ilustrasi : google image

Di sini, niat Mat Peci buruk, maka buahnya adalah kerugian.

Senada dengan itu, ada ungkapan hikmah : النِّيَّةُ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ

Anniyatu Khoirum-minal-’amali  (Niat itu lebih baik daripada amal). Ungkapan hikmah ini, secara lafaz tidak ditemukan dalam hadis sahih dengan redaksi persis demikian.

Namun, ungkapan hikmah ini sering dikutip oleh para ulama sebagai hikmah atau kaidah dalam ilmu akhlak, tasawuf, dan ilmu niat. Termasuk Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihya Ulumuddin mengungkapkan hikmah yang senada dengan itu :             Sesungguhnya amal itu tergantung kepada niat, dan keberadaan hati dalam amal lebih utama daripada lahir amal.

Dalam ungkapan hikmah Tasauf lainnya disebutkan : Amal adalah jasad, dan niat adalah ruhnya. Jasad tanpa ruh adalah bangkai; begitu pula amal tanpa niat adalah kesia-siaan.

Dengan kata lain, niat bukan mengajak untuk meninggalkan amal, tetapi menegaskan, amal tanpa niat yang tulus akan kehilangan ruhnya, sedangkan niat yang tulus bisa menjadi cahaya yang membimbing amal menjadi ibadah sejati.

Pada kasus Mat Peci dan si dukun, dalam dimensi tasawuf, kisah ini mencerminkan maqam “hikmah” dan “hal sabar”. Si dukun seakan memiliki kebijaksanaan seperti seorang sufi yang tak membalas keburukan dengan keburukan. Ia menjawab tipu daya dengan canda dan cinta. Hal ini sejalan dengan pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bahwa “orang yang sabar akan diberi cahaya di balik gelap musibah dan kebodohan orang lain.”

Kebodohan (jahalah) yang dilakukan dengan niat jahat dibalas dengan ‘obat’ yang menyadarkan, bukan menghukum. Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah diatas,

niat buruk akan kembali kepada pelakunya. Seperti Mat Peci yang mencoba menipu, justru menjadi bahan pembelajaran orang lain.

Kebijaksanaan bisa lahir dari kesederhanaan. Si dukun tak perlu marah atau membalas, cukup dengan canda yang mendidik. Bahasa yang menarik, bisa menjadi sarana dakwah dan pendidikan. Gaya pantun si dukun mencerminkan bagaimana komunikasi yang baik dapat menarik perhatian dan membangun kepercayaan.

Kearifan lokal menyimpan kekuatan. Pengobatan tradisional, meski sering diremehkan, menjadi simbol keteguhan nilai budaya dan spiritual masyarakat lokal. Sekali lagi, Imam Al-Ghazali  dalam Ihya Ulumuddin menyatakan, tipu daya manusia tidak akan pernah bisa mengalahkan hikmah yang lahir dari kesabaran dan keridhaan. Hal ini sesuai dengan cara si dukun menghadapi Mat Peci.

“Keburukan akan sirna dengan kebaikan. Siapa yang bersabar terhadap kebodohan orang, maka Allah akan menegakkan kebijaksanaan dalam dirinya.”

Sementara, bila kita kutip dari Buya Hamka (1908–1981) dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menekankan, kejujuran dan akhlak jauh lebih berharga daripada kecerdikan yang menipu : “Kecerdasan yang tidak dibarengi akhlak adalah malapetaka,” tulis Buya Hamka. Ini terlihat dari Mat Peci : cerdas menipu, tapi gagal karena tanpa akhlak

Ulama era kini, seperti Gus Baha’ (KH. Bahauddin Nursalim) sering menyampaikan, orang biasa kadang lebih bijak dalam hidup, daripada yang banyak teori, karena mereka hidup dengan keikhlasan. “Orang yang tidak banyak tahu, kadang lebih mulia karena hatinya bersih,” ujarnya dalam sebuah ta’lim.

Si dukun menggambarkan tokoh “awam bijak” yang menang dengan keluguan dan niat baik. Kisah ini bukan semata lelucon pasar. Ia adalah miniatur dari dunia sosial yang lebih luas, di mana kecerdikan tidak selalu menang atas kebijaksanaan. Di mana niat jahat akan dikalahkan oleh akhlak yang lurus. Dan di mana, dalam balutan pantun dan ramuan sederhana, terkandung ajaran yang dalam : Kejujuran adalah obat sejati, dan kebijaksanaan adalah pelindung dari tipu daya.

Kisah Mat Peci bukan sekadar cerita lucu dari pasar. Ia adalah cermin dari kita yang kadang menutup niat buruk dengan topeng amal baik. Tapi Allah Maha Mengetahui. Dan melalui jalan-jalan yang tidak biasa — dari mulut “dukun”, dari rasa pahit ramuan, dari ejekan orang — terkadang Tuhan menyapa hati yang paling keras, dan membukakan pintu taubat.**

Muaraenim-PP Laa Roiba, 25 Mei 2025

CERAMAH LAINNYA DAPAT DISIMAK DI CHANEL TAUFIK HIDAYAT OFFICIAL.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *